tirto.id - Hasrat Allen Lawrence Pope untuk menghabisi komunis begitu besar. Tak heran dia meninggalkan dua anak dan istrinya jauh di Amerika. Laki-laki kelahiran Miami, Florida, 20 Oktober 1928 ini telah makan asam garam dalam misi udara. “Saya suka membunuh komunis dengan cara apa pun yang bisa saya lakukan,” katanya seperti dikutip Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008).
Seperti yang dicatat harian Sin Po (28/12/1959), Pope mengaku terlibat 55 misi di Semenanjung Korea dan 65 kali di Dien Bien Phu (Vietnam). Semuanya melawan komunis.
Untuk misinya di Indonesia, Pope berangkat dari Pangkalan Udara Clark di Filipina, 28 April, menuju Manado. Menurut Harian Rakjat (05/01/1960), Pope adalah pilot dari maskapai sipil Civil Air Transport (CAT) Taiwan.
“Saya menerbangkan B-26 dan tiba di Manado pada pukul 00.00 paginya,” kata Pope seperti dikutip Sin Po (03/01/1958). Pope melihat banyak orang Filipina dan orang kulit putih di Manado, yang diperkirakan adalah warga Amerika Serikat seperti Pope. Belum lama tiba, datang instruksi dari petinggi Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) Permesta, Petit Muharto dan Hadi Supandi, untuk misi pengintaian.
“Sore harinya saya mengadakan penerbangan patroli di Ambon. Lima belas menit terbang, saya mendapat perintah untuk membelokkan pesawat ke arah Kolonel Sumual yang berada di Laut Morotai,” aku Pope. Sesampainya di sana, ternyata Sumual dan rombongannya baik-baik saja.
Aksi-aksi Pope selanjutnya terjadi pada siang pukul 14.00 tanggal 29 April 1958. Dari kokpit pesawat B-26, Pope menyerang pangkalan Udara Wolter Monginsidi dengan bom dan tembakan senapan mesin. Serangan kedua terjadi lebih dari seminggu kemudian, persisnya pada pukul 06.00, 7 Mei 1958. Atas nama Permesta, Pope menyerang Pangkalan Udara Pattimura di Ambon. Aksi ini berhasil merusak pesawat Dakota dan Mustang milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Serangan ketiga digencarkan keesokan harinya, 8 mei 1945, pukul 17.00. Pope kembali beraksi dengan pesawat pembom B-26, membombardir dan menembaki detasemen AURI di Kendari hingga menyebabkan kebakaran. Seminggu kemudian, 15 Mei pukul 05.30, Pope kembali beraksi, kali ini di sekitar Ambon, dengan sasaran kapal motor. Sebanyak 17 personel TNI terbunuh. Enam lainnya luka-luka.
Tiga hari kemudian, 18 Mei 1958, Pope dua kali beraksi. Pada pukul 06.00, dia membom sebuah pangkalan udara di Ambon. Setelah dua pesawat AURI rusak dan sebuah truk hancur, ia bergerak ke utara dan menyerang dua kapal pengangkut beserta lima kapal pelindungnya yang hendak menuju Morotai.
Aksi-aksi inilah yang dituduhkan penuntut umum kepada Pope di pengadilan.
Tapi akhirnya Pope nahas di Indonesia. Pesawatnya tertembak jatuh di Pulau Tiga. Ada perdebatan soal siapa sebetulnya penembak pesawat Pope, apakah artileri Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau pesawat Mustang AURI yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto. Waspada (05/01/1959) menyebutkan Dewanto bersaksi bahwa dialah yang menembakkan roket dan peluru ke pesawat AUREV yang hendak mendekati konvoi kapal TNI pada 18 Mei 1958 itu. Setelah menembak pesawat AUREV, Dewanto dikabarkan kembali ke pangkalan udara Pattimura.
Saat itu Pope terbang bersama petugas radio mantan AURI, Sersan Mayor Jan Harry Rantung, yang segera terjun ke luar begitu pesawatnya tertembak. Setelah berenang ke pantai, ia menemukan Pope bergantung di pohon kelapa dengan kaki yang patah. Ia pun segera mengamankan Pope.
Ketika hendak mencari air untuk minum, Rantung justru kepergok dua personil KKO (Marinir Indonesia) dan tertangkap. Tak jauh dua KKO itu ada personel KKO lain yang dipimpin Letnan Kolonel Hunholz, bekas marinir Belanda yang belakangan ikut Republik. Kala itu, Hunholz memimpin operasi Mena II guna merebut bandara Morotai yang terletak di utara Halmahera.
Namun, seperti yang diberitakan koran Medan Waspada (05/01/1959), ketika persidangan kasus Pope, Hunholz sudah bekerja di perusahaan minyak Caltex.
Jadilah Pope pesakitan pada 28 Desember 1959. Ia masuk ke ruang sidang dengan celana coklat Panama Wool dan kemeja putih pendek. Bertindak sebagai Oditur atau penuntut adalah Mayor Prodjodarono dan Hakim Letnan Kolonel Udara Tituler Mr Sardjono, yang menegur Pope karena tingkahnya yang angkuh. Menurut laporan Sin Po (28/12/1959), Ia menyilangkan kaki di atas lututnya ketika sidang berlangsung.
Di mata Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pope jelas sadar membantu Permesta. “Ia memang pergi ke Manado untuk membantu Permesta yang sedang memberontak, ia melakukan perlawanan bersenjata (kepada) pemerintah Republik Indonesia sebagai pemerintah yang sah, yang menurut pengetahuannya adalah pemerintah yang komunis,” tulis Harian Rakjat (05/02/1960).
Menurut Conboy dan Morrison dalam Feet to the Fire CIA (1999), Pope adalah veteran Perang Korea (1950-1953). Pangkatnya waktu itu adalah letnan satu Angkatan Udara Amerika. Sejak 1954, ia meninggalkan Angkatan Udara dan bergabung dengan CIA sebagai pilot CAT.
Pope pun menjadi simbol keterlibatan Amerika Serikat dalam Permesta. Seperti yang ditulis George dan Audrey Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (1997:232), Pope kedapatan membawa buku harian tentang misi-misinya dan kartu anggota tentara Amerika di Pangkalan Militer Clark.
Tertangkapnya Allen Pope jadi blunder bagi diplomat-diplomat AS. Namun, kendati hendak menutupi keterlibatannya dalam PRRI-Permesta, Washington tak mau membiarkan warga negaranya dihukum mati negara lain. Skandal ini dimanfaatkan dengan baik oleh Sukarno.
“Bung Karno ternyata jitu memanfaatkan posisi Amerika […] Ia menggunakannya sebagai kartu dalam permainan politik tingginya dengan presiden John F. Kennedy. Itulah sebabnya presiden AS mengutus diplomat Ellsworth Bunker untuk merintis solusi Irian Barat, dan memenuhi harga diri nasional Bangsa Indonesia. Allen Pope akhirnya dibebaskan,” tulis Boediardjo dalam autobiografinya Siapa Sudi Saya Dongengi (1996).
Menurut catatan George dan Audrey Kahin (1997:288), Jaksa Agung Robert Kennedy—adik dari Presiden John F. Kennedy—bahkan datang ke Indonesia pada 1961 untuk mengusahakan pembebasan Pope.
“Istri Pope (menghadap) ke Presiden. Dengan air mata ia meminta agar suaminya dibebaskan. Yah, Pope dibebaskan,” ujar Hasjim Ning dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986:214) yang disusun AA Navis.
Namun tak ada makan siang gratis. Pope tak dilepaskan begitu saja kepada Paman Sam.
“Setelah ia dihukum, saya sempat mengunjunginya di penjara di Yogya. Ia menyatakan bahwa ia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika dengan Republik Indonesia, yakni ia akan ditukar dengan ratusan senjata untuk 20 batalion Tentara Nasional Indonesia dan enam pesawat angkut Hercules,” aku Priyatna Abdurrasyid, seperti dikutip Tempo (25/08/2008)
Boediardjo, yang belakangan jadi Menteri Penerangan di awal Orde Baru, mengaku dapat tugas rahasia dari Presiden Sukarno. Dengan sepengetahuan KSAU, ia menjemput Allen Pope dari Jakarta Timur. “Pope langsung saya bawa ke Bandara Kemayoran, dinaikkan ke pesawat terbang militer AS, dipulangkan ke negaranya.”
Pope akhirnya pulang ke Amerika, jauh dari korban-korban aksi anti-komunisnya, yang belum tentu komunis.
Editor: Windu Jusuf