tirto.id - Samuel Karundeng alias Sam Karundeng terbilang laki-laki cukup beruntung di zamannya. Menurut keterangan Mahkamah Militer, dia tamatan Hogare Burgerschool (HBS), sekolah elit menengah era kolonial yang didirikan Belanda. Daniel Alexander Maukar, alias Danny, menuturkan bahwa karibnya itu pindah dari Makassar ke Jakarta pada 1947. Laki-laki yang diperkirakan lahir sekitar 1929 ini tinggal di Kebayoran, Jakarta.
Sam, seorang Kristen Protestan, adalah warga Dewan Gereja Indonesia (DGI). Di pengadilan (ANRI: Inventaris Arsip Marzuki Arifin: 428: Laporan Departemen Penerangan RI: Laporan Djamal Marsudi Tentang Proses Pengadilan Sam Karundeng dan LU II DA Maukar 1960 dalam Peristiwa Perdamaian Nasional dan Pemberontakan), Sam pernah mengucapkan kata-kata indah: “Bagi saya, hidup itu Tuhan dan mati itu untung. Bahwa saya menuntut kehidupan, yaitu perdamaian.”
Namun, Sam nampaknya tidak bahagia bersama lingkungan gerejanya. Dia tak menemukan kedamaian yang didambakannya. Bagi Sam, gereja tak berperan mewujudkan perdamaian di dunia nyata.
Sebelum Juni 1959, Sam adalah karyawan Garuda Indonesia Airways (GIA). Menurut Harsojo Moektisangkojo, advokat yang membelanya ketika jadi terdakwa kasus makar di pengadilan, menyebutkan bahwa ketika masih bekerja di GIA, terdakwa (Sam) “mengalami tekanan batin karena telah digeser dari kedudukannya semula, sehingga dia berhenti dari pekerjaan itu.”
Keluar dari GIA membuat situasi keuangan Sam kacau. Sehari-harinya, di mata sang advokat, Sam Karundeng adalah orang yang rendah diri.
Di tengah kondisi itu, Sam pun terlibat Permesta. Sam pergi ke Singapura tanggal 9 Juni 1959 dengan menumpang sebuah kapal Tionghoa milik Kongsi Pelayaran Nasional. Kala itu dia masih bekerja di GIA. Dia memang sengaja cuti sebelum berhenti kerja. Di sana dia berhubungan dengan orang-orang Permesta dan menjalin hubungan dekat khususnya dengan Boy Mamahit dan juga Welly Pantouw. Seperti Sam dan mayoritas aktivis Permesta di Sulawesi bagian utara, Boy dan Welly juga berasal dari suku Minahasa.
Menurut pengakuan Danny Maukar dalam pengadilannya (ANRI Djamal Marsudi 106: Berita Acara Pemeriksaan Tertuduh Daniel Alexander Maukar dan Para Saksi Dalam Sidang Tanggal 20-23 1960), Boy mengajak Sam berhubungan dengan orang-orang Permesta. Boy dikenalnya sejak 1955. Sam juga punya hubungan dengan Kolonel Kawilarang dan mengaku pernah menginap di rumah sang Kolonel.
Ketika ikut gerakan, Willy Pantouw, memberi peringatan pada Sam untuk tidak berhubungan dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Menurut Sumual dalam Memoar Ventje Sumual (2011, hal. 318), Pantouw, yang juga berhubungan dengan PRRI, membiayai gerakan Sam Karundeng.
Menurut oditur Mahkamah Militer yang mengadili Sam dkk, Sam berusaha melakukan sabotase ekonomi, mengumpulkan data intelijen untuk Permesta, memancing bentrokan antar kelompok, dan mengusahakan operasi militer.
Sekembalinya ke Pulau Jawa, Sam bergerak. Dia merekrut seorang pegawai BPM bernama Herman Maukar. Dia juga merekrut Letnan Udara Daniel Alexander Maukar, seorang pilot tempur pesawat MiG 17 yang kelak dikenal karena menembaki tangka minyak BPM dan Istana Negara pada 9 Maret 1960.
Sepulang nya dari Singapura, Sam bergerak di Bandung. Di kota kembang, Hendrik Mondang memperkenalkan Sam dengan Johan Karauw, seorang pegawai sipil di Pusat Kavaleri Bandung. Johan yang di Jalan Tjeremai 34 Bandung ini akhirnya terpengaruh oleh Sam untuk ikut dalam komplotan. Lewat perantara Johan Karauw, Sam diperkenalkan kepada seorang Letnan Kavaleri bernama Togas, yang akhirnya juga ikut gerbong Sam. Antara 15 Februari dan 19 Maret, Sam mengunjungi Batalyon 3 Mei di Malangbong.
Sam mengimani slogan “Barang siapa yang ingin damai, maka bersiaplah untuk perang.” Dia tidak percaya pada diplomasi penyelesaian Permesta yang berlarut-larut. Sam pernah datang kepada Tjetje Hidajat Padmadinata, orang Sunda terpelajar yang punya hubungan dengan Front Pemuda Sunda. Baik Tjetje maupun Sam kemudian tergabung dalam Gerakan Perdamaian Nasional. Tak hanya mereka berdua, belakangan Kolonel Sukanda Bratamenggala, Mayor Bunjamin, dan lainnya ikut bergabung.
Seingat Tjetje dalam memoarnya kata Setengah Abad Perlawanan, 1955-2005: Memoar Tjetje H. Padmadinata (2006:64), Sam pernah bilang: “Kalau hanya mengandalkan kekuatan sipil saja, yakin Presiden Soekarno tidak akan menggubrisnya.”
“Saya kecewa dan harus bertindak,” kata Sam di pengadilan. Sejak awal tahun 1960an, Sam pun mulai merencanakan gerakan bawah tanahnya. Disebutkan pada 4 Februari 1960, Sam berkumpul dengan Kolonel Bratamenggala, Mayor Benjamin, Tjeje Hidayat di Jalan Riau 47 Bandung. Mereka menyediakan tempat untuk persembunyian Sam, sekaligus untuk menggodok rencana sabotase dan operasi militer.
Pada 6 Februari, mereka berkumpul lagi, dengan anggota tambahan Herman Maukar. Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk menculik tokoh pemerintahan, dengan para pemuda Minahasa sebagai eksekutornya. Sasaran mereka antara lain Presiden Sukarno, Menteri Djuanda, Jenderal Mayor Gatot Subroto, Chaerul Saleh, Surjadarma, Mochamad Jasin dan eks tentara pelajar dari suku Jawa. Belakangan, dalam pertemuan di Jalan Citarum 32 bandung, Daniel Maukar juga hadir sebelum aksi penembakan Istana Negara pada 9 Maret 1960. Dalam sebuah rapat, Bratamenggala menyatakan kesiapannya untuk mengerahkan dua kompi pasukan bersenjata yang kelak akan dipimpin Mayor Bunjamin.
Sam mengharapkan bantuan dari Pasukan DI/TII, personel Batalyon 3 Mei (Angkatan Darat), anggota kavaleri di Pusat Kavaleri Bandung, Brimob, juga dari kelompok pemuda dalam organisasi Manguni, Sisingamangaradja, Hasanuddin dan Siliwangi. Tujuannya adalah merebut obyek vital di Jakarta, Bandung, Bogor dan Sukabumi.
Sebagai kelompok bawah tanah bersenjata, Sam menyimpan senjata api dan granat. Lewat Dimjati, Sam punya sepucuk stengun beserta tujuh houdenbek peluru dan 10 granat tangan. Semua untuk gerakan militernya, yang rupanya tidak terencana dengan baik. Sam begitu yakin dengan kekuatan militer yang di hari H rencana belum tentu berani muncul. Penembakan instalasi minyak BPM diyakini bakal mempengaruhi gerakan militer tentara pemerintah pusat. Padahal, di sekitar ibukota terdapat sejumlah pasukan.
Sepuluh hari setelah Danny Maukar nekad menembaki Istana Negara dan tangki BPM, Sam dan kolega-koleganya beraksi. Pada dini hari 19 Maret 1960, mereka bergerak menyerobot Puskav. Rupanya, di hari pelaksanaan, ada perintah dari Kolonel Bratamenggala agar pasukan di Puskav tidak bergerak. Hingga Mayor Manoppo, Wakil Komandan Puskav, tidak berani berkutik tanpa perintah Bratamenggela. Akhirnya, pasukan dari luar serta sejumlah anggota Puskav sendirilah yang bergerak di bawah komando Letnan Togas—dengan dibantu pegawai sipil kavaleri Johan Karauw, pemuda Tjetje Hidayat dan Tatto Sugiarto.
“Pukul satu malam kelompok Togas bergerak, seperempat jam kemudian disusul oleh kelompok kedua,” aku Tatto Sugiarta Pradjamanggala dalam Perjalanan (2000:26). Pendudukan Puskav boleh dibilang sukses. Menurut kesaksian Tatto, “Semua barak sudah dikuasai oleh kelompok kami, kecuali barak Sersan Sumarap, menurut Sersan Sumarap, barak dia jangan diganggu karena semua ikut gerakan kami.”
Setelah pendudukan itu, seperti yang dituduhkan kepada Sam Karundengan di pengadilan, ada niatan dari Sam dkk untuk menyerbu Bandung, Sukabumi, Bogor dan Jakarta. Untuk penyerbuan Jakarta, Letnan Togas akan memimpin, tentu saja dengan kawalan panser. Namun sebelumnya, ia dan pasukannya singgah ke Bogor untuk merebut gudang senjata. Di Bogor sudah 900 orang yang akan ikut gerakan ini.
Namun, usaha mereka tidak mulus. Seorang komandan tank di Puskav tak mau mengizinkan tanknya keluar. Rupanya tak semua tahu ada gerakan Sam Karundeng dan tak semua personil Puskav mau ikut gerakan Sam Karundeng. Pada pukul tiga bahkan terdengar letusan dan tersebar kabar bahwa Puskav terkepung oleh pasukan dari Batalyon Para di sekitar Bandung dan RPKAD dari Batujajar. Keributan baru berhenti setelah para penyerbu keluar dari kompleks militer di Cibangkong.
Rencana Sam Karundeng pun gagal. Ia tertangkap pada pada 20 Mei 1960. Dalam pengadilannya, Sam dijatuhi vonis mati. Sukanda Bratamenggala juga diadili, namun hukuman tak separah Sam.
“Untuk seluruh perjuangan Manguni ini, mulai dari terbentuknya hingga peristiwa penembak Istana dan peristiwa Puskav itu, saya dan hanya saya bertanggung jawab […].”
Saya memberi salut kepada korban yang jatuh ataupun yang luka, maupun dari pihak kawan atau pun lawan,” ucap Sam di pengadilan. “Kalau tidak salah, maka telah dipersoalkan kecemaran nama AURI, karena tindakan DA Maukar. Menurut paham saya, maka lebih baik kita cemarkan nama seluruh Angkatan Perang kita demi hukum Tuhan dari pada kita vergotern Negara dan Bangsa dengan mencemarkan nama Tuhan.”
Editor: Windu Jusuf