Menuju konten utama

Sejarah Batalyon 3 Mei

Jelang perginya Belanda, serdadu-serdadu KNIL Minahasa memberontak bersama laskar rakyat di Manado. Mereka berhasil membentuk sebuah batalyon yang akhirnya dikirim menumpas RMS di Ambon.

Sejarah Batalyon 3 Mei
Tentara KNIL Minahasa berpose di Semarang. Foto/Ipphos

tirto.id - Dari sekian banyak suku yang ada dalam dinas militer Belanda KNIL, suku Minahasa adalah yang cukup sering memberontak. Di tahun 1927, misalnya. M Balfast, dalam bukunya Dr Tjipto Mangunkusumo: Demokrat Sejati (1952), mencatat, suatu hari seorang kopral Minahasa mendatanginya. Dia bercerita akan memberontak dan butuh bantuan sedikit uang. Setelah uang diberikan, kopral itu pulang. Ternyata, pemberontakan itu gagal, dan Tjipto pun harus dibuang pemerintah kolonial lagi.

Selain pemberontakan di atas, di tahun 1945, serdadu KNIL asal Minahasa juga melakukan aksi serupa. Buku Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2 (Proklamasi) (1977) karya Abdul Haris Nasution mencatat nama Loloan dan Salendu sebagai pemimpin pemberontakan para veteran Perang Pasifik di sekitar Makassar.

Setelah 1945, lebih banyak lagi serdadu-serdadu KNIL orang Indonesia yang membangkang. Isu kemerdekaan Indonesia semakin mendorong mereka untuk memberontak. Di hari Valentine 1946, sekelompok KNIL Minahasa juga beraksi di kota Manado.

Ada pembagian uang rokok yang jumlahnya berbeda antara serdadu Belanda dengan Minahasa, meski pangkat mereka sama. Kedekatan serdadu-serdadu yang kecewa itu dengan pendukung Republik lantas membuat mereka ingin berontak. Pemberontakan itu gagal dan yang terlibat pun dipenjara.

Pemberontakan paling terkenal yang dilakukan serdadu KNIL Minahasa terhadap Belanda adalah Pemberontakan 3 Mei. Pemberontakan ini sukses karena kontrol Belanda di Tanah Minahasa semakin berkurang di tahun 1950. Setelah pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, banyak serdadu KNIL yang galau soal nasib mereka ke depan. Termasuk soal uang pensiun.

Banyak dari mereka ragu bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Bergabung ke APRIS juga tak bebas ancaman mereka akan dilucuti atau didiskriminasi karena di waktu Revolusi mereka adalah tentara musuh Republik.

Di Manado yang masih dikuasai Tentara KNIL Belanda, orang-orang pro-Republik bertahan di sana. Situasi tak pasti bagi mereka. Mereka hanya mau Manado masuk Republik Indonesia. Di luar tangsi KNIL, pada 14 April 1950, sekelompok orang-orang pro-Republik yang gelisah menyusun rencana penyerangan tangsi KNIL di Manado. Tentu saja, mereka memberitahu kawan-kawan KNIL yang sepaham dengan mereka.

Sayangnya, seorang sersan bernama Rawung membocorkan rencana tersebut. Kapten van Leur bahkan memegang data siapa saja orang sipil dan KNIL Minahasa yang terlibat. Pembersihan dilakukan. Ketika orang-orang sipil mulai dikejar, serdadu-serdadu KNIL Minahasa yang sudah pro-Republik pun gelisah di dalam tangsi. Pada 28 April 1950, rapat Laskar Front Pemuda (LFP) digelar dengan Lexy Anes sebagai pemimpin. Rapat dilakukan lagi pada 2 Mei 1950, membahas posisi orang-orang Belanda yang harus mereka serang.

Menurut Laurens Manus dkk, dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Sulawesi Utara(1991), sebelum aksi pemberontakan, ada 20 orang serdadu KNIL menghilang dari tangsi, dipimpin Sersan Tuturoong. Pelarian 20 serdadu itu membuat berapa sersan macam A.H Mengko, F. Bolang, Angkow, Pontoh, dan Mamengko ditahan.

Mereka diperiksa langsung oleh Mayor Neus, selaku komandan KNIL di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara. Para sersan itu menyangkal akan memberontak. Tak lupa, mereka juga meyakinkan Neus bahwa ikut APRIS tak menguntungkan. Para sersan itu lalu dibebaskan karena dianggap masih loyal pada KNIL. Para pelarian tentu saja dicari para petinggi KNIL.

Sersan Fred Bolang dan beberapa serdadu lainnya diperintahkan Kapten van Leur mencari 20 KNIL pimpinan Tuturoong. Para sersan lainnya kemudian memberitahu rekan-rekan KNILnya pro-Republik untuk bersiap. Malam 2 Mei 1950 serdadu-serdadu KNIL pro-Republik sudah siap untuk membangkang terhadap para perwira Belanda. Mereka hanya menunggu serangan LFP ke tangsi mereka, dan mereka akan membantu LFP dari dalam tangsi.

Jelang serangan LFP, di kota Manado, diperkirakan hanya terdapat dua peleton pasukan KNIL yang loyal pada perwira Belanda. Ditambah sepeleton Militaire Police (MP) alias polisi militer yang tentu juga tunduk pada Belanda, sepeleton pasukan cadangan pro-Belanda, dan sekitar 50 orang Polisi Negara Indonesia Timur.

infografik KNIL

Banyaknya pendukung Republik Manado membuat kota tersebut tak terjadi pemberontakan yang mendukung negara federal seperti di Makassar atau pemberontakan negara baru macam RMS Soumokil di Ambon. Dini hari 3 Mei 1950, pasukan KNIL di tangsi-tangsi mulai dilucuti oleh LFP dengan bantuan KNIL simpatisan LFP.

Ketika pemberontakan terjadi, Letnan Kolonel H.N.V Sumual diam-diam sudah muncul di Manado. Sumual belakangan memberi jaminan para KNIL tak harus memberontak untuk bisa masuk APRIS. Namun terlambat, pemberontakan sudah terjadi.

Di hari pemberontakan itu, sebuah pasukan baru pun terbentuk dan belakangan menjadi bagian dari APRIS dengan nama Batalyon 3 Mei. Mengko, salah seorang sersan yang terlibat pemberontakan, sebagai komandan serta Lexy Anes sebagai wakil komandan. Seperti yang mereka rencanakan, orang-orang Belanda macam Neus dan van Leur adalah buruan yang harus didapatkan. Dua tiga hari setelah pemberontakan meletus, akhirnya mereka berunding dengan Mayor Neus pada 6 Mei 1950.

Kesuksesan pemberontakan ini seolah jadi pengobat dari pemberontakan serdadu KNIL Minahasa yang gagal pada hari Valentine 1946, saat bendera Merah-Putih-Biru mereka jadikan Merah-Putih. Batalyon ini pun segera mendapat tugas berat karena sejak 25 April 1950, Republik Maluku Selatan sedang mengganas di Ambon.

Setelah operasi, menurut Harry kawilarang, batalyon ini tak pulang ke Manado. Mereka didislokasi ke Jawa Barat. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa (1977), nama batalyon 3 Mei menghilang. Di tahun 1963, batalyon ini berstatus sebagai Batalyon Infanteri 324. Pada 8 Mei 1963, Yonif ini menjadi Siluman Merah. Namun 12 tahun kemudian, batalyon ini kemudian dinonaktifkan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani