tirto.id - Pada 7 Januari 1962, Ida Bagus Suja Tenaja yang kala itu berumur 41 tahun, sudah sibuk sejak pagi. Pria asal Singaraja itu sejak pukul 07.00 hendak punya rencana penting yang bisa menentukan arah sejarah Indonesia, yaitu membunuh Presiden Sukarno. Ia bersiap membunuh Sukarno yang akan menuju Gedung Olahraga Mattoangin, Makassar, Sulawesi Selatan. Rombongan Sukarno rencananya akan menuju ke Gedung Olahraga Mattoangin sekitar pukul 20.00 malam.
Tanaja memberikan bungkusan kepada Alex Alfonsus Ratu, seorang anggota TNI di KODAM XIV Hasanuddin Sulawesi Selatan berumur 46 tahun, dengan NRP 223261. Bungkusan itu bukan untuk Alex, melainkan akan diberikan kepada Jan Pieter Korompis, seorang Pembantu Letnan Dua (Pelda) di jawatan kesehatan Angkatan Darat di KODAM XIV Hasanuddin berusia 36 tahun, dengan NRP 236836. Jan Pieter tak hanya dapat bungkusan, tapi juga perintah untuk mengeksekusi rencana pembunuhan terhadap Sukarno. Alex juga meminta kepada Jan Pieter segera melaporkan hasil eksekusi itu pada pagi 8 Januari 1962, esok harinya.
Alex dan Jan Pieter, adalah sama-sama berdarah Minahasa, yang tinggal di Hotel Negara Jalan Sungai Saddang, Makassar. Keduanya hanya berbeda kamar. Jan Pieter berada di kamar nomor 105-106-107, sementara itu Alex di kamar 50-51-52. Serah terima bungkusan terjadi pada pukul 12.30 siang pada 7 Januari 1962, lokasinya di gang hotel.
Setelah serah terima bungkusan, Jan kedatangan tamu, seorang Indo-Makassar berusia 30 tahun, bernama Welly Trouwerbach. Pria yang tinggal di Jalan Mangkura nomor 1 Makassar, senasib dengan Tanaja, sama-sama pengangguran.
Sekitar pukul 18.00 isi bungkusan yaitu granat diperlihatkan oleh Jan Pieter kepada Welly Trouwerbach. Welly diajari bagaimana cara mengaktifkan granat sebelum dilemparkan. Welly pun menerima granat dan uang sebesar Rp10.000, sebagai kompensasi dari misi melemparkan granat untuk membunuh sang proklamator.
Mereka dapat kabar Sukarno akan melintasi Jalan Cendrawasih menuju Gedung Olahraga Mattoangin, Makassar. Selain Welly, ada pengangguran lain yang bersama Jan Pieter, namanya Lukas Hokum, usianya 43 tahun dan tinggal di Jalan Bungur nomor 4 Makassar. Mereka bertiga berada di depan asrama militer dan saat Welly membawa granat. Lukas Hokum, yang bagian dari komplotan itu, jadi saksi mata bagaimana Welly melemparkan granat itu ke arah mobil yang ditumpangi Sukarno.
Menurut catatan Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, 1945-1967 (1999:327), “komplotan penggerak dan pelaksana adalah suatu organisasi gelap yang menamakan dirinya Resimen Pertempuran Koordinator Angkatan Darat Revolusioner (RPKADREV) sebagai pemimpin organisasi tersebut adalah Ida Bagus Suja Tanaja.”
Selain Tanaja, Alex, Jan Pieter, Welly dan Lukas yang beraksi, dalam komplotan terdapat juga anggota TNI lain. Mereka adalah Son Beslar, seorang Pelda TNI asal Sangir berusia 34 tahun dan bertugas di lingkungan Kasdam, yang tinggal di Penginapan Sumarni Jalan Rajawali Nomor 5 Makassar. Juga ada Subarang, seorang Sersan Dua (Serda) dengan NRP 293102 berasal Rantepao, Tana Toraja, berusia 30 tahun dan yang bertugas di Lompobatang tinggal di Jalan Sungai Limboto 56 nomor 13A Makassar. Nama lainnya ada Marcus Octavianus Latupeirissa seorang Sersan Mayor (Serma) TNI dengan NRP 315046 berumur 35 tahun yang bertugas sebagai pengawas pegawai sipil dan tinggal di Penginapan Jenebarang kamar 26 di Jalan Sungai Jenebarang nomor 230 Makassar.
Seorang Ambon yang juga bermarga Latupeirissa, tapi bukan militer, juga terlibat dalam komplotan ini. Namanya Joseph, berumur 31 tahun dan bekerja sebagai pedagang hasil bumi serta tinggal di Jalan Andalah 153 nomor 3 Makassar. Tugasnya bersama Marcus dan orang-orang sipil dalam komplotan adalah mengawasi Jalan Cendrawasih. Mereka siap melakukan perlawanan jika terjadi kondisi yang membahayakan komplotan.
Orang-orang sipil selain Joseph itu adalah: Sutar, seorang pedagang makanan berdarah Jawa tapi kelahiran Palopo yang berusia 32 tahun dan tinggal di Jalan Setandu Gang Buntu; Paulus Maera Tappo, seorang pegawai di KODIM Ujungpandang berusia 31 tahun dan tinggal di Penginapan Sejahtera kamar 6 di Jalan Limboto Makassar. Soal Arsyad dengan Syamsudin. Di antara anggota komplotan yang bertugas melakukan pengawasan, Marcus dan Syamsudin bersenjata pistol.
Rombongan Sukarno, sebelum melintasi Jalan Cendrawasih, berangkat dari komplek kegubernuran Sulawesi Selatan. Presiden, didampingi oleh Panglima KODAM XIV Hasanuddin, Kolonel M Jusuf. Ketika rombongan melintasi Jalan Cendrawasih, granat pun dilempar ke rombongan Sukarno dan meledak.
“Cup (M. Yusuf), suara apa itu?” tanya Sukarno ketika masih di dalam mobil, seperti diceritakan Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit (2006:77).
M Jusuf pun dengan tenang hanya bilang, “mungkin suara ban pecah, Pak.”
Tentu saja, Corps Polisi Militer (CPM) bertindak mengamankan Sukarno. Setelah sampai di lokasi pidato, Sukarno pun dilapori kejadian yang sebenarnya dan akhirnya marah besar.
Sukarno sempat curiga bahwa otak dari penggranatan di Jalan Cendrawasih adalah kelompok yang didanai Belanda, karena kala itu adalah masa-masa perebutan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Pemberitaan saat itu, ada 31 rakyat sipil biasa jadi korban dan 5 orang tewas di lokasi kejadian. Mobil-mobil rombongan tentu rusak dibuatnya. Sementara itu, Sukarno yang jadi sasaran selamat dari ledakan.
Para pelaku, belakangan dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Angkatan Darat Dalam Keadaan Perang (Mahadper) untuk Indonesia bagian Timur. Catatan Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, 1945-1967, mereka terkait dengan Resimen Pertempuran Koordinator Angkatan Darat Revolusioner (RPKADREV) yang meneruskan perjuangan Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang anti-komunis.
Menurut catatan Rosihan Anwar, dalam Sukarno, tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2005:196), “terhukum Ida Bagus Surya Tenaja dalam komplotan itu berkedudukan sebagai Koordinator RPI.” Tenaja diberi pangkat kolonel dalam RPKADREV yang terkait Permesta.
Kelompok Tenaja, yang beraksi di Makassar tak jauh beda kelompok Sam Karundeng di Jakarta dan Bandung. Mereka dianggap jejaring gerakan Permesta yang digebuk tentara pemerintah pusat sejak 1958. Selain kelompok Tenaja dan Sam Karundeng, ada juga 14 pelarian Permesta yang sampai ke Timor Portugal pada 1958. Mereka tiba di Viqueque dan setahun berikutnya membuat kejutan di sana.
Di antara mereka menjadi biang dari Pemberontakan Viqueque—yang melawan pemerintah Portugis di sana. Pemberontakan “Viqueque adalah 'pemberontakan pada 1959 yang diprakarsai sebagian oleh orang-orang Indonesia anti-Sukarno dan diikuti oleh beberapa orang Timor asli nasionalis sejati,” tulis Michael Leach dalam Nation-Building and National Identity in Timor-Leste (2016:42)
Pemberontakan itu dianggap oleh Helen Mary Hill dalam Gerakan Pembebasan Nasional Timor Lorosae (2000:61) sebagai Pemberontakan Viqueque 1959. Satu-satunya pemberontakan setelah Perang Dunia Kedua di Timor Portugal. Di mana kelompok anti-Sukarno juga anti Portugis bersatu.
Editor: Suhendra