tirto.id - Setelah penyerahan massal anggota Permesta, banyak pemimpinnya ditahan. Di level bawah, ada yang lantas dilatih dan masuk TNI, ada juga yang disekolahkan atau kembali ke masyarakat tanpa hambatan.
Ventje Sumual dalam memoarnya (2011) mengisahkan ia ditahan bersama tokoh PRRI/Permesta usai menyerahkan diri pada Oktober 1961. Di bawah "demokrasi terpimpin"-nya Sukarno, Sumual meringkuk bersama Wim Manoppo, Henny Manoppo, Mohammad Baga, George Montolalu, De Warouw, Gerson Sangkeang, Peta Kamagie, Agus Tuwaidan, Hein Kalangi, Maludin Simbolon, Mohamad Natsir, Duski Samad, Burhanuddin Harahap, Asaat, Lan Ingkiriwang, dan Sjafruddin Prawiranegara.
Sumual mengaku merasa ditipu, “Sudah menuruti panggilan pemerintah pusat untuk berdamai, sudah ada jaminan amnesti dan abolisi, tapi ternyata ditahan juga.” Tetapi ia pasrah saja. Pada 26 Juli 1966, sehari setelah Soeharto menjadi Ketua Presidium Kabinet, Sumual bebas. Pengacara sohor Adnan Buyung Nasution, saat itu menjabat jaksa, membawa surat pembebasannya. Banyak veteran Permesta yang terlibat dalam pengganyangan Partai Komunis Indonesia berserta underbouw-nya.
Satu di antara veteran yang ikut menghabisi PKI 1965-1966 adalah Benny Tengker. Ia keluar dari hutan pada 1961 dan ikut program pengampunan dari pemerintah pusat. Ia seorang letnan dalam pasukan Permesta. Ia sempat dikirim ke Ambarawa, Jawa Tengah, untuk dijadikan tentara. Ia kabur dari latihan karena melihat banyak kawannya yang pangkatnya diturunkan.
Dari Ambarawa, Benny ke Manado dan menyelesaikan pendidikan SMA yang sempat tertunda. Beres SMA, ia sempat jadi ajudan Radius Prawiro, seorang ekonom dan politikus Indonesia yang empat kali menjabat menteri di bawah Soeharto. Benny lantas ikut pamannya yang memimpin Akademi Maritim Indonesia (AMI-ASMI) Jakarta.
“Mula-mula saya dijadikan sopirnya,” ujar Benny Tengker kepada Tabloid Reformata (29/08/2005). Berikutnya ia jadi sekretaris dan memimpin AMI.
Selain Benny, ada veteran muda Permesta yang terlibat pengganyangan PKI di Jakarta. Ia adalah Boelly Londa dan Henk Tombokan. Boelly adalah kawan Soe Hok Gie.
Orang-orang ini, yang semula jadi narapidana di bawah Sukarno, berubah nasibnya di bawah Soeharto. Menurut Barbara Harvey dalam Pemberontakan Setengah Hati (1984), banyak anggota Permesta berkarier dalam dunia usaha dan politik di masa jaya Orde Baru.
Karier Pengusaha dan Politikus
Alex Kawilarang, panglima andalan Permesta, tinggal di Jakarta usai menjalani proses penyerahan diri. Ramadhan KH dalam Menggali Kekayaan Jakarta (1992) menulis, Ali Sadikin mengangkat Kawilarang sebagai wakil manajer Jakarta Racing Management yang mengelola pacuan kuda Pulomas. Sebagai mantan kadet akademi militer kerajaan di Bandung, berkuda adalah pelajaran penting.
Ventje Sumual, selain hidup tenang dengan keluarganya, adalah direktur PT Konsultasi Pembangunan sejak 1972. Perusahaan ini bergerak di bidang perkapalan dan perkayuan di Indonesia timur. Banyak veteran Permesta dan PRRI yang ditampung di sana, termasuk Bing Latumahina, mantan sekretaris dewan tertinggi Permesta. Sumual terlibat pula dalam perusahaan lain bersama mantan anggota Permesta.
“Bersama Welly Pesik, Daan Mogot, dan Jan Walandouw, kami bikin perusahaan perkapalan. Namanya Suwal-Pesmo Jaya Lines. Itu singkatan dari nama-nama kami ... Biasa disingkat S&P Jaya Lines," ujar Sumual. "Kami akan mengutamakan pengembangan transportasi Indonesia bagian timur, agar pembangunan daerah-daerah di timur dapat mengejar ketertingalan,” tulisnya dalam memoar.
Kapal-kapal di bawah komando perusahaan itu diberi nama para pejuang asal Minahasa seperti Sam Ratulangi, Notji Kindengan, dan Joop Warouw. Perusahaan ini diresmikan oleh Presiden Suharto.
Muhammad Saleh Lahade, yang terlibat dalam proklamasi Permesta pada 2 Maret 1957 dan Menteri Penerangan Permesta, pernah di penjara di Denpasar. Sekeluar dari penjara, Saleh menjabat direktur PT Utresco yang berkantor di Makassar. Perusahaan Saleh sering berhubungan dengan PT Konsultasi Pembangunan.
Selain mereka yang menekuni pengusaha, ada juga yang berkarier politik. Salah satunya Gerson Sangkeang alias Goan, tangan kanan pimpinan Pasukan Pembela Keadilan (PPK) Jan Timbuleng. Belakangan Goan menjadi anggota DPR berkat bantuan HV Worang, gubernur Sulawesi Utara.
Di antara yang kembali ke lapangan militer adalah Nicholas Sulu. Menurut pengakuan adiknya, Phill M Sulu, Nicholas terlibat dalam konfrontasi "ganyang Malaysia" oleh Dwikora di Kalimantan Utara. Pangkat terakhirnya adalah mayor.
Berdasarkan penelusuran Richard Leiriza dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1996), ada pasukan yang dipimpin Jonkhy Kumontoy di Maluku Utara, pemimpin Permesta terakhir yang menyerahkan diri. Setelah berhasil ditemui Kodim Maluku Utara, pasukan Kumontoy dilibatkan dalam perebutan Irian Barat pada 1962. Sebanyak 158 orang yang bergabung dalam pasukan Kumontay itu dijadikan Pasukan Gerilya 500 dan ditugaskan ke Manokwari dan Pulau Waigeo, pulau terbesar di Raja Ampat.
Permesta menjadi Kebanggaan
Di era Sulawesi Utara dipenuhi tentara asal Jawa, banyak kalangan menilai karier militer dan politik orang-orang Minahasa terhambat setelah perlawanan gerilya Permesta dipatahkan. Menurut sejarawan muda Minahasa Bode Talumewo, awalnya banyak orang menyalahkan Permesta atas situasi itu terutama pada masa akhir Sukarno dan periode awal Soeharto.
Belakangan, menjadi Permesta adalah sesuatu yang membanggakan. Ventje Sumual ingat bagaimana Alamsyah Ratoe Perwiranegara, jenderal angkatan darat dan mantan menteri Orde Baru, mengatakan pujian kepada Ventje. “Pak Ventje, perjuangan kita dulu itu adalah Orde Baru yang belum terlembaga.”
Abdul Haris Nasution, komandan tertinggi AD saat pemberontakan PRRI/Permesta, memuji langkah politik Sjafruddin Prawiranegara saat orang yang disebut terakhir itu berulangtahun ke-70 pada 1981. “Rupanya bagi pers sekarang, Permesta sangat penting ... Roda zaman betul-betul sudah berputar, dan kami ikut berada di dalamnya,” ujar Sumual dalam memoarnya.
Panglima Kostrad Johny Lumintang dan Kepala Staf Angkatan Laut Bernard Kent Sondakh adalah orang Minahasa.
Sejarawan Bode Talumewo menilai bagaimana Permesta dipakai sebagai "citra positif" bagi kalangan elite Minahasa kini. “Jeleknya, banyak orang yang dulu pro dan anti sama-sama memanfaatkan 'Permesta' untuk kepentingan mereka. Banyak ormas adat sekarang yang muncul dari latar belakang Permesta atau unit Permesta.”
Jauh sebelum Permesta dikenang seperti sekarang, ketika Permesta mulai memberontak, Karel Supit—yang dikenal seorang sosialis—pernah bilang kepada para kolega komunisnya: “Di sini bahkan rumput pun Permesta.”
Ucapanya relevan di masa sekarang ketika Permesta menjadi kewajaran umum yang dibanggakan orang Minahasa.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam