Menuju konten utama

Masa Bersiap Pasca-Merdeka: Masa Ngeri Tak Ada Sedapnya

Usai kemerdekaan, aksi kriminal & kekerasan dengan sasaran orang Belanda dan Indo-Belanda terjadi nyaris di seluruh Pulau Jawa & Sumatera.

Masa Bersiap Pasca-Merdeka: Masa Ngeri Tak Ada Sedapnya
Ilustrasi: PM Sutan Sjahrir pernah jadi sasaran percobaan pembunuhan di tengah kecamuk revolusi pasca-kemerdekaan. Tirto/Lugas

tirto.id - Masa-masa setelah 17 Agustus 1945, di mata orang Indonesia, dianggap masa perjuangan. Setelah 3,5 tahun pendudukan Jepang yang kejam, dan ratusan tahun kolonialisme Belanda, banyak orang Indonesia merasa merdeka.

Semangat kemerdekaan itu, di kalangan sebagian orang Indonesia, dicampuri nafsu balas dendam kepada segala hal berbau Belanda. Orang-orang ini tidak menyukai orang-orang yang dekat dengan Belanda. Mereka yang bekerja untuk orang Belanda, terutama orang Belanda yang bekerja untuk NICA, dijuluki sebagai Andjing NICA.

“Kalau badan lagi apes dan kita dicurigai sebagai “andjing NiCA” (mata-mata Belanda), nasib kita akan jelek sekali. Sudah bagus kalau cuman dihajar dan digebukin saja,” tulis Kwee Thiam Tjing dalam Indonesia Raya (15-17 Agustus 1972), seperti dimuat dalam Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoar Kwee Thiam Tjing (2010).

“Masa itu dikenal sebagai masa perjuangan: Bersiap. Belanda menamakannya: Bersiap-Periode,” tulis Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010).

Kata bersiap kerap diserukan jika malam menjelang. Massa rakyat bersenjata bambu runcing, golok, satu-dua senjata api seperti pistol, bersiap menantikan kedatangan serdadu-serdadu sekutu atau NICA-Belanda. Bentrokan biasa terjadi dan korban berjatuhan di kedua belah pihak, biasanya kebanyakan dari kubu Indonesia.

“Masa Bersiap ditandai maraknya tindakan kriminal dan kekerasan dengan sasaran orang Belanda dan Indo-Belanda. Keadaan ini terjadi hampir di seluruh Pulau Jawa dan Sumatera,” tulis Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1990-an (2017).

Di Depok terjadi hal semacam itu, yang memuncak pada 11 Oktober 1945, bersamaan serangan Tentara Keamanan Rakyat terhadap Belanda. Peristiwa itu dikenal sebagai Gedoran, tulis Tri Wahyuning.

Sejak 7 Oktober, pemuda-pemuda Indonesia menghalangi pedagang Indonesia yang hendak menjual barang kebutuhan pokok kepada orang Belanda. Di hari itu, rumah Asisten Wedana Depok juga dirampok. Dua hari kemudian, lima rumah kena rampok. Para perampok itu tak hanya membawa senjata tajam, tapi juga bendera Merah-Putih.

Semula tidak ada korban jiwa. Pada 10 Oktober, giliran para gelandangan menyerbu gudang pangan di Depok. Pada 13 Oktober, gerombolan orang menyerbu, dan sepuluh warga terbunuh. Orang-orang Eropa dan orang Indo, juga orang pribumi yang beragama Kristen, dikumpulkan di belakang Stasiun Depok. Mereka ditawan dan dibawa ke Bogor. "Semua pria, wanita, dan anak-anak itu hampir seluruhnya ditelanjangi,” tulis Tri Wahyuning.

“Ada saja pejuang yang bangga telah memenggal sekian banyak leher 'kaki tangan NICA', dan ia jadi disegani. Namun, teror adalah teknik, akarnya adalah perjuangan kebebasan dan keadilan,” catat Bakri Tianlean dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal (1997). Kaki tangan itu tak mesti serdadu NICA, tapi juga yang dituduh mata-mata sipil atau siapa pun yang bekerja sama dengan Belanda.

“[Para korban] yang mati tak hanya ada di antara orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp—sekitar tiga ribu lima ratus lebih jiwa—melainkan juga orang-orang Ambon, Cina kaya, dan yang disebut Indo,” tulis Mischa de Vreede dalam Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui (2013).

Pembunuhan terhadap orang-orang pro-Belanda atau yang dianggap pro-Belanda itu, menurut Gert Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 (2016), “disertai penyiksaan keji dan pemerkosaan. Perkiraan jumlah orang Eropa yang dibunuh berkisar antara 3.500 sampai 20.000 orang."

Masa Bersiap serta jumlah korbannya memperlihatkan kekacauan sosial dan administrasi, ujar Gert Oostindie.

Tak hanya orang dari etnis Ambon yang jadi sasaran. Orang-orang Minahasa atau Manado juga jadi target.

Orang-orang dari dua etnis ini dinilai bekerja sama dengan pemerintah dan militer Belanda di masa sebelum Jepang menduduki Indonesia. Kebetulan agama mereka sama dengan orang-orang Belanda pada umumnya. Kebetulan orang-orang dari dua etnis ini diistimewakan oleh politik kolonial Belanda.

Nyatanya, banyak juga orang Jawa yang menjadi pegawai dan tentara kolonial.

Infografik HL Revolusi 2

Teror Dibalas Teror

Aksi kriminal ala pengacau era 'Masa Bersiap' itu memperbesar musuh Republik. Pihak yang dianggap pro-Belanda yang jadi korban biasanya enggan tinggal diam bila ada dari mereka yang jadi korban pemuda Indonesia yang membabi buta mencelakai mereka. Mereka akhirnya bersikap brutal kepada orang-orang Indonesia pro-Republik yang mereka temui.

Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas (1990), melihat bahwa “Masa Bersiap itu menimbulkan kekejaman-kekejaman oleh pihak sana, seperti dialami oleh pemuda-pemuda kita sehari-hari di Jakarta, antara lain yang terkenal adalah Batalyon X di Senen, Djakarta.”

Menurut Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta No: 129 (Seri Laporan Djawatan Kepolisian Negara 21 tertanggal Februari 1950): Beberapa orang Ambon yang kerap mangkal di Senen, di antaranya bernama Wimpie, Albert, Mingus Gerardus, dan Polang, pernah menyuruh orang Republik yang mereka temui untuk menelan lencana Merah-Putih yang dikenakan.

Masa itu juga tak hanya pemuda biasa di jalanan yang menjadi korban. Perdana Menteri Sjahrir menjadi sasaran percobaan pembunuhan, tulis Nasution.

“Desember 1945, dua kali terjadi usaha pembunuhan terhadap PM Sjahrir oleh kelompok-kelompok yang terdiri atas orang-orang Indo, Ambon dan Manado, dan di antaranya adalah anggota militer Belanda. Juga terhadap Ketua KNI Jakarta, Mr. Moh. Roem, yang menjadi target tembakan oknum-oknum NICA,” aku Nasution.

Jika tujuan teror itu hendak menakuti orang-orang Belanda agar tak macam-macam dengan orang-orang Republik maupun pemerintah Republik Sukarno-Hatta, hal itu menjadi tidak berguna.

Mantan pejuang dan tentara yang pernah menjadi jenderal bernama RHA Saleh, dalam Mari Bung Rebut Kembali (2000), menyebut ada satu batalion infanteri KNIL yang memotivasi para anggotanya untuk menyalurkan balas dendam terkait Masa Bersiap. Itulah Batalyon Andjing NICA—sebuah Batalyon Infanteri V KNIL bersimbol anjing berwarna merah menyalak.

Cerita lain: Bahaya terhadap orang-orang Tionghoa dalam Masa Bersiap juga membuat mereka rela dipersenjatai oleh Belanda menghadapi Republik.

“Sekutu dan NICA membentuk Poh An Tui (ada yang menulisnya Pao An Tui), yang artinya: Pasukan Keamanan Lingkungan Cina,” tulis Abdul Baqir Zein dalam Etnis Cina Dalam Potret Pembauran di Indonesia (2000).

Pasukan itu terbentuk untuk menjaga keamanan daerah Pecinan dari kelompok-kelompok yang mereka sebut sebagai "kaum perampok dan ekstremis."

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam