Menuju konten utama

Kudeta Gagal si Komunis Ce Mamat di Banten semasa Revolusi 1945

"Bapak Rakyat" Ce Mamat dan pengikutnya mengambil alih kekuasaan dari Residen Achmad Chatib dan mendirikan Dewan Rakyat.

Ilustrasi: Ce Mamat, komunis angkatan 1926, adalah seorang pejuang anti-Belanda, anti-Jepang, dan anti-feodalisme. Tirto/Lugas

tirto.id - Usai pemberontakan yang gagal terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926, Mohamad Mansur, bekas sekretaris Patai Komunis Indonesia cabang Anyer, kabur ke Singapura ketika orang-orang PKI di Hindia Belanda diburu. Mansur—alias Ce Mamat—adalah orang dekat Tan Malaka di luar Negeri.

“Ia diterima dalam Partai Republik Indonesia (PARI) dan kembali ke Indonesia pada 1930 untuk mendirikan klub studi di Palembang […] Ce Mamat ditahan selama beberapa minggu dan kemudian dibebaskan lagi karena tidak cukup bukti," tulis Michael C. Williams dalam "Banten: Utang Padi Dibayar Padi, Utang Darah Dibayar Darah" dalam Audrey Kahin, Pergolakan pada Daerah Awal Kemerdekaan (1990: 63).

"Lalu ia pulang ke Banten dan menjadi pokrol (pengacara yang tidak memerlukan izin khusus),” lanjut Williams. Mamat sering jadi pembela para jawara di meja hijau. Bukan hal aneh jika ia punya pengikut dari kalangan ini.

Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945-Maret 1946 (2008: 22), Ce Mamat membantu Tan Malaka dalam pelayaran dari Sumatera ke Jawa pada Juni 1942 ketika zaman Jepang. Mamat berjaring dengan kelompok Djojobojo pimpinan Mr. Joesoef di Bandung—yang gemar mengorganisir buruh anti-fasis.

Jika di masa kolonial Mamat anti-Belanda, di zaman Jepang, ia juga anti-Jepang. Karena gerakan ilegalnya, Mamat kena garuk militer fasis Jepang. Beberapa hari setelah Indonesia merdeka, pada 19 Agustus 1945, Mamat baru dibebaskan dari tahanan Kempeitai di Tanah Abang III, Jakarta.

Menurut Williams, Ce Mamat menerima siksaan yang kejam oleh pasukan militer Jepang. Dua kawan Mamat, Haji Sinting (seorang Digulis) dan Hidayat terbunuh oleh siksaan para tentara fasis itu.

Kebencian Ce Mamat dan kolega-koleganya terhadap militer Jepang teramat dalam. Tak hanya terhadap orang Jepang yang jadi militer, tapi juga terhadap orang-orang Indonesia yang dituduh sebagai kolaborator untuk kepentingan Jepang.

Sebelum Ce Mamat bebas, pada 16 Agustus 1945, meletuslah peristiwa di Cinangka. “Para petani Cinangka mendatangi camat setempat, Tubagus Mohamad Arsad, untuk meminta agar bahan sandang yang dia kuasai diserahkan kepada mereka,” tulis Williams (1990: 66).

Sang Camat menolak, dan rumahnya jadi sasaran perampokan. Camat itu kabur dari amarah massa rakyat yang lapar tersebut. Berharap bala bantuan bisa menenangkan massa, ia melapor ke Wedana Anyer, Raden Sukrawardi. Mereka berdua ke Cinangka, dikawal dua polisi. Malang, sang camat dan wedana terbunuh oleh massa. Dua hari kemudian, 30 polisi dan serdadu Jepang dikerahkan untuk menertibkan amuk tersebut.

Pada bulan Agustus dan September 1945, para pejabat Jepang, yang masih tersisa dan punya kuasa, serta pihak Indonesia khawatir. Orang-orang yang mencurigakan lantas ditangkap. Namun, keadaan tak bertambah baik. Serombongan polisi yang patroli di desa Taktakan ditembaki, sampai-sampai mengenai satu bola mata perwira polisi bernama Cokrosuwiryo.

Berbeda dari kota-kota lain di Jawa, bekas tentara sukarela Pembela Tanah Air (PETA) tidak tampil sebagai penggerak revolusi di Keresidenan Banten pada awal-awal revolusi.

Mantan perwira PETA, menurut Williams, “enggan memimpin perjuangan yang mungkin tidak akan dapat mereka kuasai nantinya.” Banyak dari bekas PETA itu lari ke Jakarta atau Bandung.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/03/19/hl-revolusi-4.jpg" width="860" alt="Infografik HL Revolusi 4" /

Membentuk 'Dewan Rakyat'

Di Banten, bukan kelompok dari orang-orang yang pernah bekerja dengan Jepang yang maju ke muka dalam revolusi pasca-merdeka, melainkan ulama atau jawara. Tapi bila bukan keduanya, orang-orang komunis macam Ce Mamat yang maju di tengah masyarakat.

Achmad Chatib, bekas Digulis dan bekas komandan batalyon PETA di Banten, ditunjuk menjadi Residen Banten pada 10 September 1945. Ce Mamat, dengan reputasinya sebagai "Bapak Rakyat," belakangan diangkat menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia di Serang.

“Ia memanfaatkannya untuk beragitasi secara meluas guna melawan rencana pemerintah Republik Indonesia yang terlalu lunak,” tulis Poeze (2008: 27).

Menurut sejarawan ahli Tan Malaka itu, struktur pemerintahan yang ada, bagi Ce Mamat, hanya penerus dari pemerintah kolonial Belanda, yang dipadu dengan sisa-sisa pendudukan Jepang. Maka, yang diperlukan bagi Republik Indonesia semacam Soviet bernama Dewan Rakyat. Pada 27 Oktober 1945, pengambilalihan kekuasaan dari tangan Residen Chatib pun dilakukan.

Ce Mamat, seperti ditulis Matia Madijah dalam Dokter Gerilya (1997: 58) "telah membubarkan Komite Nasional Indonesia dan Badan Keamanan Rakyat, lalu menggantinya dengan membentuk Dewan ala Ce Mamat.“

Orang-orang sipil yang tak punya keahlian diberi jabatan, sementara pejabat lama seperti kepala kepolisian Keresidenan Banten dicopot.

Kegilaan Ce Mamat di mata aparat hukum salah satunya membebaskan para tahanan dari rumah penjara. Sebaliknya, kaum priayi yang di zaman kolonial menjadi kepala atau pejabat daerah dijadikan penghuni rumah tahanan kelompok Ce Mamat.

Dari semua itu, yang paling dianggap keji adalah menculik dan membunuh Bupati Lebak, Ardiwinangun. Mayat bupati itu dilemparkan ke sungai.

“Suatu kegentingan terjadi karena Residen Akhmad Khatib menyerahkan kekuasaan kepada Ce Mamat selaku "Bapak Rakyat". Dengan kekuasaan ini timbullah kekacauan dalam pemerintahan dan semakin kaburlah mana alat negara dan mana yang tidak, makin samar mana yang resmi dan mana yang ilegal,” aku Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia - Volume 2 (1991: 522).

Kabupaten Lebak tergoncang. Rakyat Warunggunung dan Leuwidamar menukung Ce Mamat.

Pimpinan tentara pun bertindak. Di Rangkasbitung, Tentara Keamanan Rakyat bergerak. Tangsi yang menjadi markas dari "polisi jawara" diduduki. Begitupun kantor Dewan Rakyat. Pemimpin-pemimpinnya diburu.

Kekuasaan Republik berusaha dipulihkan dengan tetap menjadikan Chatib sebagai residen. Namun hal ini hanya sementara. Pemerintah Republik Indonesia, yang masih belum stabil itu, lebih merelakan bekas priayi jadi pejabat. pemerintah, menurut Micahel Williams, “memutar kembali jarum jam ke tahun 1945.”

Kekuasaan para ulama dan golongan non-priayi lain—yang menduduki posisi penting di Banten—dipreteli pada 1947. Golongan priayi lama, yang dulu bekerja untuk pemerintah kolonial, naik lagi ke pemerintahan.

Revolusi Sosial ala Dewan Rakyat Ce Mamat pun gagal total.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam
-->