tirto.id - Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo sudah terkapar tiga bulan gara-gara sakit ketika menerima surat dari Tokyo. Surat itu dikirim oleh Sudjono, kemenakan iparnya. Seperti Subardjo, Sudjono punya gelar Meester in Rechten (Mr), sama-sama ahli hukum. Sudjono juga orang pergerakan.
Sudjono—yang pernah menjadi anggota Perhimpunan Indonesia—di mata Subardjo adalah seorang non-koperator. Setidaknya Sudjono tak sudi bekerja untuk pemerintah kolonial.
“Sesudah mendapat gelar sarjana hukum di Leiden, ia menjadi pengacara di Manado, Sulawesi Utara,” tutur Subardjo tentang Sudjono dalam autobiografinya, Kesadaran Nasional (1978: 191).
Di kota itu, Sudjono tak kerasan dan memilih keluar dari kantor pengacara tempatnya bekerja. Ia akhirnya mendapat pekerjaan di Jepang pada 1931. Bukan sebagai pengacara sesuai gelarnya, melainkan menjadi pengajar bahasa Indonesia di sekolah bahasa asing Tokyo.
Waktu suratnya diterima oleh Subardjo, Sudjono sudah 4 tahun di negeri yang kala itu dipimpin Kaisar Hirohito.
Sudjono tinggal bersama istrinya yang cantik lagi terpelajar, Retnowati Latip, anak dr. Latip yang terpandang pula. Di mata seorang koleganya, Sutan Mohamad Rasjid, seperti yang diungkap dalam buku Rasjid-70 (1981), Sudjono adalah “orang besar, ganteng dan punya civilization” (hlm. 105).
Sudjono menikah dengan Retnowati pada 8 Juli 1933 dengan upacara adat Jawa. Kakak perempuan Subardjo adalah ibunda Retnowati. Ketika Subardjo berada di Jepang, Sudjono menghubungkan paman-mertuanya itu dengan beberapa tokoh negeri sakura.
Pengacara yang Percaya Ramalan Jayabaya
Semasa tinggal di Jepang, Sudjono punya kawan dari kalangan teosofi yang dikenalnya sejak di Jakarta. Herman Abbinga namanya. Mereka sama-sama bekerja sebagai tenaga pengajar.
Suatu kali, Abbinga pernah berkata kepada Sudjono agar waspada terhadap Jepang. Abbingga berpikiran, jangan-jangan Jepang akan menjadi tuan yang lebih jelek ketimbang Belanda. Sudjono menimpali bahwa dirinya percaya kepada ramalan Jayabaya.
Meski bersekolah ala Barat, mengambil jurusan ilmu hukum nun jauh di Leiden sana, Sudjono adalah orang yang percaya kepada ramalan itu. Ia yakin bahwa jika Jepang benar-benar menduduki negerinya, kekuasaan mereka tidak akan lama.
Seperti dicatat Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam Mr. Sudjono, Mendarat Dengan Pasukan Jepang di Banten, 1942 (1983: 167), inti dari ramalan itu adalah: "Akan datang bangsa berkulit kuning dari Utara, berperawakan tidak tinggi, pendek pun juga tidak. Mereka itu nanti akan menduduki tanah Jawa, namun hanya seusia tanaman jagung. Dan akan kembali ke negerinya sendiri, sedangkan tanah Jawa akan kembali dikuasai anak negeri sendiri pula."
Jepang memang kian menguat di paruh pertama abad ke-20. Sudjono begitu dekat dengan bangsa berkulit kuning dari utara itu. Sementara itu, Hindia Belanda sudah lama diintai intel-intel Kaisar Hirohito.
Orang-orang Jepang sudah masuk ke Hindia Belanda pada awal 1920-an. Mereka umumnya menyaru sebagai pedagang. Bahkan, sejak awal abad ke-20, banyak perempuan Jepang masuk ke Hindia Belanda sebagai pekerja seks komersial.
Suatu hari sekitar akhir 1941, Sudjono kedatangan tamu di rumahnya di Tokyo. Seorang perwira Angkatan Darat Jepang—yang datang atas perintah komandan militer tertinggi—mengajak Sudjono ikut serta dalam perjalanan ke Jawa sebagai penerjemah militer. Sudjono akan diberi pangkat kolonel tituler.
Ia sebenarnya merasa tidak tahu banyak soal Angkatan Darat Jepang, yang sudah menunjukkan keganasannya di daratan Tiongkok.
“Saya tidak punya pilihan kecuali mengiyakan,” aku Sudjono seperti dikutip Subardjo (hlm. 241).Sudjono yang masih meraba-raba soal perjalanannya ke Jawa menjadi tampak istimewa bagi militer Jepang.
Saat itu, sedikit sekali personel militer yang menguasai bahasa Indonesia.“Minggu pagi Sudjono dijemput Taniguchi dan dipertemukan dengan Kolonel Nakayama, pemimpin ekspedisi rombongan,” tulis Soebagijo (hlm. 165).
Sudjono pun melihat betapa sibuknya militer Jepang. Ia yang belum tahu misi sebenarnya kemudian bertanya, “Apakah maksud anda ke tanah Jawa?"
"Untuk membebaskan bangsa anda dari Belanda dan kalau mau anda dapat membantu kami," jawab si kolonel.
Sudjono senang sekaligus bingung karena dia bukan orang militer dan tidak tahu apa-apa soal perang. Sudjono pun balik bertanya, “bantuan apa yang dapat saya berikan?"
"Oh, banyak sekali. Anda penting untuk menghubungi pemimpin-pemimpin Indonesia di sana," tukas si perwira Jepang.
Pekerjaan itu tampak menarik bagi Sudjono yang hendak menyongsong terbebasnya Jawa dan wilayah lainnya dari cengkeraman Belanda. "Kalau begitu, saya sanggup," jawab Sudjono.
Taniguchi lalu ditugasi melengkapi Sudjono dengan pakaian seragam dan lain-lain, yang diperlukan dalam perjalanan. Pada 28 Februari 1942, tepat hari ini 76 tahun lalu, Sudjono mendarat di Jawa bersama rombongan balatentara Jepang.
Menyaksikan Ramalan Jayabaya Terwujud
Tahun 1942 menjadi tahun bersejarah bagi Sudjono. Setidaknya dia menyaksikan sendiri runtuhnya Hindia Belanda.Ramalan Jayabaya pun terwujud sebagian. Lewat kapitulasi antara Hindia Belanda dan Jepang pada 8 Maret 1942, Jawa beralih tuan. Kedatangan Jepang bahkan disambut gembira banyak orang Indonesia.
Sementara itu, Subardjo dipercaya Angkatan Laut Jepang di Jakarta pimpinan Laksamana Tadashi Maeda untuk mengelola Asrama Indonesia Merdeka. Di asrama itu, Wikana adalah salah satu pentolannya. Jaringan Wikana belakangan ikut serta dalam memaksa Sukarno-Hatta membacakan proklamasi Republik Indonesia.
Perlahan dan pasti, Jepang menjadi saudara tua yang buruk bagai saudara mudanya, orang-orang Indonesia. Hidup susah pun melanda para saudara muda.
Keluarga Sudjono, yang sebenarnya tidak tergolong miskin di zaman Jepang, juga mengalami kesusahan. Waktu itu Sudjono bekerja sebagai Kepala Bagian Penerjemahan di kantor Gunseikanbu (Pimpinan Pemerintahan Sipil Pendudukan Jepang).
“Kami juga terpaksa merelakan perabotan rumah, karpet, bahkan kain gorden pindah tangan ke tukang loak atau tukang sayur, barter dengan beras, ayam atau bahan makanan lain yang lebih diperlukan guna bisa bertahan hidup,” aku Retnowati Latip dalam Aku Ingat: Rasa dan Tindak Siswa Sekolah Kolonial di Awal Merdeka Bangsa (1996: 243).
Ramalan Jayabaya terwujud secara penuh pada 1945 ketika Jepang menyerah kalah kepada sekutu yang disusul Proklamasi Kemerdekaan. Sudjono menyaksikan ramalan itu terbukti dan melihat anak negeri mengambil alih kekuasaan.
Setelah Indonesia merdeka, Sudjono pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Jepang. Ada satu kebetulan yang membuat Sudjono kian terkait dengan Jepang: ia lahir pada 1904, tahun yang sama ketika Jepang meraih kemenangan atas Rusia.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan