tirto.id - Di sisi timur Jembatan Merah Surabaya, tempat terbunuhnya komandan tentara Sekutu Brigadir A.W.S. Mallaby, adalah kawasan niaga legendaris bernama Jalan Kembang Jepun. Dari situ, berjalan sedikit, juga ke arah timur, terdapat daerah bernama Cantian.
Menurut Oliver Johannes Raap dalam buku yang dipenuhi foto lawas, Kota di Djawa Tempo Doeloe (2017), Cantian dahulu adalah pusat prostitusi. Banyak pelacur asal Jepang di sana. Tak heran jika kawasan yang dipenuhi “kembang-kembang” dari Jepang itu belakangan dikenal sebagai Kembang Jepun (hlm. 135).
Pada masa kolonial, jalan itu bernama Handelstraat—yang bisa diartikan sebagai Jalan Niaga. Saat ini, kawasan tersebut dikenal juga dengan nama Kya-kya.
Baca juga:
"Impor" Pekerja Seks dari Jepang
Dalam karya sastra Indonesia, Kembang Jepun tak hanya disinggung dalam roman-roman sejarah. Setidaknya, Remy Sylado di tahun 2003 merilis novel berjudul Kembang Jepun. Begitu juga Lan Fang, pada 2006 dengan judul sama. Pramoedya Ananta Toer menyinggung karayuki-san alias pelacur Jepang di Kembang Jepun itu lewat karya besarnya, Bumi Manusia (2002: 183) dan Anak Semua Bangsa (2002). Kedua buku itu menyinggung seorang pelacur Jepang bernama Maiko.
“Dia hanya seorang di antara sekian banyak pelacur Jepang, meninggalkan tanah kelahiran, dengan tekad mengumpulkan modal, membangun perusahaan bersama calon suami!,” tulis Pram di Anak Semua Bangsa (hlm. 50). Kemiskinan memang membuat sebagian perempuan Jepang rela menjadi pelacur di negeri orang. Pada awal abad ke-20, angka kemiskinan di Jepang sangat tinggi.
Menurut catatan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008), “ [...] sejak 1868 hampir setengah juta perempuan Jepang diselundupkan ke Asia Tenggara untuk pelacuran” (hlm. 324). Di antaranya tentu masuk ke Indonesia.
Soal orang-orang Jepang masuk ke Indonesia, Akira Nagazumi dalam pendahuluan buku Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang (1986), mencatat, “Awal Zaman (Kaisar) Meiji semakin banyak saja orang Jepang yang bermukim di Indonesia, tetapi mereka terdiri dari berbagai profesi, termasuk pelacur dan germo” (hlm. 1). Awal Meiji berkuasa di Jepang adalah 1868 dan kemudian Jepang menjadi negara terbuka sebelum menjadi negara niaga penting di Asia.
Di Nusantara, pelacuran orang-orang asing alias bukan Indonesia asli sudah ada sejak lama. Dalam Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial (2005), R.P. Suyono menyebut, “Wanita Indo, Eropa dan Cina dapat pula menjadi pelacur atau selir” (hlm. 279). Seorang pelacur indo bernama Fientje de Feniks pernah bikin geger gara-gara dibunuh di Batavia pada 1912.
Baca juga:
Selain perempuan-perempuan dari kalangan Indo, Eropa, atau Tionghoa, golongan pelacur dari Jepang tampaknya menjadi primadona dalam dunia prostitusi kolonial. “Bagi wanita Jepang yang datang ke Nusantara dan ingin menjadi karayuki-san (pelacur), mempunyai pasaran yang tinggi dan banyak permintaan,” tulis RP Suyono (hlm. 279).Namun, mereka bukanlah geisha yang tampil elegan seperti dalam film Memoirs of a Geisha (2005). Pelacur-pelacur itu biasanya tak memiliki hasrat kesenian seperti para geisha yang bisa memainkan alat musik atau berpuisi.
“Mungkin karena mereka memiliki kelebihan dalam melayani seorang pria dibanding yang lainnya. Mereka termasuk yang paling miskin dari golongan itu, tetapi tetap merupakan wanita yang didatangkan dari luar negeri,” tulis Suyono.
Jumlah orang-orang Jepang di Indonesia kalah banyak dengan orang-orang Tionghoa. Menurut Suyono, di Indonesia tahun 1920, terdapat 4.144 orang Jepang, di antaranya 2.610 pria dan 1.504 wanita.
Menurut Oliver Raap, seperti dikutipnya dari Broeshart dalam Soerabaja Beeld van een Stad (1994), sekitar awal abad ke-19 di kawasan Kembang Jepun banyak pelacur dari Jepang mangkal di sana (hlm. 89). Kawasan itu berada di tengah kota. Terence Hull dkk dalam Prostitution in Indonesia: Its History and Evolution (1999) mengungkapkan, prostitusi di kawasan pusat kota biasanya dimiliki orang-orang Tionghoa atau Jepang (hlm. 6-7).
Pada abad ke-19, dunia pelacuran Surabaya tersohor di mana-mana.Posisinya sebagaikota pelabuhan yang besar, adanya pangkalan angkatan laut, tangsi militer, dan stasiun-stasiun persinggahan kereta api ikut menumbuhkan prostitusi di Surabaya. Kembang Jepun termasuk yang meramaikan pelacuran di sana.
Surut Gara-gara Hukum Moral Kolonial
Tahun 1910, menurut catatan Terence Hull dkk (hlm. 10), Hukum-hukum Moral Masyarakat yang baru berlaku di Belanda diperkenalkan di Hindia Belanda. Hukum yang melawan perzinahan itu berimbas pada dunia pelacuran, termasuk kepada karayuki-san di Hinda Belanda. Setelah naiknya Kaisar Thaiso pada 1912, dunia pelacuran perempuan-perempuan Jepang pun diredupkan. Jepang mulai menaruh minat berdagang barang.
“Pada saat itu pelacuran digantikan pelaku bisnis, ketika semua toko Jepang di Hindia Belanda, dibuka secara intensif,” tulis Sven Matthiessen dalam Japanese Pan-Asianism and the Philippines from the Late Nineteenth Century to the End of World War (2015: 16).
Menurut catatan RP Suyono (2005: 280), “bagi Jepang, karayuki-san merupakan sesuatu hal yang memalukan di tengah upaya mereka untuk dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa (lain).” Kala itu, belum 10 tahun Jepang mengalahkan Rusia di Port Arthur (1904) dan industri Jepang mulai bangkit.
Baca juga:
- Jugun Ianfu: Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang
- Sukarno & Pekerja Seks di Masa Pergerakan Nasional
Boleh saja Jepang menghentikan ekspor pelacur ke Indonesia. Namun, yang terjadi pada dekade 1940-an adalah tragedi bagi bangsa-bangsa yang tanah airnya diduduki Jepang. Saat itu, militer fasis Jepang mengeksploitasi perempuan-perempuan Asia untuk dijadikan jugun ianfu. Para perempuan tersebut dipaksa melayani birahi serdadu-serdadu Jepang di Front Pasifik.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan