tirto.id - Siang itu, saat matahari belum terlalu terik, setelah berkendara sekitar satu setengah jam dari pinggiran Jakarta, kami akhirnya tiba tepian Sungai Cianten yang mengalir di sebelah barat Kabupaten Bogor.
Perhatian kami segera tertuju pada satu monumen yang berdiri di tepian sungai yang lokasinya tak jauh dari Museum Pasir Angin. Monumen itu berwarna abu-abu dan terdapat tulisan berhuruf kanji di bagian tengahnya.
Menurut Iwan Santosa dalam "Mengenang Pertempuran Leuwiliang di Situs Purbakala Pasundan", arti tulisan pada monumen tersebut adalah "Hiroyasu Teitai atau Kolonel Hiroyasu selaku Komandan Resimen yang bertempur; Senbotsusha Ireihi (prasasti untuk mengenang mereka yang gugur); Nihon Koku Niigataken (mereka berasal dari Prefektur Niigata); Shibata kyu-Hohei dari 16 Rentai Senyu-kai (didirikan oleh para veteran resimen infanteri ke-16 dari Kota Shibata)."
Secara umum, kondisi monumen baik dan terlindungi dari paparan sinar matahari dan hujan karena ditudung dengan cungkup sederhana. Ditempatkan di tepian Sungai Cianten sebagai pengingat peristiwa Pertempuran Leuwiliang antara tentara Jepang dan Sekutu pada 3 sampai 5 Maret 1942.
Terdapat satu monumen lagi yang berkaitan dengan pertempuran di Leuwiliang yang kini tersimpan di Museum Taman Prasasti. Tak hanya monumen, di sekitar halaman Museum Pasir Angin juga terdapat dua sisa benteng pengintai (pillbox) yang kondisinya sudah tidak utuh lagi.
Benteng pengintai ini berdiri pada sebuah bukit kecil yang langsung mengarah ke tepian sebelah barat Sungai Cianten dan jalan raya. Dari garis pertahanan di bukit kecil dan benteng pengintaiini tentara Sekutu memuntahkan pelurunya untuk menahan laju pergerakan tentara Jepang menuju Buitenzorg atau Bogor.
Selama tiga hari tentara Sekutu dan Jepang berhadapan, membuat tepian Sungai Cianten ramai dengan deru senapan.
Jepang Mendarat di Jawa
Menurut Amrin Imran dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 6, Perang dan Revolusi (2012), sejak 1940 Indonesia sudah mendapat perhatian khusus dan dicantumkan dalam ikhtisar kebijaksanaan nasional dasar Jepang. Mereka mengincar beberapa sumber daya alam, termasuk minyak.
Kebutuhan minyak bagi Jepang semakin diperlukan setelah Amerika Serikat pada pertengahan 1941 memutuskan hubungan ekonomi sehingga Jepang tidak lagi mendapatkan pasokan minyak dari negeri Paman Sam.
Setelah berhasil menghancurkan pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, Jepang segera mengarahkan muka ke Asia Tenggara.
Pada Januari 1942, pasukan Jepang tiba di Kalimantan dan segera menguasai sumber minyak di Tarakan, Balikpapan, dan Samarinda. Mereka juga berhasil menguasai sumber minyak di Sumatra, yaitu di Plaju, dekat Palembang.
Setelah berhasil menguasai sumber-sumber minyak Hindia Belanda, tujuan Jepang selanjutnya adalah Jawa--mengincar sumber daya penting lainnya, yakni manusia.
"Pada umumnya, Jawa dianggap sebagai daerah yang secara politik paling maju, tetapi secara ekonomi kurang penting; sumber dayanya yang utama adalah manusia," tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2022, hlm. 422).
Sebelum menguasai Jawa, armada Jepang sempat mendapatkan perlawanan dari armada Sekutu di beberapa lautan Hindia Belanda, salah satunya Laut Jawa. Dalam bentrok yang dikenal dengan Pertempuran Laut Jawa itu Jepang berhasil menggebuk Sekutu dipimpin Laksamana Muda Karel Doorman.
Bahkan Karel Doorman ikut tenggelam bersama kapalnya, HNLMS De Ruyter, beserta dengan ratusan pelaut Sekutu lainnya. Setelah melibas Sekutu, Jepang akhirnya mendaratkan pasukannya di Jawa pada 1 Maret 1942. Mereka mendarat di Merak, Eretan, dan Tuban.
Pertempuran Leuwiliang
"Dari Banten, pasukan [Jepang] segera bergerak ke Batavia. Pasukan yang mendarat di Eretan di bawah pimpinan Kolonel Tonishori Shoji segera bergerak ke Subang dan Kalijati," tulis Amrin Imran (2012).
Pasukan yang bergerak dari Eretan akhirnya memasuki Bandung setelah beberapa kali diadang tentara Belanda. Hasilnya, pada 8 Desember 1942, Belanda menyerah tanpa syarat pada Jepang.
Sementara pasukan yang mendarat di Merak terus bergerak mendekati Batavia dan Buitenzorg melalui Rangkasbitung dan Jasinga. Mereka akhirnya sampai di tepian sebelah barat Sungai Cianten yang berlokasi sekitar 25 km dari pusat Buitenzorg.
Pasukan Jepang di bawah kepemimpinan Noguchi Kin'ichi dan Juro Hiroyasu menjadi rombongan awal yang tiba di Leuwiliang. Mereka tiba antara siang hingga sore tanggal 3 Maret 1942.
Pergerakan mereka terhenti karena jembatan di atas Sungai Cianten telah dihancurkan oleh pasukan Sekutu. Mereka lalu bergerak di sekitar reruntuhan jembatan mencoba menyeberangi sungai. Namun, pergerakan mereka langsung disambut tembakan dari pasukan Sekutu, termasuk pasukan Blackforce yang dikomandoi Arthur Blackburn.
Sekutu juga diperkuat Batalion Senapan Mesin 2/3 (Machine Gun Battalion), Batalion Perintis 2/2 (Pioneer Battalion) Australia Imperial Forces (AIF), dan Kavaleri dari 3 King’s Own Hussars.
"Tiba-tiba [pasukan Jepang] mendapat serangan dari senjata antitank dan senapan mesin musuh dari seberang yang menghancurkan mobil lapis baja ringan," dalam buku The Invasion of the Dutch East Indies (2015), terjemahan Willem Remmelink yang diterbitkan ulang Universitas Leiden.
Buku ini menulis secara jelas mengenai rentetan peristiwa invasi Jepang ke Hindia Belanda, termasuk penjelasan mengenai Pertempuran Leuwiliang.
Jepang tak tinggal diam. Mereka membalasnya hingga terjadi jual beli tembakan yang berlanjut hingga petang. Saat kegelapan mulai menyelimuti, pasukan yang dipimpin oleh Juro Hiroyasu mulai bergerak setelah mendapatkan perintah.
Mereka bergerak ke sebelah selatan Leuwiliang lalu menuju bukit kecil, tempat pertahanan pasukan Sekutu. Namun, pergerakan pasukan Jepang untuk menyeberangi sungai tidak semudah membalik telapak tangan.
Hujan yang turun pada malam sebelumnya membuat mereka semakin sulit karena arus sungai meluap.
"Aliran Sungai Cianten meluap akibat badai pada malam sebelumnya, arus deras membuat upaya penyeberangan memerlukan waktu yang lama,” tulis penyusun buku The Invasion of the Dutch East Indies (2015).
Pasukan Juro Hiroyasu baru berhasil menyeberangi sungai pada pagi keesokan harinya. Artinya, mereka membutuhkan waktu hampir sepanjang malam untuk menyeberang ke sisi sungai sebelah timur.
Baku tembak antara pasukan Sekutu dan pasukan Jepang yang berhasil menyeberangi sungai tak dapat dihindari. Pertempuran terus berlanjut sampai akhirnya Jepang berhasil merebut beberapa lokasi penting di sekitar Leuwiliang yang menjadi basis pertahanan Sekutu.
Pertempuran selesai setelah pasukan Sekutu diperintahkan angkat kaki dari Leuwiliang dan mundur ke Buitenzorg pada 5 Maret 1942.
"Pasukan Blackforce kemudian mundur ke timur (Buitenzorg) dan diharuskan menuju Sukabumi dan kemudian ke Bandung," tulis Department of the Army, Center of Military History (CMH) dalam buku East Indies (2010).
Pertempuran ini membuat ratusan orang dari kedua belah pihak menemui ajal di tepian Sungai Cianten.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi