Menuju konten utama
Mozaik

Jejak Dakwah dan Kisah Adikodrati dari Tanah Hitu

Kisah Masjid Wapauwe sebagai salah satu jejak penyebaran Islam di Jazirah Leihitu. Cerita masyarakat lokal tentang masjid ini diliputi hal adikodrati.  

Jejak Dakwah dan Kisah Adikodrati dari Tanah Hitu
Header Mozaik Masjid Wapauwe. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Periodisasi Islam menjadi panggung sejarah bagi banyak kesultanan di Indonesia, seperti Samudra Pasai, Aceh, Demak, Ternate, Tidore, Jailolo, Banten, Cirebon, Mataram Islam, dan lainnya. Tinggalan fisiknya berupa sejumlah cagar budaya bercorak Islam, salah satunya masjid-masjid kuno.

Beberapa contoh masjid kuno yang sudah ditetapkan menjadi cagar budaya adalah Masjid Beuracan, Masjid Kramat Koto Tua, Masjid Kuno Kotagede, Masjid Agung Surakarta, Masjid Kyai Gede, Masjid Kuno Bayan Beleq, dan Masjid Wapauwe.

Kehadiran Islam di Jazirah Leihitu

Pada periode ini, di Maluku berdiri sejumlah kesultanan, antara lain Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan atau sering disebut Moloku Kie Raha.

Empat kesultanan tersebut berada di Maluku bagian utara, sementara di Maluku bagian tengah dan selatan ada satu kerajaan Islam, yakni Tanah Hitu. Kerajaan ini berlokasi di wilayah yang disebut dengan Jazirah Leihitu, daerah yang berada di pesisir utara Pulau Ambon.

Sebelum Kerajaan Tanah Hitu muncul, Jazirah Leihitu sudah didiami oleh orang-orang Alifuru. Menurut Wuri Handoko dalam "Periode Awal Kerajaan Hitu hingga Masa Surutnya" yang terbit di Kapata Arkeologi (Vol. 2, No. 3, 2006), orang-orang Alifuru merupakan penduduk pertama Jazirah Leihitu yang berdiam di atas gunung-gunung di Pulau Ambon dan Seram.

Jumlah penduduk di Jazirah Leihitu bertambah setelah hadirnya beberapa kelompok pendatang dari berbagai macam daerah, termasuk empat kelompok yang kemudian terkait erat dengan berdirinya Kerajaan Tanah Hitu pada sekitar abad ke-14.

Jazirah ini berkembang setelah menjadi salah satu tujuan dari para pendatang Islam yang berasal dari Arab dan Persia. R.Z. Leirissa, G.A. Ohorella dan Djuariah Latuconsina dalam Sejarah Kebudayaan Maluku (1999), menyebut dua naskah terkait kedatangan Islam di Hitu yang berangka tahun 1234 M dan salah satunya ditulis oleh seorang tokoh bernama Kuluba.

Dua bangsa yang disebutkan itu merupakan bangsa yang dikenal sebagai penyebar Islam di Indonesia.

Dalam buku yang sama juga disebutkan empat kelompok lain yang datang ke Hitu yang kemudian menjadi penduduk di sana. Kelompok pertama yang datang adalah Saupele atau zamanjadi yang berasal dari bagian tenggara Pulau Seram.

Kedua, kelompok yang datang dari Jawa (Tuban) dan menetap di pantai dekat Sungai Waipaliti. Ketiga, kelompok Latima atau Lating pimpinan Jamilu (Perdana Jamilu) yang berasal dari Jailolo (Halmahera). Terakhir atau yang keempat adalah kelompok Olong Datang pimpinan Mata Lian atau Patih Putih yang berasal dari Gorong.

Keempatnya datang ke Hitu bertujuan untuk menyiarkan agama Islam. Mereka juga membuat suatu pemerintahan yang dikenal dengan sebutan Empat Perdana. Pemerintahan yang dibentuk itu dikenal dengan Kerajaan Tanah Hitu.

Masing-masing kelompok memiliki cara tersendiri dalam menyebarkan Islam di Hitu. Wuri Handoko (2006), juga menulis bentuk-bentuk pengislaman itu. Orang-orang dari Jawa berhasil mengislamkan penduduk Alifuru melalui perdagangan.

Lain pula yang dilakukan oleh Perdana Jamilu. Ia berhasil mengislamkan penduduk Alifuru melalui jalan lain, yaitu perkawinan. Jamilu menikahkan putrinya dengan seorang Kapitan Hitu.

Sementara itu menurut Paisal dalam tulisannya "Masjid Tua Wapauwe: 598 Tahun Merentang Zaman" yang terbit pada Jurnal Al-Qalam (Vol. 18, No. 1, 2012), kedatangan Perdana Jamilu ke Pulau Ambon sedari awal memang untuk mengembangkan ajaran Islam di lima negeri di sekitar dataran tinggi Wawane, yaitu Essen, Wawane, Atetu, Nukuhaly, dan Tehala.

Apa yang dilakukan oleh Jamilu meninggalkan satu bangunan berupa masjid di Hitu yang bernama Masjid Tua Wapauwe yang berada di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah.

Dibangun pada Abad ke-15

"Pada tahun 1414 atas prakarsa Perdana Jamilu, dibangun sebuah masjid di dataran tinggi Wawane," tulis Johan Pattiasina, Efilina Kisiya, Jems Sopacua, Christofer Judy Manuputty dalam "The Existence of the Wapauwe Old Mosque in Kaitetu as a Trace of Islam Spread in Maluku" yang terbit pada Jurnal Lektur Keagamaan (Vol. 20, No. 2, 2022).

Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjis juga menjadi tempat pengajaran Islam yang dilakukan oleh Perdana Jamilu.

Masjid ini berada di sekitar dataran tinggi Wawane selama hampir dua abad sebelum akhirnya dipindahkan ke tempatnya yang sekarang karena mulai ada gangguan dari VOC, yang saat itu sudah mulai menancapkan pengaruhnya di Jazirah Hitu.

"Kedatangan Belanda (VOC) mulai mengganggu kedamaian penduduk Tanah Hitu. Karena merasa tidak aman, masjid tersebut dipindahkan ke Kampung Tehala yang berjarak 6 km sebelah timur Wawane," tulis Paisal (2012).

Peristiwa perpindahan masjid terjadi empat tahun setelah VOC menetapkan Ambon sebagai markasnya pada 1610. IHwal pindahnya bangunan masjid ini, ada kepercayaan dari masyarakat yang menyatakan bahwa bangunannya berpindah sendiri.

Tim dari Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Kemendikbud dalam bukunya Suluh dalam Akulturasi Masjid Tua Indonesia Timur, Masjid Warisan Budaya di Indonesia Timur (2021), menulis bahwa menurut informasi lokal yang turun-temurun, bangunan masjid berpindah secara gaib, yakni berpindah sendiri beserta kelengkapannya.

Infografik Mozaik Masjid Wapauwe

Infografik Mozaik Masjid Wapauwe. tirto.id/Parkodi

Kepindahan masjid menjadi awal penggunaan nama baru. Mulanya, masjid ini dikenal dengan nama Masjid Jamilu atau Masjid Wawane. Dinamakan Masjid Jamilu sebagai bentuk penghargaan untuk Perdana Jamilu sebagai orang yang berjasa dalam membangun masjid.

Setelah dipindahkan, namanya diubah menjadi Masjid Wapauwe yang dikenal sampai sekarang. Menurut Paisal (2012), Wapauwe memiliki arti masjid yang didirikan di bawah pepohonan mangga berabu, sesuai dengan tempat masjid berdiri setelah dipindahkan.

Kondisi bangunannya sampai saat ini mempertahankan bentuk aslinya dan masih digunakan sebagai tempat beribadah masyarakat sekitar.

Atap masjid terbuat dari daun rumbia yang banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur. Pelepah sagu yang kering atau yang disebut dengan gaba-gaba digunakan sebagai dinding bersama dengan tembok.

Beberapa bagian dari masjid sudah mengalami pergantian, seperti atap dan tiang kayu. Keduanya diganti apabila telah mengalami kerusakan. Meskipun tiang kayu sudah diganti, tiang kayu asli masih tersimpan karena menjadi tinggalan berharga. Masjid Wapauwe memiliki empat tiang induk dan 12 tiang penunjang.

Tim Direktorat Pelindungan Kebudayaan (2021) juga menulis bahwa tidak ditemukan penggunaan kayu ataupun pasak dalam struktur bangunan utama masjid. Agar tetap kuat, digunakan ikatan tali di tiap sambungan kayunya. Hal itu kemudian menjadi keunikan dari bangunan Masjid Wapauwe.

Masjid ini berukuran 10 x 10 meter dengan bangunan serambi tambahan yang berukuran 6,35 x 4,75 meter. Sebagai usaha untuk tetap menjaga bangunan masjid, renovasi terhadap bangunan sudah beberapa kali dilakukan, yaitu pada tahun 1464, 1895, 1959, 1990-1991, 1993, 1997, dan 2008.

Baca juga artikel terkait MASJID WAPAUWE MALUKU atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Artikel Terkait