Menuju konten utama
Sejarah Indonesia

Kerajaan Tanah Hitu dan Jurang Dua Agama di Maluku

Kerajaan Tanah Hitu merupakan salah satu pemerintahan Islam pertama di Maluku sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat .

Kerajaan Tanah Hitu dan Jurang Dua Agama di Maluku
Ilustrasi Belanda di Maluku. FOTO/wikicommon

tirto.id - Pertempuran besar terjadi di Maluku pada dekade kedua abad ke-16 itu dikenal dengan nama Perang Hitu I. Kedatangan Portugis memicu pertikaian dengan kerajaan Islam yang sudah berdiri sejak 1470, yakni Tanah Hitu, dengan pusat pemerintahan terletak tidak jauh dari Ambon, tepatnya di daerah Leihitu.

Perang ini dimulai sejak 1520 dan berlangsung lama. Dalam prosesnya, Tanah Hitu sebenarnya mulai kelelahan menghadapi Portugis. Hingga akhirnya, datang bantuan dari Jawa yang dikirimkan Ratu Kalinyamat pada 1565. Ia adalah pemimpin Jepara yang juga putri penguasa Kesultanan Demak, Sultan Trenggana (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, 2008:69).

Armada bantuan itu sangat berarti bagi Kerajaan Tanah Hitu. Buktinya, pada 1575 atau genap 10 warsa setelah kedatangan pasukan dari Jepara, Portugis menyerah sehingga harus angkat kaki dari Maluku secara bertahap dan baru tuntas sepenuhnya pada 1605. Setidaknya untuk sementara, wilayah Tanah Hitu yang kaya rempah-rempah itu kembali aman.

Baca Juga: Kegigihan Ratu Kalinyamat Mengusir Portugis

Kendati kalah, Portugis terlanjur menanamkan pengaruhnya di Maluku, termasuk menyebarkan agama Katolik –ditambah kehadiran kaum misionaris Kristen Spanyol pada 1546. Tak hanya itu, Portugis sebenarnya tidak benar-benar terusir dari Maluku. Mereka sempat mendirikan benteng di Teluk Ambon pada 1575 dan mengembangkan ajaran Katolik di kawasan itu serta daerah-daerah sekitarnya.

Situasi ini membuat Maluku seolah terbagi dua dalam konteks keyakinan beragama: pemeluk Islam terpusat di bagian utara, termasuk wilayah Tanah Hitu, sedangkan di sisi selatan, terutama Ambon, didominasi umat Kristiani.

Empat Pilar Tanah Hitu

Sebelum Kerajaan Tanah Hitu berdiri, agama Islam sudah masuk ke wilayah Kepulauan Maluku sejak awal abad ke-13, namun di bagian utara atau yang kini menjadi wilayah Provinsi Maluku Utara. Pembawanya adalah seorang Arab bernama Jafar Sadek (Maluku Utara: Perjalanan Sejarah 1250-1800, 2002:19).

Jafar Sadek menikahi wanita setempat, dan anak-anak dari pernikahan ini kemudian mendirikan empat kerajaan di Maluku Utara, yaitu Jailolo, Tidore, Ternate, dan Bacan. Keempat pemerintahan Islam ini dikenal dengan istilah Moluku Kie Raha atau “Persekutuan 4 Kesultanan”.

Agama Islam yang sudah dianut masyarakat Maluku Utara pun menjalar ke pulau-pulau lain di sisi selatan. Tahun 1465, tokoh Islam dari Kerajaan Jailolo bernama Jamilu beserta para pengikutnya datang ke wilayah Hitu dan mendirikan pemerintahan kecil di situ.

Baca Juga: Baabullah, Sutan Ternate Sang Penakluk

Jamilu dari Jailolo ternyata bukan satu-satunya yang menginjakkan kaki di tanah Hitu. Ada tiga rombongan lain yang datang ke Hitu dari tempat berbeda. Sama seperti kelompok Jamilu, mereka juga sudah memeluk agama Islam. Keempat kelompok ini kemudian dikenal dengan nama Empat Perdana (R.Z. Leirissa, et.al., Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:27).

Kelompok Jamilu adalah rombongan ketiga yang tiba di Tanah Hitu. Sedangkan rombongan pertama adalah kelompok pimpinan Pattisilang Binaur. Mereka datang dari Gunung Binaya (Pulau Seram bagian barat), dan mendirikan negeri di Hitu bernama Soupele.

Empat Perdana yang kedua adalah rombongan yang dipimpin oleh dua orang ulama bersaudara bernama Pattikawa (Kyai Daud) dan Pattituri (Kyai Turi). Keduanya disebut-sebut masih keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad. Di Hitu, kelompok ini membangun negeri di pesisir bernama Wapaliti.

Setelah rombongan Jamilu yang merupakan kelompok ketiga, kemudian tiba rombongan keempat dari Pulau Seram bagian timur. Kelompok ini dipimpin oleh Kie Patti (Patih Putih) yang mendirikan negeri di Hitu dengan nama Olong. Kie Patti pernah belajar tata pemerintahan di Tuban, Jawa Timur (Woro Miswati, Kerajaan-Kerajaan Nusantara, 2011:26).

infografik kerajaan tana hitu

Kerajaan Islam-Demokratis

Sempat terjadi saling tikai di antara para kelompok pendatang di Hitu itu. Namun, atas saran Jamilu yang berperan sebagai mediator, keempat unsur Empat Perdana tersebut akhirnya sepakat berdamai. Bahkan, mereka setuju meleburkan diri menjadi satu kerajaan dengan pemerintahan Islam. Inilah kelahiran Kerajaan Tanah Hitu, kerajaan Islam pertama di Kepulauan Maluku bagian selatan.

Lahirnya Kerajaan Tanah Hitu ini tidak terlepas dari proses demokrasi dengan diterapkannya konsep musyawarah untuk mufakat. Atas persetujuan empat unsur yang berbeda, maka disepakati bahwa yang dinobatkan sebagai raja pertama Tanah Hitu adalah Zainal Abidin, putra Kyai Turi. Zainal Abidin memerintah mulai tahun 1470 dengan gelar Upu Latu Sitania (Sejarah Sosial Kerajaan Hitu Ambon, 2012).

Baca Juga: Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku

Kerajaan baru ini semakin kuat setelah negeri-negeri lainnya yang lebih kecil turut bergabung, yakni Tomu, Hunut, dan Masapal. Dengan demikian, ada tujuh unsur pilar Kerajaan Tanah Hitu, yang terhimpun dalam satu tatanan adat yang dikenal dengan istilah Uli Halawan atau Persekutuan Emas.

Persatuan memang sangat diperlukan mengingat wilayah Tanah Hitu sangat kaya akan rempah-rempah dan kemudian menjadi pasar dagang yang amat ramai. Para saudagar dari Jawa, Melayu, bahkan Cina, Arab, hingga Persia, berdatangan untuk berdagang. Faktor ini pula yang membuat bangsa Portugis berambisi ingin menguasai Tanah Hitu kendati gagal.

Dilenyapkan Bangsa Kolonial

Setelah Portugis mundur, giliran orang-orang Belanda yang datang pada akhir abad ke-16. Mereka rupanya lebih cerdik dari Portugis dengan mendirikan benteng pertahanan di sisi barat terluar wilayah Kerajaan Tanah Hitu. Bahkan, Belanda berhasil menduduki Ambon pada 1605 tak lama setelah terbentuknya VOC tiga tahun sebelumnya (Sejarah Daerah Maluku, 1976:67).

Setelah sempat terjadi rangkaian pertikaian kecil, pecahlah perang besar di Maluku untuk kedua kalinya. Pertempuran ini dikenal dengan nama Perang Hitu II yang berlangsung selama satu dekade, dari 1634 hingga 1643 (Ziwar Effendi, Hukum Adat Ambon Lease, 1987:4). Perang ini disebut juga sebagai Perang Kapaha atau Perang Wawane yang dipimpin oleh Kapiten Pattiwane, panglima perang Tanah Hitu.

Kemenangan yang pernah diraih atas Portugis ternyata gagal diulangi. Kali ini Belanda alias VOC pemenangnya. Hampir seluruh wilayah kerajaan diambil-alih oleh VOC yang melanjutkan dominasinya dengan menerapkan monopoli perdagangan rempah-rempah di Tanah Hitu, juga seluruh Maluku.

Baca Juga: Tamatnya Kerajaan Kristen Pertama di Nusantara

Setelah Kapiten Pattiwane kalah, perlawanan sempat dilanjutkan oleh Kapten Teluka Besi namun hanya sanggup bertahan selama 3 tahun. Sejak 1646, VOC mengangkat beberapa penguasa lokal yang merupakan orang pilihannya untuk semakin melemahkan Kerajaan Tanah Hitu.

Hingga akhirnya, Kerajaan Tanah Hitu pun benar-benar runtuh setelah raja pamungkasnya, Hunilamu bergelar Latu Sitania VI, meninggal dunia pada 1682. Belanda yang berpusat di Ambon sepenuhnya menguasai Tanah Hitu hingga ratusan tahun kemudian.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Humaniora
Reporter: Iswara N Raditya
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS