Menuju konten utama
Mozaik

Jossie dan Bonnie, Jalan Berliku Para Perempuan Mengikat Hati

Ada kisah manis Jossie dan Bonnie, ada juga cerita pahit Aty dan Nona. Sejak era 1980-an, perjuangan perempuan lesbian di Indonesia tak pernah mudah. 

Jossie dan Bonnie, Jalan Berliku Para Perempuan Mengikat Hati
Header Mozaik Jossie dan Bonnie. tirto.id/Tino

tirto.id - Majalah TEMPO edisi 30 Mei 1981 menggambarkan resepsi pernikahan pada Minggu malam, 19 April 1981, sebagai acara yang khidmat, meski dilangsungkan di tempat yang tak lazim: Swinging Pub Bar di Blok M, Jakarta Selatan.

Semua mata tertuju pada sepasang insan yang merayakan kisah asmara mereka. Yang seorang mengenakan jas putih kebiruan dipadankan dengan dasi motif kembang-kembang merah. Sedang kekasih yang mendampinginya anggun berbusana gaun merah cerah.

Ini bukan resepsi biasa. Inilah resepsi pernikahan Jossie dan Bonnie, dua perempuan keturunan Indo-Belanda yang saling mengikat hati dan secara terbuka mengumumkan status mereka sebagai suami-istri.

Dunia malam itu seakan milik mereka berdua. Di hadapan 120-an tamu yang menghadiri seremoni, Bonnie (22) tidak sungkan mencubit genit lengan “suami”-nya. Jossie (25) tanggap, ia membalas cubitan mesra itu dengan menepuk manja bokong “istri”-nya sambil tersenyum lebar.

Tak ada kehadiran padri, atau perangkat upacara pernikahan pada umumnya, meskipun Jossie dan istrinya tercatat beragama Katolik. Dihadiri sekitar 120 tamu, acara itu benar-benar berlangsung sederhana.

"Kue penganten mulai dipotong oleh tangan lembut Bonnie, kemudian mereka saling suap-suapan disaksikan puluhan pasang mata, bahkan kedua orang tua mereka turut hadir," catat majalah Liberty No. 1448, Th. XXIX, 6 Juni 1981. Pesta berjalan lancar tanpa kendala.

Setelah menerima ucapan selamat dari para tamu, kedua mempelai pulang ke rumah orang tua Jossie di Pejaten, mempersiapkan bulan madu layaknya sepasang suami-istri. Demikianlah peristiwa malam itu terabadikan sebagai pernikahan sepasang lesbian pertama dalam sejarah Indonesia.

Cinta dari Balik Terungku

"Banyak orang Indonesia yang gay dan lesbian mengingat liputan media massa tentang resepsi Jossie dan Bonnie sebagai sesuatu yang sangat berarti dalam kehidupan mereka. Karena [Jossie dan Bonnie] mengumumkan eksistensi subyektivitas mereka [sebagai] orang Indonesia yang lesbi, peliputan resepsi tersebut merupakan peristiwa yang sama pentingnya dengan peliputan tentang pembunuhan Darrel Berrigan tahun 1965 di Bangkok,” catat Tom Boellstorff dalam The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia (2005, hal. 81).

Kepada awak TEMPO yang menemuinya di kediaman beberapa hari setelah pernikahan, Jossie gamblang berkisah tentang pernikahan yang tak lazim di masa itu. Jossie, pemegang sabuk cokelat dalam olahraga judo, mengakui bahwa sejak kecil ia tak pernah merasa dirinya seorang perempuan.

Sejak kecil, orang tuanya memberinya pakaian dan mainan koboi, bukan boneka. Saat bersekolah di SMA Santa Maria, Jakarta, ia mengenakan rok dengan hati terpaksa karena aturan sekolah sudah menggariskan begitu.

Puncaknya, dokter menyatakan dalam diri Jossie terdapat 75 persen hormon laki-laki.

Kecenderungan itu menyebabkan Jossie tak ragu-ragu mempertunjukkan perilaku maskulin. Bercelana panjang jeans, memasang tato, juga tak takut berkelahi dengan siapapun, laki-laki maupun perempuan.

Namun, saat Jossie suatu kali tertangkap polisi karena terlibat dalam perkelahian, ia meminta untuk diperlakukan sebagai perempuan. Dan demikianlah, Jossie dimasukkan dalam lapas perempuan.

Di dalam penjara perempuan inilah Jossie pertama kali bertemu dengan Bonnie yang waktu itu ditahan karena dianggap "berperilaku menyimpang". Cinta jatuh tidak diduga. Menurut Bonnie, kisah cinta mereka jatuh pada pandangan pertama.

"Seperti bertemu apa yang selalu saya impikan," ujar Bonnie. Lain itu, di mata Bonnie, Jossie adalah sosok yang pemberani, tetapi lembut dan pandai merayu.

Setelah keluar dari penjara, Jossie memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Mereka lantas mulai berpacaran, bahkan Jossie sampai bertemu keluarga Bonnie, demikian pula sebaliknya. Keluarga keduanya mencoba untuk mafhum, meski yang berpacaran itu adalah dua orang yang secara status hukum dan rekognisi medis, dinyatakan sebagai perempuan.

Dalam mempersiapkan pernikahan yang akhirnya terlaksana pada 19 April 1981, hambatan legal menjadi permasalahan terbesar dibandingkan yang lain.

Pernikahan dua orang perempuan mustahil diadakan di bawah catatan sipil, karena praktik itu bertentangan dengan Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, terutama jika Jossie tidak mau menempuh operasi kelamin agar bisa mendapat pengakuan hukum sebagai laki-laki.

Tak Selalu Indah

Kisah Jossie dan Bonnie terlalu indah menjadi kenyataan di masa itu, apalagi untuk zaman sekarang. Pasalnya, sepekan sebelum kisah pernikahan Jossie dan Bonnie jadi pemberitaan, kisah sedih menimpa sepasang perempuan, Aty dan Nona.

Ketuk palu hakim Ny. Emin Aminah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Aty, perempuan 21 tahun, terbukti melakukan perbuatan cabul terhadap Nona, perempuan 15 tahun, yang menurut klasifikasi usia belum dianggap dewasa. Ia dihukum penjara selama 1 tahun 8 bulan. Serupa dengan Jossie, kecenderungan sikap Aty dalam menunjukkan maskulinitas telah tampak sejak belia.

“Perdebatan kasus ini bukan saja berkisar antara hubungan ‘terlarang’, tetapi juga wacana tentang ‘normalitas’ seseorang yang menyukai sesama jenis,” tulis Hendry Yulius dalam esai “Sejarah Gerakan Gay di Indonesia”

Adalah ibu kandung Aty yang menemukan sesuatu yang berbeda pada putrinya. Aty dilihatnya lebih sering memerhatikan teman-teman sesama perempuan daripada laki-laki.

“Ibunya lalu berikhtiar ke dokter jiwa. Dokter mengatakan, Aty kelebihan hormon laki-laki, tapi masih dapat disembuhkan. Repotnya, Aty tak merasa mengidap suatu penyakit, sehingga ia merasa tak perlu diobati,” tulis TEMPO edisi 23 Mei 1981.

Sekitar 1978, Aty dan Nona mulai menjalin hubungan secara diam-diam. Mereka tinggal berdekatan di kompleks Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur. Aty sering menginap di rumah Nona, dan kedekatan itu bermuara sampai keduanya pernah mencoba berhubungan seks layaknya suami-istri.

Karena hubungannya tidak direstui, Aty dan Nona pernah melarikan diri selama sepekan, kemudian ditemukan di rumah teman mereka di Tebet. Tak main-main, pihak Kepolisian Angkatan Udara bahkan membantu orang tua Aty dan Nona untuk membuatkan perjanjian agar kedua insan jatuh cinta itu tak lagi berhubungan.

Mereka sempat terpisah selama beberapa bulan, dan baru bertemu kembali pada Februari 1981. Saat itu, Aty mengatakan hendak pergi ke Malang. Tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan sama sekali, Nona memilih mengikuti Aty.

Sampai beberapa pekan mereka hidup bersama, bahkan Nona sempat mengirimkan surat berisi permintaan maaf dan memohon pengertian dari keluarganya. "Sampai harus dibunuh pun, Nona tetap memilih Aty sebagai kawan hidup."

Dari Malang, mereka sempat melancong ke Bali, semua biaya ditanggung Aty. Dalam kepenuhan hidup, mereka menikmati kisah kasih dan bercinta seakan dunia hanyalah milik berdua, sampai kemudian Ibu Aty menjemput keduanya. Atas pengaduan keluarga Nona yang menganggap anaknya diculik dan dicabuli, Aty pun masuk penjara.

Hilang dan Tutup Mulut

Perbedaan kisah Jossie-Bonnie yang berakhir manis dan kisah Aty-Nona yang berakhir tragis serta melibatkan persoalan hukum menggambarkan liku hidup menjadi perempuan lesbian di sebuah masyarakat yang tidak mampu membayangkan bagaimana dua perempuan menjalin kasih layaknya suami-istri.

Terjalnya jalan yang tak semulus cerita Jossie dan Bonnie menjadi salah satu alasan mengapa kehadiran (dan juga gerakan) perempuan lesbian di Indonesia tidak mendapatkan rekognisi sepenuhnya, dari masyarakat maupun dari dalam kalangan gerakan gay yang mulai mengemuka pada dasawarsa 1980-an.

Antropolog Belanda, Saskia Wieringa, mulai mencatat perkembangan gerakan lesbian di Indonesia dengan menjadikan pembentukan Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin) pada 1983 sebagai ancar-ancarnya. Wieringa yang turut hadir dalam acara tersebut mengidentifikasi dua tipologi lesbian yang mendirikan asosiasi lesbian pertama di Indonesia itu.

“[Organisasi itu] didirikan sebuah kelompok beranggotakan 20 orang lesbian, sebagian besar perempuan-perempuan maskulin (atau butch), bersama pasangan mereka yang feminin (atau femme). Meski terorganisasi dengan label ‘lesbian’, para butch tetap mengidentifikasi diri sebagai pria, dan para femme sebagai wanita,” catat Evelyn Blackwood dalam artikel “Lesbian subjectivities: Butch, femme, and andro from the New Order to Reformasi era in Indonesia” yang terhimpun dalam Sex and Sexualities in Contemporary Indonesia (2015, hal. 221).

Sepengamatan Wieringa, adaptasi pasangan-pasangan lesbian di Indonesia pada 1980-an terhadap heteronormativitas sangat tinggi. Sikap itu terbawa pula dalam pergaulan sehari-hari mereka di tengah masyarakat, agar “kelesbianan” mereka bisa hilang dan tidak memicu hal-hal yang tidak perlu.

“Para butch merasa bangga dipanggil ‘Oom’ oleh tetangga mereka, sementara pasangan mereka mengikuti kegiatan ibu-ibu RT pada umumnya, seperti arisan. Di antara mereka ada yang mengadopsi anak agar tampak sebagai keluarga ‘normal’,” catat Wieringa dalam artikel “If there is no feeling…”: The dilemma between silence and coming out in a working-class butch/femme community in Jakarta” yang tersua dalam bunga rampai Love and Globalizations: Transformations of Intimacy in the Contemporary World (2007, hal. 75).

Infografik Mozaik Jossie dan Bonnie

Infografik Mozaik Jossie dan Bonnie. tirto.id/Tino

Menghilangnya identitas para lesbian di masyarakat membawa konsekuensi kecilnya representasi proporsional para lesbian dalam gerakan gay di Indonesia. Dede Oetomo, pendiri dan pemimpin redaksi GAYa Nusantara, sempat mempertanyakan hal ini karena peran lesbian yang dinilainya penting bagi konsolidasi gerakan gay.

“Emansipasi kaum lesbian, pada hemat saya, akan tercapai bersamaan dengan emansipasi perempuan secara umum. Apabila kaum perempuan dapat lebih tegas, aktif, dan penuntut, dan menganggap emosi keintiman maupun seksualitas merupakan hak mereka, pada saat itulah segi lesbian kaum perempuan akan dapat lebih mengemuka,” tulis Dede dalam “Lesbian Indonesia: Di Mana Kalian?” dalam GAYa Nusantara No. 10, Mei 1989.

Keprihatinan Dede dijawab gamblang oleh Meylankolis Queen, empat tahun kemudian. Baginya, pilihan perempuan lesbian yang “menghilang” dari pergerakan gay tak pelak adalah konsekuensi dari penyangkalan diri yang menjadi gejala umum di kalangan mereka.

Kalaupun ada, satu-satunya pilihan bagi mereka adalah mengekspresikan diri secara kolektif lewat badan atau organisasi yang dapat memfasilitasi mereka. Dede Oetomo, ujar Queen, adalah salah satu yang sukses mempraktikkan itu lewat Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara (KKLGN).

“Lesbian akan lebih terbuka jika organisasi kuat dan memasyarakat, sebab mereka akan punya pengayom yang akan membela hak-hak mereka nanti, punya tempat berlindung, punya tempat untuk dibanggakan. Kita juga harus akui dalam dunia lesbian ini kita tak punya tokoh, tak punya idola, tak punya figur publik. Rasanya kita tak punya siapa-siapa. Wajarlah jika GTM (Gerakan Tutup Mulut) masih jadi pakaian kebesaran bagi gerakan lesbian di Indonesia,” tukas Queen dalam artikel “GTM”, yang dimuat GAYa Betawi No. 8, Oktober 1993.

Posisi perempuan lesbian yang berusaha memperjuangkan rekognisi keberadaannya pada 1980-an memang menempuh jalan terjal, meski pada akhirnya ada buah manis yang dipetik, seperti peredaran nawala Lembar Swara oleh organisasi Swara Srikandi pada Mei 2003, hingga kemunculan representasi butch dalam diri perempuan tomboi sebagai salah satu subkultur di perfilman dan televisi pada awal 2000-an.

Satu hal yang jelas, jalan terjal para perempuan yang mengikat hati menjadi ujian panjang yang harus dilalui untuk tak hanya menjadi diri sendiri, tetapi juga mendapatkan pengakuan, dan pada akhirnya hak-hak asasi untuk menikah dan membentuk keluarga, layaknya pasangan heteroseksual yang telah menikmati hak tersebut sebagai taken for granted.

Baca juga artikel terkait LGBT atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Irfan Teguh Pribadi