tirto.id - Pada Februari dan Maret 1947, hari-hari Syarifah Nawawi terbilang sibuk. Ia mempersiapkan keperluan pernikahan putri bungsunya, Mien Soedarpo.
Dalam autobiografi berjudul Kenangan Masa Lampau (1994), Mien Soedarpo berkisah bahwa ia menikah pada tanggal 28 Maret pukul 10 pagi dengan Soedarpo Sastrosatomo di Pegangsaan Barat nomor 16.
Pernikahan dilangsungkan dalam upacara Islam yang sederhana. Kedua mempelai dikelilingi oleh teman teman dan sanak keluarga.
"Aku berdandan sebagai mempelai putri Minangkabau dan Darpo mengenakan baju stelan kelabu," kenangnya.
Dari pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai tiga orang putri: Shanti Lasminingsih, Ratna Djuwita Tunggul Hatma, dan Chandra Leika Mulia.
Perceraian dan Label Cerutu
Mien Soedarpo lahir di Bandung, pada 25 Januari 1924, dengan nama Minarsih Wiranatakusumah. Ia anak keempat dari Syarifah Nawawi. Sedangkan bagi Wiranatakusumah V, ia anaknya yang ke sembilan.
Dua bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Maret 1924, ia dan kakaknya diboyong sang ibu ke Bukittinggi untuk menunggu kepulangan ayahnya yang tengah menjalankan ibadah haji.
Namun, setelah melewati beberapa minggu di Bukittinggi, ibunya diceraikan melalui pesan telegram yang diterima langsung oleh kakeknya, Engku Nawawi Sutan Makmur, pada 17 April 1924.
Sejak perceraian itu, Mien menghabiskan masa kecilnya di Bukittinggi. Masa pendidikannya dimulai di taman kanak-kanak Katolik. Keputusan Syarifah memasukan Mien ke sekolah tersebut menimbulkan kekhawatiran neneknya.
"Nenek takut aku akan masuk Katolik karena pada suatu hari aku bertanya pada waktu makan, mengapa kami tidak mengucapkan doa Bapak Kami sebelum makan. Nenek gusar dan marah dan berkata bahwa aku harus mengucapkan 'Bismillahirrahmanirrahim'," tulisnya.
Sepulang sekolah, ia menghabiskan waktu di rumah bersama pengasuhnya, Lasminingroem. Sebab, ibunya sibuk mengurus de Meisjes Vervolg School (Sekolah Lanjutan untuk perempuan) di Bukittinggi yang dipimpinnya.
Pada 1930, ia bersama ibunya pergi ke Batavia untuk mengantarkan kakak laki-lakinya mendaftar ke HBS (Hogere Burger School). Hari-hari berikutnya, untuk pertama kalinya setelah berpisah enam tahun, ia bertemu dengan ayahnya di Bandung.
Mien senang dan gembira saat itu. Terlebih ayahnya memberikan label-label cerutu untuknya. Selain rutin menulis catatan harian, Mien juga gemar mengumpulkan label cerutu. Bahkan, ia "mengkliping" label cerutunya berdasarkan warna dan ukuran.
Antara Bandung dan Batavia
Setelah ibunya meninggal pada tahun 1937, Syarifah Nawawi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah de Meisjes Vervolg School (sekolah lanjutan perempuan). Selain itu, dalam De Sumatra Post edisi 6 April 1937, Mien tercatat lulus ujian masuk ke HBS di Batavia.
Setelah tiba di Batavia dan menjalani hari-hari di sekolah, Mien menjalin pertemanan dengan Paramitha "Jo" Abdoerachman--keponakan Achmad Soebardjo--dan aktif dalam organisasi sekolah Oesaha Kita, OSIS, kepanduan putri, serta terdaftar sebagai sukarelawan Dinas Perlindungan Serangan Udara (Lucht-aanval Bescherming Dienst). Selain itu, ia juga mahir dalam permainan kartu bridge.
Saat Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang pada 8 Maret 1942, HBS tempatnya sekolah ditutup. Ia kemudian mendaftar ke Canisius College untuk menyelesaikan sekolah tingkat menengah.
Setelah itu, ia sempat berniat melanjutkan studi ke Ika Dai Gakku (Sekolah Kedokteran). Namun, hal itu urung terjadi. Syarifah menentangnya, khawatir Mien mendapat perlakuan kejam dan kasar dari militer Jepang jika suatu waktu dianggap menentang oleh pihak sekolah.
Sebagai gantinya, Sjarifah menganjurkannya untuk tinggal sementara bersama ayahnya di Bandung. Tanpa mendebat, ia menurutinya. Setibanya di Bandung, Mien kemudian bekerja sebagai sekretaris pribadi ayahnya, Wiranatakusumah V.
Sejak saat itu, selain harus mengikuti pertemuan-pertemuan resmi, ia bertanggung jawab mengurus surat-menyurat, keuangan, jadwal pertemuan, dan sesekali harus membuat terjemahan ke dalam bahasa Inggris.
Merasa lelah dengan pekerjaan itu, pada 8 September 1943, ia lalu bekerja di Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) yang berada di Bandung. Pekerjaan itu dijalaninya hingga 4 April 1944.
Selanjutnya, Mien kembali ke Jakarta dan melanjutkan studi sebagai mahasiswa Farmakologi di Yakku Gakku dan melibatkan diri dalam organisasi Barisan Poetri. Pada Mei 1945, ia turut serta dalam Konferensi Villa Isola di Bandung untuk membahas pandangan pemuda tentang kemerdekaan Indonesia.
Anggota Gerakan Wanita Sosialis yang Hidup Mewah
Pada 2 Oktober 1945, Mien mendaftarkan diri sebagai sukarelawan Palang Merah. Dua bulan kemudian, ia bertemu dengan Soedjatmoko--Wakil Kepala Bagian Pers Asing--yang menawarinya bekerja di penerbitan majalah mingguan dalam bahasa Belanda, Het Inzicht.
"[Tujuannya] untuk mengimbangi penerbitan Pusat Informasi Belanda yang bernama Het Uitzicht," tulis Mien.
Kantor tempatnya bekerja yang berlokasi di Jalan Cilacap, menjadi tempat pertama kalinya ia bertemu dengan sang suami, Soedarpo, yang merupakan teman baik Soedjatmoko dan asisten pribadi Sutan Sjahrir.
Pada 1948, Mien membawa putri sulungnya, Shanti, ke Amerika Serikat, untuk menyusul suaminya yang satu tahun lebih dulu tiba di sana.
Menurut Shanti, seperti ditulis Bruce Cinta dalam Campden FB, Soedarpo ke AS dalam rangka menjalankan tugas sebagai delegasi Indonesia yang dikirim ke New York untuk melobi PBB. Untuk pengakuan kenegaraan bagi Republik baru bernama Indonesia.
Mengutip Kenangan Masa Lampau II (1997), dua tahun berikutnya, mereka pindah ke Washington D.C. setelah Soedarpo mendapat tugas sebagai diplomat di Keduataan Besar Indonesia hingga akhir tahun 1951.
Mereka kembali ke Indonesia pada awal tahun 1952. Tak lama kemudian, suaminya mendirikan perusahaan Soedarpo Corporation yang bergerak di bidang impor kertas koran, mesin kantor, dan barang besi. Mien terlibat dalam kepemimpinan perusahaan.
Mengutip Agus Darmawan T. dalam Podium Sahubulhikayat (2021), kehidupan Mien dekat dengan kemewahan. Selain rutin menghadiri sejumlah pesta, ia merupakan kolektor kipas bernilai tinggi dari luar negeri.
Ia juga tercatat pernah tampil mengenakan busana Bali dalam lomba keindahan bertajuk Concours d’Elegance dengan mengendarai sebuah mobil Zephyr dan keluar sebagai pemenang.
Di samping itu, ia juga aktif dalam organisasi. Sebagai istri dari simpatisan Partai Sosialis Indonesia (PSI), ia terlibat dalam organisasi Gerakan Wanita Sosialis (GWS), yang didirikan pada tahun 1955.
"[Gerakan Wanita Sosialis didirikan] di Pegangsaan Barat 8 dengan Poppy Sjahrir sebagai ketua umum," terang Mien.
Mengutip buku Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno: Penyair Kontemporer Wanita Indonesia (2020), selain memimpin Ikatan Bridge Wanita Indonesia (IBWI), pada akhir tahun 1960, ia tercatat sebagai Ketua Lingkaran Seni Jakarta.
Memasuki awal 1970, ia bergabung dengan Rawamangun Golf Club, komunitas golf tertua di Jakarta yang berdiri sebelum masa revolusi. Ia juga tercatat aktif dalam organisasi Women’s International Club (WIC) yang rutin mengadakan bazar amal.
"Tahun 1978 aku dipilih sebagai ketua WIC hingga tahun 1980. Aku dipilih untuk kedua kali dari 1988 hingga 1990,” pungkas Mien.
Mengutip Tempo, Rabu malam, 16 Januari 2013, sekitar pukul 20.55 WIB, di rumah sakit Abdi Waluyo, Jakarta Pusat, Mien Soedarpo mengembuskan naas terakhirnya di usianya 89 tahun.
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi