tirto.id - Dulu, tersebutlah Partai Sosialis Indonesia, disingkat PSI, pimpinan Sutan Sjahrir. Nama ini tentu bukan nama asing dalam sejarah Indonesia. Ia bukanlah politikus sembarangan. Sejak 1945 hingga 1947, Sjahrir adalah perdana menteri dari tiga kabinet yang terlibat perundingan-perundingan dengan Belanda.
PSI, yang berdiri pada 12 Februari 1948 setelah Sjahrir tak lagi jadi perdana menteri, adalah partai yang cukup terpandang di masa itu, seperti halnya Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
PSI punya citra sebagai kumpulan orang-orang terpelajar. Sebutlah nama Sumitro Djojohadikusumo (beberapa kali menjadi menteri), Subadio Sastrotomo (politikus dan intelektual), Soedjatmoko (intelektual politikus), Soegondo Djojopuspito (Ketua Panitia Sumpah Pemuda 1928), Maria Ulfah (menteri sosial), dan tentunya pengusaha nasional, Soedarpo Sastrotomo. Beberapa orang pemerintahan, bahkan setelah Sutan Sjahrir tak jadi perdana menteri lagi, adalah orang dari PSI.
Citra sebagai partainya orang terpelajar, di kala angka buta huruf masih tinggi, sebetulnya tidaklah menguntungkan PSI.
“Para pengamat memandang partai ini sebagai partai intelektual. Julukan ini tidak selalu bernada positif. Bagi banyak orang, intelektual berkonotasi orang yang terasing dari masyarakat lingkungannya,” tulis John Legge dalam Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir (1993: 18).
PSI sendiri, kata salah satu tokohnya, Subadio Sastrotomo, seperti dicatat Rosihan Anwar, dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik(1995: 170), adalah “partai kader. Bukan partai massa.”
Lalu, diadakanlah pemilu pada 1955. Merasa sebagai partai kader, PSI tidak membangun jaringan massa yang kuat. Yang tertarik pada PSI hanya orang-orang terpelajar dan orang-orang gerakan bawah tanah saja, bukan masyarakat secara luas.
Kumpulan orang-orang jago diskusi, bahkan debat itu, akhirnya harus menerima kenyataan pahit. PSI cuma mendapat 753.191 suara (1,99 persen) saja dalam pemilihan anggota DPR dan 695.932 suara (1,84 persen) dalam pemilihan konstituante. Di DPR, PSI hanya bisa menempatkan 5 anggota DPR dan 10 orang wakil di Konstituante.
"Karena naif," kata Subadio, ketika ditanya mengapa PSI kalah.
Setelah 1955, PSI—bersama Masyumi—tak hanya menjadi partai oposisi, tapi juga partai yang dimusuhi dan dibubarkan oleh pemerintah. Sutan Sjahrir bahkan dipenjara oleh rezim Sukarno sampai akhir hidupnya.
Sementara itu, Sumitro Djojohadikusumo menjadi pelarian di luar negeri setelah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera yang ikut digerakkannya digulingkan oleh pemerintah pusat. Meski PSI dibubarkan, jaringan PSI tetap terpelihara lewat orang-orang muda semacam Soe Hok Gie, Rachman Tolleng, dan lain sebagainya.
Berpuluh-puluh tahun setelah PSI berlalu, muncul partai dengan singkatan sama, tapi namanya berbeda: Partai Solidaritas Indonesia. Partai ini tidak didirikan oleh intelektual pergerakan seperti halnya PSI lama. Ia diketuai seorang mantan wartawan televisi: Grace Natalie.
Jika PSI Sjahrir punya citra sebagai partai bagi orang-orang terpelajar, PSI Grace adalah partai yang memposisikan diri sebagai partainya anak muda. Ia juga lantang menyebut diri sebagai partai yang anti-poligami dan anti-korupsi.
"Para teman-teman milenial yang mungkin juga punya pengalaman pertama untuk mencoblos, kita ini jumlahnya besar banget lho ada 40 persen," kata Grace Natalie.
Sepanjang musim Pemilu 2019 ini, PSI cukup gencar berkampanye. Iklannya sering diputar di tv-tv swasta. Spanduknya juga di mana-mana. Sampai-sampai ada yang mempelesetkan singkatan PSI menjadi Partai Spanduk Indonesia.
“Dalam Pemilu 2019 ini, kalau bisa 6 sampai 7 persen, seperti perolehan partai baru di pemilu sebelumnya," kata Grace, pada pekan kampanye.
Namun, hitung cepat Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 tidak menunjukkan hasil seperti yang diharapkan Grace Natalie. Suara yang didapat hanya sekitar 3 juta, kurang-lebih 2 persen saja. Angka itu lumayan untuk partai baru macam PSI, tapi tak cukup untuk membuatnya masuk parlemen.
Setelah hasil hitung cepat tampak, pada 17 April 2019, Grace berpidato. Ia menyatakan kegembiraannya atas kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin yang didukung oleh PSI dalam pilpres. Selain itu, ia juga bicara soal kekalahan PSI.
“Menurut quick count, PSI mendapat 2 persen (sekitar 3 juta suara). Dengan perolehan itu, PSI tidak akan berada di Senayan lima tahun ke depan,” kata Grace. Dia mengaku PSI telah berjuang dan untuk itu dan Grace mengucapkan terima kasih.
“Kami tak akan menyalahkan siapa-siapa. Kader kami, pengurus PSI, caleg kami, telah bekerja keras siang dan malam meyakinkan rakyat. Tapi inilah keputusan rakyat melalui mekanisme demokrasi yang harus kami terima dan hormati,” papar Grace.
Meski kalah, Grace menyatakan partainya tak akan menyia-nyiakan tiga juta suara pemilihnya. Ia mengajak 3 juta pemilih itu untuk menjadi anggota. Jika 3 juta pemilihnya itu bisa jadi anggota, PSI Grace akan jadi partai kader yang hebat.
Menghadapi kekalahan, PSI sekarang tak perlu mengekor PSI lama yang dibubarkan di era Bung Karno. Kekalahan semacam ini ada presedennya dalam pemilu era reformasi. PSI bisa meniru Partai Keadilan yang kalah pada Pemilu 1999 dan bangkit pada Pemilu 2004 dengan nama Partai Keadilan Sejahtera, mendongkrak perolehan suara dari 1,36 persen menjadi 7,34 persen pada lima tahun berikutnya.
Editor: Maulida Sri Handayani