tirto.id - Grace Natalie tak menyangka pidatonya pada acara ulang tahun Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berbuntut masalah. "Masak sih cuma kayak gitu dilaporin?" Di kantor DPP PSI, perempuan berusia 36 itu menceritakan reaksinya saat membaca kabar pelaporan dirinya ke polisi.
Yang dipersoalkan oleh pelapor adalah pendapatnya tentang perda syariah. Padahal, Grace juga menyebut frasa "perda Injil".
"PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh lagi ada penutupan rumah ibadah secara paksa," demikian nukilan pidato Grace pada 11 November 2018 yang kemudian menjadi isu hukum itu.
Menurut Grace, laporan ke Bareskrim Polri pada 16 November 2018 bernomor STTL/1217/XI/2018/BARESKRIM yang dilayangkan Sekretaris Jenderal Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Zulkair dengan kuasa hukum Eggi Sudjana itu tak mengganggu hidupnya.
Meski konten ceramah itu sensitif, Grace yakin sudah berhati-hati dalam memilih diksi. Menyikapi pelaporannya ke polisi, yang kemudian ia lakukan adalah berlatih menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan saat pemeriksaan.
"Sampai jam sebelas malam berlatih sama pengacara-pengacaraku. Nanti di sana [kantor polisi] kira-kira bakal ditanya apa saja, kita sudah latihan," katanya. Pada 22 November, ia memenuhi panggilan polisi dan menjawab 18 pertanyaan yang diajukan sejak pukul 11.00 hingga 17.15.
Grace tak tahu apakah pelaporan terhadap dirinya membawa dampak positif atau negatif. Yang ia garis bawahi, pidatonya membuat topik perda syariah diperbincangkan. Ia juga mengaku belum tahu apakah kontroversi ini bisa berpengaruh kelak pada masa elektoralnya, baik secara positif maupun negatif. Ia hanya menduga tingkat kedikenalan dirinya dan PSI pada khalayak meningkat.
Hingga sekarang, proses hukum terus berjalan. Ada saksi-saksi ahli dipanggil polisi untuk kasusnya. Menurut Eggi Sudjana, ucapan Grace lebih parah dari Ahok. Adakah Grace merasa di-Ahok-kan dengan pelaporan itu? Ternyata tidak.
"Enggak ada perasaan akan di-Ahok-kan. Setelah [pelaporan] itu, [saya] baru tahu ada narasi [soal] itu."
Ahok: "Lihat Saja Gue"
Grace melihat situasi ini sebagai salah satu risikonya masuk dunia politik; dunia yang baru menarik perhatiannya ketika Jokowi dan Ahok memenangi Pilkada DKI Jakarta 2012. Sebelumnya, ia tak pernah antusias dengan hal-ihwal politik. Grace memang mengikuti dinamika politik, tetapi semata sebagai kewajiban terkait profesinya sebagai wartawan televisi.
Pada 2014, ia didorong menjadi ketua partai. Menurut Grace, ia dianggap mampu karena selain pernah menjadi wartawan, ia juga pernah bekerja di SMRC, sebuah lembaga survei dan konsultan politik. Mendapati dorongan dari kawan-kawannya itu, Grace bimbang.
Selain bertanya pendapat suaminya, ia juga meminta urun saran pendeta. Namun, ia masih belum yakin. Suaminya melontarkan isu keamanan. Apakah masuk dunia politik tak membahayakan? Bagaimanapun, Grace menyandang tiga label minoritas: perempuan, Tionghoa, dan Kristen.
Akhirnya, ia mendatangi Ahok yang saat itu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Bagi Grace, Ahok adalah orang yang paling cocok untuk ditanyai pendapat. "Dia yang paling ekstrem, kan. Omongannya kayak gitu."
Jawaban Ahok-lah yang membikin Grace bersemangat dan punya gambaran positif tentang menjadi politikus. "Enggak [apa-apa], kok. Lihat saja gue," Grace menirukan jawaban Ahok.
Ahok meyakinkan Grace bahwa dirinya bisa hidup aman dan santai. "Anak-istrinya [Ahok] juga kalau pergi enggak pakai bodyguard. Hidupnya biasa saja juga,” papar Grace, mengingat obrolannya dengan Ahok. Wakil gubernur itu juga memberi wejangan panjang-lebar tentang pentingnya anak muda memasuki dunia politik, sampai akhirnya Grace pun berkata iya soal memimpin partai.
Bagi Grace, Ahok dan Jokowi mengajarinya bahwa politik tak melulu harus sesuai template yang ada. Ia melihat usaha Ahok membangun Jakarta tanpa menggunakan dana pemerintah.
“Jembatan semanggi enggak pakai APBD, tapi pakai [biaya] denda perusahaan, itu mindblowing!" Grace berseru.
Sebelum Ahok, Grace belum melihat ada kepala daerah dari etnis Tionghoa dengan prestasi yang begitu membanggakan. “Dan Pak Ahok mengubah itu. Saya kira ada banyak teman etnis Tionghoa yang sekarang jadi tertarik dengan politik,” ujarnya.
Meski begitu, ia enggan memberi label kepada Ahok dan Jokowi sebagai mentor politiknya. Baginya, mereka adalah orang-orang yang memberinya motivasi untuk menjadi politikus yang baik. Mereka bagi Grace adalah eksemplar dalam dunia politik untuk dirinya menjalani peran sebagai ketua partai dan kini sekaligus caleg DPR RI.
Mengatur Waktu untuk Buah Hati
"Gue harus datang? Katanya enggak harus datang," Grace berkata kepada perempuan berambut ikal yang mengatur jadwalnya.
"Anakku mau pentas besok," Grace berkata kepada saya. "Enggak tahu, nih, jadi nonton [anak pentas], atau enggak. Tadinya, katanya saya enggak perlu hadir ke acara [undangan] itu. Kalau harus hadir, saya enggak bisa nonton anak pentas."
Peran sebagai ketua umum partai sudah Grace jalani selama empat tahun. Sebelum masa kampanye, yang dimulai September lalu, kesibukan Grace belum sepadat sekarang. Kini, Grace harus mengatur waktunya sebagai ketua partai dan ibu dari dua balita berumur dua dan empat tahun.
Aktivitasnya yang padat itu tentu membuat kebersamaan bersama anak banyak berkurang. Anaknya yang berumur dua tahun belum paham, tetapi si sulung menyadari bahwa ibunya tak sering menemaninya lagi.
“Sekarang [anakku yang pertama] jadi mellow. Dulu, kalau diantar sekolah, di pintu gerbang sudah lari [masuk ke sekolah]. Sekarang kalau diantar, minta diantar sampai ke kelas. Akhirnya beberapa kali minta izin agar dibolehkan mengantar sampai depan kelas. Di depan kelas peluk-pelukan dulu. 'Mama nanti pulangnya lama, enggak?’"
Kepada sang buah hati, Grace juga harus memberi penjelasan apabila ia harus berangkat ke luar kota, meninggalkan Jakarta selama berhari-hari. Meski sedih, si sulung bisa paham. "Kalau pergi ngumpet tanpa pamit, dia justru marah," terang Grace.
Calon anggota DPR RI ini juga terbantu oleh suami yang kooperatif. Ia memastikan komunikasi dengan suaminya berjalan lancar agar situasi di rumah tetap kondusif dan anak-anak tetap terawat dengan baik.
“[Saya] bilang sama suami, masa kampanye memang gila-gilaan, tapi cuma sampai April saja. Setelah itu sudah normal."
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani