tirto.id - Seperti mimpi menjadi kenyataan. Hal itulah yang dirasakan Puspasari ketika mengetahui Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2014. Sebagai seorang Tionghoa, ia kerap mendengar perkataan bahwa etnis Tionghoa tak bisa berkiprah di arena politik sejak kecil. Makanya, ia gembira menyaksikan Ahok berhasil mematahkan stereotip etnis Tionghoa tersebut.
“Saya bangga melihat Ahok sebagai komunitas Tionghoa karena buat saya apa yang dia bawa itu benar-benar mematahkan stereotip yang selama ini ada. Bahkan saya dididik dengan stereotip ‘Udah kalau Tionghoa mah enggak usah mikir mau di kantor pemerintah, berurusan seperti itu enggak usah’,” katanya.
Tak hanya Puspasari, ayah dan ibu perempuan berusia 40 tahun tersebut pun turut senang ketika Ahok menjadi gubernur. Kepada Tirto, ia menjelaskan bahwa orang tuanya memiliki trauma karena kejadian kerusuhan tahun 1998. “Mereka jadi punya harapan, lihat Ahok itu jadi seperti orang tidur terus bangun. Harapan itu kita diterima di dalam komunitas ini. Karena selama ini kan bisa dibilang warga negara, ya [memang] warga negara Indonesia, tapi apakah kita dianggap bagian?” katanya.
Apa yang disampaikan Puspasari mirip dengan perkataan Cellvie (32). Kepada Tirto, ia mengatakan bahwa orang Tionghoa kerap memperoleh stigma sebagai etnis yang hanya bisa berdagang. Selain itu, kejadian seperti kerusuhan ’98 turut memendam keinginan orang Tionghoa terjun ke bidang politik sebab merasa hal itu bukanlah pilihan yang baik. Makanya, ia kaget ketika mengetahui Ahok maju menjadi wakil gubernur dan lantas didapuk sebagai orang nomor satu di Jakarta.
“Tapi kerja ia bagus. Saya pengguna busway jadi yang paling saya rasakan itu busway. Dulu saya bisa mengantri dan nungguin busway itu paling cepat setengah jam. Itu teratasi saya enggak menunggu lama karena salah satu program Ahok. Dan itu ternyata memberi wajah bahwa stigma soal Tionghoa tak melulu soal berdagang. Mereka terjun di politik dan menjadi satu tokoh yang cukup menarik bagi saya,” katanya.
Menurut Charlotte Setijadi, peneliti di School of Social Sciences Singapore Management University, dalam presentasinya pada konferensi Indonesia Update 2018 yang digelar di Australian National University (ANU), Canberra (14 September 2018) yang bertajuk "Anti-Chinese Sentiments and the ‘Return’ of the Pribumi Discourse”, keberhasilan Ahok menjadi pejabat publik memang dianggap mematahkan stereotip soal ketidakmampuan orang Tionghoa berkiprah di bidang politik. Hal ini lantas berdampak pada meningkatnya optimisme anak muda Tionghoa soal hal-hal yang bisa mereka raih.
Di lingkup yang lebih luas, Setijadi menjelaskan bahwa Ahok juga dianggap sebagai politisi yang populer dan mempunyai gaya khas ketika memerintah. Gara-gara hal ini, sosoknya kemudian diidentikkan dengan hal-hal seperti tata pemerintahan yang baik, kemajuan, dan anti-korupsi.
Terpilihnya Ahok sebagai pemimpin Jakarta kala itu lantas memunculkan optimisme bahwa orang Tionghoa di Indonesia bisa lebih leluasa terjun di dunia politik. Namun, Setijadi menjelaskan adanya kasus penodaan agama yang menjerat Ahok dan retorika "pribumi" pada Pemilihan Umum Gubernur DKI Jakarta 2017 menguatkan kembali sentimen di bidang politik terhadap etnis Tionghoa.
Pernyataan itu ia ungkapkan sembari merujuk pada survei “Chinese Indonesians in The Eyes of Pribumi Public” yang dilakukan oleh ISEAS-Yusof Institute (2017). Berdasarkan riset tersebut, sebanyak 64,4 persen dari 1.620 responden di 34 provinsi di Indonesia menyatakan tak mau dipimpin oleh pemimpin politik etnis Tionghoa. Mereka yang berpendidikan rendah, dalam hal ini, lebih banyak menolak dibandingkan responden yang mengenyam pendidikan lebih tinggi.
Penelitian itu juga menyebutkan bahwa responden dari suku Melayu, Minang, Cirebon, dan Sunda yang paling banyak menolak dipimpin pemimpin politik Tionghoa. Sementara itu, seluruh responden Bali dan Batak (60 persen) tak keberatan dipimpin oleh pemimpin politik Tionghoa.
Tak bisa dilupakan pula bahwa Ahok juga menyandang identitas sebagai penganut Kristen. Gelombang protes terhadap Ahok, menurut survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) periode 1-7 Agustus 2018 yang melibatkan 1.520 responden, berpengaruh terhadap tren menampik pemimpin politik nonmuslim.
LSI menunjukkan ada 52 persen responden muslim yang menyatakan keberatan jika ada nonmuslim menjadi bupati atau walikota. Angka ini naik dibandingkan Agustus 2016 dan Agustus 2017 yang masing-masing jumlahnya 39 persen dan 47 persen.
Lebih lanjut, sebanyak 52 persen responden muslim keberatan dipimpin gubernur nonmuslim pada Agustus 2018. Angka ini lagi-lagi meningkat dibandingkan Agustus 2016 yang jumlahnya 40 persen dan 48 persen pada Agustus 2017.
Tren yang sama juga terjadi pada pemimpin politik seperti wakil presiden dan presiden. Jumlah muslim yang keberatan pada wakil presiden nonmuslim meningkat dari 41 persen pada Agustus 2016 menjadi 50 persen pada Agustus 2017. Pada Agustus 2018, angka ini naik lagi jadi 55 persen. Sementara itu, jumlah muslim yang keberatan jika nonmuslin menjadi presiden naik dari 48 persen pada Agustus 2016 menjadi 53 persen pada Agustus 2017 dan 59 persen pada Agustus 2018.
Pada ajang konferensi Indonesia Update 2018 di Canberra, Australia, ilmuwan politik dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner dan Burhanuddin Muhtadi, juga menyimpulkan kesimpulan dari survei LSI yang intinya menunjukkan bahwa menurut hitungan kasar, terdapat 30 persen muslim Indonesia mempunyai pandangan intoleran terhadap orang nonmuslim dan berprasangka anti-Tionghoa.
Keduanya pun menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan intoleransi sebelum aksi-aksi anti-Ahok, yang terjadi adalah peningkatan intoleransi yang dikonsolidasikan setelah aksi anti-Ahok. Artinya, intoleransi dimobilisasi, dan bukan faktor yang menggerakkan aksi-aksi pada 2016. Namun, memberi catatan bahwa pada 2018 sentimen terhadap Tionghoa menurun, meski sentimen terhadap nonmuslim secara umum masih meningkat.
Selanjutnya, yang patut menjadi catatan, Mietzner menyimpulkan bahwa sentimen anti-minoritas itu semakin menjadi arus utama dan menjadi elemen kunci dalam agenda politik.
Dari data dan kesimpulan di atas, artinya Indonesia kemungkinan tak akan mempunyai Ahok lain—yang menyandang identitas Tionghoa dan Kristen—sebagai pemimpin politik dalam waktu dekat ini.
Editor: Maulida Sri Handayani