Menuju konten utama
12 Februari 1948

Sejarah Partai Sosialis Indonesia: Galau dalam Kenaifan Politik

PSI berisi kader intelek yang menempati pos penting pemerintahan era 1950-an. Setelah dibubarkan, pengaruhnya menyebar melalui jejaring intelektual.

Sejarah Partai Sosialis Indonesia: Galau dalam Kenaifan Politik
Ilustrasi lambang Partai Sosialis Indonesia. tirto.id/Deadnauval

tirto.id - Dalam ranah sosial-politik Indonesia ada semacam mitos tentang jaringan PSI. Bukan Partai Solidaritas Indonesia yang berdiri kemarin sore tentu saja, tetapi Partai Sosialis Indonesia. Itu adalah jaringan para eksponen PSI dan kader-kader muda yang sepaham dengan pemikiran Sutan Sjahrir tentang sosialisme kerakyatan.

Jaringan PSI bukan benar-benar jaringan politik bawah tanah, tetapi lebih laik disebut jaringan intelektual. Pangkalnya adalah para mantan anggota gaek PSI seperti Subadio Sastrosatomo dan Sudjatmoko atau aktivis sayap mahasiswa PSI—Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia alias Gemsos—seperti Marsilam Simanjuntak dan marhum Rahman Tolleng.

Mereka jadi mentor bagi aktivis-aktivis mahasiswa semasa Orde Baru. Salah satu yang tertarik dalam lingkaran PSI adalah Fadjroel Rachman. Kala masih berkuliah di ITB pada 1980-an ia mulai membaca buku Sosialisme Pembangunan karya Sutan Sjahrir.

“Sosialisme itu jalan tengah antara kediktatoran Kanan, Hitler, dan kediktatoran Kiri, komunis. Sosialisme memperjuangkan demokrasi sekaligus kebebasan individu,” kata Fadjroel sebagaimana dikutip majalah Historia edisi 18 tahun 2014.

Fadjroel lalu berkontak dengan Soedjatmoko. Seiring dengan kian intensnya hubungan mereka, Fadjroel lantas masuk dalam “habitat PSI” yang disebutnya intelek dan akademis. Pada 1990 ia berhimpun dalam Forum Demokrasi yang memperkenalkannya dengan Marsilam Simanjuntak, Rahman Tolleng, dan Todung Mulya Lubis.

Pada 2006 sempat muncul pula usaha untuk menghidupkan partai yang tiarap sejak 1960 itu. Adalah Agustanzil Sjahroezah—anak Djohan Sjahroezah, salah satu pendiri PSI—yang memimpin Badan Pekerja Pengaktifan Kembali PSI kala itu. Meski sulit dan terkendala sejumlah aturan legal, ia tetap berkukuh mengawal usaha pendirian kembali itu.

“Kita akan terus melanjutkan tradisi berpartai PSI, yakni mengutamakan kualitas daripada kuantitas, dan tiga hal yang harus dijaga, kualitas intelektual, kualitas moral, dan peduli nasib sesamanya,” kata Ibong, sapaan akrab Agustanzil, sebagaimana dikutip Historia.

Jadi terang, organisasi PSI memang telah tumbang, namun gagasan-gagasannya masih menggema sampai sekarang. Bagaimana riwayatnya sehingga PSI bisa demikian melegenda?

Berhulu dari Masa Revolusi

Pada mulanya ada dua partai berhaluan sosialisme yang berdiri beberapa saat setelah Proklamasi. Yang pertama adalah Partai Sosialis Indonesia alias Parsi yang berdiri pada 13 November 1945. Amir Sjarifuddin pemimpinnya.

Lalu kurang dari seminggu setelah berdirinya Parsi, tokoh-tokoh yang dekat dengan Sutan Sjahrir dan pernah terlibat dengan PNI-Pendidikan juga mendirikan partai sendiri. Di antara mereka itu ada Soebagio, Hamdani, Soemitro Reksodipoetro, Sastra, Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, dan Leon Salim. Maka berdirilah Partai Rakyat Sosialis pada 19 November.

Karena nisbi memiliki asas yang sama, pentolan-pentolan kedua partai ini merasa sebaiknya mereka bergabung. Lagi pula pemimpin mereka, Sjahrir dan Amir, sama-sama berada dalam satu kabinet. Akhirnya pada awal Desember pimpinan kedua partai mengumumkan akan digelarnya suatu kongres fusi.

Kongres itu lantas digelar pada 16-17 Desember dan hasilnya adalah fusi keduanya menjadi Partai Sosialis. Namun, menurut Indonesianis Benedict Anderson, itu bukanlah sebuah persatuan yang erat. Pada pokoknya tetap terdapat perbedaan mencolok di antara para pengikut Sjahrir dan Amir yang tidak bisa diselaraskan.

Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda (2018) menulis, “Fusi yang diumumkan pada Desember 1945 tidak pernah sepenuhnya tercapai dalam praktik, dan kekukuhannya sangat bergantung kepada rasa saling percaya antara Sjahrir dan Amir sendiri” (hlm. 240).

Perpecahan di tubuh Partai Sosialis terjadi usai Perjanjian Linggarjati pada November 1946. Kala itu Partai Sosialis berkubu bersama PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dalam koalisi Sayap Kiri. Mulanya, Sayap Kiri mendukung perjanjian itu.

Akan tetapi, secara tiba-tiba Sayap Kiri kemudian mencabut dukungan. Pangkal soal penarikan dukungan itu, seturut penelusuran Historia, adalah pidato Sjahrir pada 19 Juni 1947. Sjahrir menyatakan setuju mengakui kedudukan wakil Kerajaan Belanda dalam pemerintahan Indonesia selama masa peralihan menuju kedaulatan. Gara-gara itu Kabinet Sjahrir jatuh pada 27 Juni 1947.

Soe Hok Gie dalam Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (2005) menyebut bahwa sejak itu hubungan kedua kelompok memburuk. Apalagi kelompok Amir banyak memberi kecaman kepada kebijakan-kebijakan Sjahrir. Sjahrir dan kawan-kawannya merasa jadi outsider dalam Partai Sosialis (hlm. 172-173).

“Jika mereka meneruskan perjuangan di dalam, mereka pasti akan dipecat. Karena itu, sebelum dipecat, mereka keluar dan mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI),” tulis Hok Gie.

Pada 12 Februari 1948, tepat hari ini 71 tahun silam, grup pengikut Sjahrir mengadakan sebuah pertemuan di Kliteran, Yogyakarta. Soebadio Sastrosatomo, Soedarpo Sastrosatomo, Soepeno, Djohan Sjahroezah, Soegondo Djojopuspito, Tedjasoekmana, dan Halim hadir membahas pendirian sebuah partai baru.

Pada dasarnya mereka semua sepakat untuk mendirikan partai beraliran sosialisme yang baru. Namun, mereka ragu karena Sjahrir yang diharapkan menjadi pemimpinnya tak hadir malam itu. Halim merasa tak perlu menunggu persetujuan Sjahrir hanya untuk mendirikan partai. Ia yakin bahwa Sjahrir pasti setuju.

“Sepanjang ingatan saya, beberapa dari yang hadir, di antaranya Subadio, mendukung pandangan saya dan dengan demikian lahirlah Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Kliteran, Yogyakarta, dengan ketuanya pada saat itu di Bukittinggi,” demikian ungkap Halim sebagaimana dikutup Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996: 653).

Partai Kader Bukan Partai Massa

Sjahrir, dalam kacamata Benedict Anderson, adalah cendekiawan terkemuka di antara tokoh-tokoh seangkatannya. Ia memang tak secemerlang Sukarno yang jago orasi, tapi kharisma inteleknya sudah cukup untuk menarik pengikut dari kalangan mahasiswa di Jakarta dan Bandung. Anggota PSI pun tak jauh-jauh dari kesan itu.

Lingkaran Sjahrir di PSI umumnya adalah bekas aktivis PNI Pendidikan pada 1930-an. Mereka adalah keturunan keluarga berada dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Selama di PNI Pendidikan mereka digembleng oleh Sjahrir—juga Hatta—menjadi aktivis patuh, intelek, dan berideologi kuat. Tradisi seperti inilah yang diteruskan dalam PSI.

Berkat modal itu, pada paruh pertama 1950-an PSI cukup mapan dalam percaturan politik di Jakarta. Kader-kader mereka duduk sebagai menteri di beberapa kabinet parlementer, yakni kabinet Natsir, Wilopo, dan Burhanuddin Harahap. Di parlemen sendiri PSI beroleh 15 kursi dari 236 kursi yang ada. Jabatan-jabatan eselon di kementerian pun mereka pegang.

Akan tetapi, menurut J.D. Legge, pengaruh politik PSI di ranah publik tak besar. Berbeda dengan partai macam PNI atau PKI, PSI tak punya basis massa yang besar. Inilah kelemahan terbesar PSI.

“Pada pokoknya para pengamat memandang partai ini sebagai partai intelektual. Julukan ini tidak selalu bernada positif. Bagi banyak orang, intelektual berkonotasi orang yang terasing dari masyarakat lingkungannya, [...] terpisah dari aspirasi-aspirasi ‘riil’ dari suatu periode revolusioner,” tulis Legge dalam Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir (1993: 18).

Orang-orang PSI cenderung aristokratis daripada agitator massa. Karenanya performa PSI dalam merekrut anggota pun seret. Misalnya saja pada 1952, ketika PKI yang babak belur oleh Peristiwa Madiun 1948 mampu menggaet 100.000 orang anggota, PSI baru punya 3.049 anggota penuh dan 14.480 calon anggota.

Marhum wartawan gaek Rosihan Anwar pernah bertanya kepada Soebadio Sastrosatomo perihal begitu sedikitnya kuantitas anggota PSI. Soebadio, sebagaimana dikutip Rosihan dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 170), hanya menjawab singkat, “Karena dia partai Kader. Bukan partai massa.”

Infografik Mozaik Lahirnya PSI

Infografik Mozaik Lahirnya PSI

Soebadio mengingat nasihat-nasihat Sjahrir kepadanya soal PSI. Bagi Sjahrir berpolitik di PSI bertujuan mendidik, bukan berkuasa. Walau demikian, dalam jangka panjang pendidikan itu diharapkan akan melahirkan suatu basis massa bagi PSI.

Beberapa kader PSI, seperti Maria Ulfah dan Mr. Subari, memang punya jabatan di pemerintahan, tetapi mereka lebih memilih melepas status kadernya. PSI anti memanfaatkan jabatan untuk kepentingan politik.

Itu jelas idealisme yang melawan arus zaman. Tapi gara-gara idealisme itulah perolehan suara PSI dalam Pemilu 1955 jeblok.

“Gobloknya PSI tidak mementingkan menang, tapi hanya mementingkan diadakannya pemilu [...] Kenapa PSI kalah dalam pemilu? Karena naif,” kata Soebadio.

Pengaruh politik PSI benar-benar kandas usai Pemilu 1955. Tambah suram lagi salah satu kadernya, Sumitro Djojohadikusumo, ketahuan ikut makar PRRI-Permesta pada 1957. PSI menjatuhkan skors padanya dan mengeluarkan pernyataan ketidaksepahamannya dengan PRRI.

Apa lacur, Presiden Sukarno tetap menjatuhkan hukuman pada PSI. Sejak Agustus 1960 PSI dibubarkan. Tetapi, bekas anggota PSI toh tak diam saja. Mereka tetap berkiprah dan menyebarkan gagasan sosialisme tanpa partai.

“[...] seterusnya PSI adalah a state of mind, suatu keadaan pemikiran. State of mind is indetectable, keadaan pikiran tidak dapat dideteksi. Artinya jaringannya bersifat spiritual, bukan organisasi. Tidak perlu lagi ada PSI,” kata Soebadio sebagaimana dikutip Rosihan (hlm. 184).

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Politik
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan