tirto.id - Sabtu, 28 Februari 1942. Madiun sebentar lagi ditelan gelap, ketika sebuah pesawat De Havilland Mosquito milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) mendarat terburu-buru di Lapangan Udara Maospati. Begitu mendarat, tetiba ban bagian depan pecah, pesawat terbalik. Beruntung sang pilot masih bisa diselamatkan.
“Rupanya dia seorang 'Wing-Commander' Inggris yang dengan jalan memutar telah melarikan diri dari Singapura,” ungkap Letnan Edward J. Magee dalam buku Selamat Berpisah, Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik (Dokumenter Runtuhnya Hindia Belanda) karya J.C. Bijkerk.
Letnan Edward yang merupakan opsir pembidik bom dari Amerika Serikat yang sedang bertugas di Jawa, lantas menyarankan opsir RAF itu untuk bergabung dengan mereka. Alih-alih menerima usul, dia malah meminta pesawat pembom A24 digunakan menghajar Jepang. Permintaan itu dikabulkan. Dengan mengendarai pesawat tukik tua tersebut, dia lantas bergerak ke arah utara, menuju kapal-kapal pengangkut serdadu Jepang di Pantai Kragan, Rembang.
“Sudah jelas, orang itu tak akan pernah kembali…” kenang Edward.
Jepang Memasuki Jawa Tengah
Sementara itu dalam waktu yang sama, unit Tentara Ke-16 dari Divisi ke-56 pimpinan Mayor Jenderal Shizuo Sakaguchi, melancarkan serangan ke Rembang pada saat menjelang tengah malam. Minggu, 1 Maret 1942, orang-orang yang tinggal di sekitar Pantai Kragan dikejutkan dengan ledakan dasyat peluru-peluru meriam dari arah laut.
Situasi semakin mencekam, ketika serdadu-serdadu KNIL dikerahkan untuk stelling di sepanjang Kragan hingga Blora. Namun rupanya tembakan-tembakan meriam itu pengalih semata. Tidak ada pendaratan besar-besaran di Pantai Kragan.
Sekitar 24.000 prajurit Tentara ke-16 yang ditunggu para serdadu KNIL, ternyata mendarat di sebuah dukuh kecil bernama Gondang, Desa Kalipang (masuk wilayah Kecamatan Sarang). Dari sana mereka diam-diam bergerak dengan membentuk formasi tapal kuda hingga membuat posisi pasukan KNIL terkepung.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham, sejatinya Jawa Tengah dibiarkan bolong begitu saja. Menjelang Tentara ke-16 datang, wilayah itu sudah tidak memiliki lagi pasukan yang mumpuni sebab detasemen-detasemen di sekitar Rembang, yang sehari sebelum pendaratan Jepang sempat membuat latihan-latihan sketsa-sketsa penembakan di pantai pendaratan, sudah dikirim ke Bandung sebagai benteng utama KNIL di Pulau Jawa.
“Di Jawa Tengah sendiri hanya tinggal prajurit-prajurit kelas dua dan tiga dengan daya tempur rendah,” ungkap Ong dalam buku Runtuhnya Hindia Belanda (1987).
Wajar saja jika di sana sama sekali tak terjadi pertempuran dahsyat seperti yang diperkirakan jauh sebelumnya. Gairah perang para prajurit KNIL seolah sudah mati. Sejumlah penduduk lokal menjadi saksi bagaimana sebagian dari mereka lari terbirit-birit sambil membuka seragam dan membuang senjata.
Dengan situasi seperti itu adalah wajar jika sebelum Subuh ribuan prajurit KNIL itu telah memutuskan untuk bertekuk lutut. Mereka lantas menjadi tawanan dan ditahan di Kantor Kewedanaan Kragan.
Dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I, Abdul Harus Nasution menyebut pendaratan Tentara ke-16 Jepang di Rembang sebagai sebuah kesuksesan besar. Berbeda dengan situasi palagan di Teluk Banten yang dibarengi dengan pertempuran-pertempuran laut, di Rembang sisa-sisa kekuatan Angkatan Laut gabungan negara-negara Sekutu (Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Belanda) justru melarikan diri ke arah Selat Sunda.
“Tujuan mereka jelas adalah Samudera Hindia…” ungkapnya.
Rembang dan sekitarnya terkuasai, Tentara ke-16 lantas mengirimkan satu kolonenya ke pedalaman Jawa Tengah. Lagi-lagi tanpa perlawanan berarti, mereka bisa melibas perlawanan KNIL sekaligus menguasai kota-kota penting seperti Semarang, Magelang, Surakarta dan Yogyakarta. Divisi II KNIL yang diharapkan bisa menahan laju para prajurit Jepang malah menghindar ke arah Priangan.
“Pasukan KNIL yang mundur dengan cepat ini banyak meninggalkan rongsokan truk, overvalwagen, mobil tangka air, dapur lapangan, seta meriam-meriam yang sengaja dirusak, di sepanjang jalan yang mereka lalui,” ungkap Nasution.
Semarang bisa dikuasai Tentara Ke-16 pada 6 Maret 1942. Besoknya, mereka dengan gagah memasuki ibu kota Jawa Tengah itu dan langsung menguasai tempat-tempat strategis seperti Gedung NIS (Lawang Sewu), Gedung Raad van Justitie (Gedung Pengadilan Tinggi), De Vredestein (Istana Perdamaian), Markas KNIL di Jatingaleh dan gedung-gedung penting lainnya.
Di Bawah Kuasa Hinomaru
Setiap selesai menaklukkan satu kota di Pulau Jawa, tentara Jepang seperti tak mengenal pesta kemenangan. Bagi mereka, kemenangan baru menjadi nyata jika seluruh Jawa sudah mengibarkan bendera Hinomaru (lingkaran matahari). Karena itulah, beberapa jam usai memasuki Semarang, mereka bergerak lagi ke Cilacap untuk meraih kemenangan secara mudah pada 8 Maret 1945.
Beberapa jam setelah penaklukan kota di bibir Samudra Hindia itu, datang kabar menggembirakan untuk para prajurit Jepang: Panglima KNIL, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, secara resmi menyatakan bahwa seluruh pasukannya menyerah tanpa syarat.
Pernyataan itu ia tandatangani di rumah dinas seorang perwira Angkatan Udara Kerajaan Belanda yang terletak dekat Lapangan Udara Kalijati, disaksikan langsung oleh Jenderal Hitoshi Imamura, komandan Divisi ke-2 Tentara Ke-16 dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (Rikugun).
Pemerintah militer pun dibentuk. Berdasarkan kitab Nampo Senryochi Gyosei Jissi Yoryo (Asas-asas Tentang Pemerintahan di Wilayah-wilayah Selatan yang Diduduki), terdapat empat rencana pokok pemerintah militer Jepang di negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan yang baru ditaklukan.
Pertaam, sasaran diadakannya pemerintah militer adalah untuk memulihkan ketertiban umum, mempercepat penguasaan sumber-sumber vital bagi pertahanan nasional, dan menjamin kemandirian di bidang ekonomi bagi personel militer.
Kedua, status terakhir wilayah-wilayah yang diduduki dan pengaturannya pada masa mendatang akan ditentukan secara terpisah.
Ketiga, dalam menjalankan pemerintah militer, organisasi-organisasi pemerintah yang ada akan dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan menghormati struktur organisasi tradisonal dan adat-istiadat setempat.
Keempat, penduduk yang wilayahnya dikuasai akan dibina sedemikian rupa sehingga memiliki kepercayaan kepada pasukan-pasukan Jepang. Dengan demikian, gerakan-gerakan yang mengarah kepada semangat untuk merdeka bisa diantisipasi sedini mungkin.
Acuan kedua adalah kitab Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni Kansuru riku-kaigun Chuuoo Kyotei atau Persetujuan Pokok antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut mengenai Pemerintahan Militer di Wilayah-wilayah yang Diduduki.
Dokumen itu menyebutkan wilayah Indonesia akan menjadi wewenang Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang. Pulau Sumatra, Jawa, dan Bali dipegang Angkatan Darat (Rikugun). Sementara Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua berada di bawah Angkatan Laut (Kaigun).
Mengacu pada kedua dokumen itu, sejak kapitulasi atau penyerahaan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jepang lewat Perjanjian Kalijati pada 8 Maret 1942, berdirilah tiga pemerintahan militer Jepang di Indonesia: Pulau Sumatra diperintah oleh Tentara ke-25 Angkatan Darat Jepang (Tomi Shudan). Markas besarnya di Bukittinggi.
Pulau Jawa dan Bali dipegang Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang (Asamu Shudan). Markas besarnya di Batavia. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua dikuasai Angkatan Laut. Pimpinannya adalah Armada ke-3 Angkatan Laut Jepang. Markas besarnya di Makassar.
Di antara tiga pembagian itu, Tentara ke-16 paling dominan. Bisa jadi itu terjadi karena Jawa adalah pusat pemerintahan dan politik sejak zaman Hindia Belanda.
Pemerintahan sementara langsung diberlakukan sesuai dengan Osamu Seirei (Undang-Undang yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara Ke-16). Ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagai berikut: Jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda dihapuskan. Kekuasaannya diambil alih oleh panglima tentara Jepang di Jawa.
Para pejabat pemerintah sipil beserta pegawainya di masa Hindia Belanda tetap diakui kedudukannya, asalkan setia terhadap tentara pendudukan Jepang. Badan-badan pemerintah dan undang-undang di masa Belanda tetap diakui secara sah untuk sementara waktu. Asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.
Mengenai struktur pemerintah versi militer Jepang adalah sebagai berikut: Gunshirekan (panglima tentara) disebut juga dengan istilah Seiko Shikikan (panglima tertinggi) sebagai pucuk pimpinan. Panglima tentara yang pertama dijabat oleh Jenderal Hitoshi Imamura.
Gunseikan (kepala pemerintahan militer) dirangkap oleh seorang kepala staf. Kepala staf yang pertama adalah Mayor Jenderal Seizaburo Okasaki. Kantor pusat pemerintahan militer ini disebut Gunseikan bu.
Ada sepuluh bu atau departemen yang dipimpin seorang direktur: Departemen Urusan Umum (Somubu); Departemen Dalam Negeri (Naimubu); Departemen Perusahaan, Industri, dan Kerajinan Tangan (Sangyobu); Departemen Keuangan (Zaimubu); Departemen Kehakiman (Shihobu); Departemen Kepolisian (Keimubu); Departemen Lalu Lintas (Kotsubu); Departemen Propaganda (Sendenbu); Departemen Kesejahteraan Sosial; Departemen Meteorologi.
Gunseibu (semacam gubernur), tugasnya memulihkan ketertiban dan keamanan. Pembagiannya meliputi: Jawa Barat berpusat di Bandung, Jawa Tengah berpusat di Magelang, Jawa Timur berpusat di Surabaya, Daerah Istimewa (Kochi) Yogyakarta terpusat di Kota Yogyakarta, dan Daerah Istimewa (Kochi) Surakarta terpusat di Kota Surakarta. Posisi Gunseibu dijabat seorang perwira tinggi Rikugun berpangkat mayor jenderal.
Mitos Ramalan Jayabaya
Jauh sebelum bala tentara Dai Nippon mendarat di Teluk Banten, Pantai Eretan, dan Pantai Kragan, serangan propaganda dari Negeri Matahari Terbit itu diam-diam sudah sampai ke seluruh pelosok Pulau Jawa.
Bahkan mitos ramalan Prabu Jayabaya yang menyebut tentang orang-orang dari utara yang akan membebaskan Pulau Jawa dari cengkeraman penjajah Belanda, seolah sengaja ditiupkan dinas rahasia Jepang, yang kemudian ditangkap bukan saja oleh kaum awam, namun juga para aktivis pergerakan seperti Ir. Sukarno dan Mohammad Yamin.
“Haraplah, fikirkan Tuan-tuan Hakim, apakah rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya 'Ratu Adil', apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai ini hari masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain, tak bukan, ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu datangnya pertolongan…Menunggu-nunggu, mengharap-harap: 'kapan, kapankah matahari terbit?'" ungkap Sukarno dalam Indonesia Menggugat, risalah pembelaannya di sidang pengadilan kolonial Belanda pada 1930.
Di Semarang, keyakinan bahwa Pemerintah Hindia Belanda akan runtuh sudah hidup dalam alam pikiran para aktivis pergerakan menjelang kedatangan Tentara Ke-16. Malah secara rahasia, mereka telah mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM), suatu badan yang akan menyiapkan dan menyambut kemerdekaan Indonesia yang dijanjikan para agen propaganda Jepang.
“Para tokoh dan anggota KIM telah dikenal luas sebagai tokoh pergerakan di Semarang, seperti Dokter Boentaran Martoatmodjo, Mr. Suyudi, Ki Hajar Dewantoro, Dokter Darmasetyawan, Winarno Danoeatmodjo, Sadewo dan Sajuti Melik,” ungkap sejarawan Moehkardi dalam buku Revolusi Nasional 1945 di Semarang.
Penulis: Hendi Jo
Editor: Irfan Teguh Pribadi