tirto.id - Tepat 73 tahun yang lalu, pada 2 September 1945, Kerajaan Jepang resmi menyerah kepada Sekutu. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri Perang Dunia II yang telah berlangsung sejak 1939 dan menjadi konflik paling mematikan dalam sejarah manusia.
Sekitar pukul sembilan pagi, di atas kapal USS Missouri yang bersandar di Teluk Tokyo, Menteri Luar Negeri Jepang Mamoru Shigemitsu menandatangani surat penyerahan diri untuk mewakili pemerintah, sementara Jenderal Yoshijiro Umezu membubuhkan tanda tangan selaku perwakilan militer.
Narasi yang terkandung dalam buku sejarah siswa Indonesia kerap menyebutkan bahwa penyebab utama Jepang menyerah adalah dua bom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki. Perspektif ini tidak salah, namun tidak seutuhnya benar, dan akan lebih keliru lagi jika dianggap sebagai faktor tunggal. Narasi tersebut mewakili keyakinan kelompok tradisional, sementara rombongan sejarawan revisionis menolaknya.
Salah satunya adalah Ward Wilson, peneliti senior di British American Security Information Council dan penulis buku Five Myths About Nuclear Weapons (2014). Lima tahun silam Wilson menerangkan analisisnya di kanal Foreign Policy terkait faktor yang lebih pokok ketimbang bom atom yang membuat Jepang menyerah.
Bom pertama jatuh pada 6 Agustus, dan di hari itu pula untuk pertama kalinya terjadi perseteruan antara Dewan Tertinggi, enam orang penguasa Jepang saat itu. Wilson mencatat bom pertama tidak membuat dewan mau menyerah tanpa syarat. Elite Jepang juga belum satu suara saat bom kedua jatuh pada 9 Agustus.
Jepang baru menyebarkan sikap penyerahan diri melalui istana pada 15 Agustus. Wilson, yang menempatkan diri di posisi Jepang, merasa tidak logis sebab jarak penyerahan ini jauh dengan waktu terjadinya bom kedua, apalagi yang pertama. Jika bom atom memang signifikan, Jepang seharusnya menyerah usai Hiroshima luluh lantak.
Jepang juga punya program nuklir, jadi bukannya tidak tahu-menahu soal efek bom nuklir. Lebih lanjut, bom nuklir sesungguhnya hanya dua kerusakan di antara kerusakan-kerusakan lain yang dihasilkan serangkaian serangan udara AS sepanjang musim panas 1945.
Wilson mencatat ada 68 kota di Jepang yang diserang dan kesemuanya antara separuh atau sepenuhnya hancur. Kurang lebih 1,7 juta orang dibikin tak punya tempat tinggal, 300 ribu terbunuh, dan 750 ribu lainnya luka-luka. Tiap serangan di satu kota diperkirakan terdiri dari 4-5 kiloton bom. Bom Hiroshima seberat 16,5 kiloton, sementara Nagasaki 20 kiloton. Jadi, beberapa serangan non-bom atom sebenarnya sudah setara dengan satu bom atom.
Hitung-hitungan ini membuat Wilson makin yakin bahwa Jepang tidak menganggap dua bom atom itu sebagai serangan yang signifikan—atau setidaknya berpengaruh sebagai faktor paling utama di balik keputusan menyerah Jepang.
“Kita sering membayangkan, dari dramatisasi penceritaannya, hasil pemboman Hiroshima jauh lebih parah (dari serangan non-bom atom lain). Kita membayangkan bahwa jumlah orang yang terbunuh berada di tataran luar biasa besar,” kata Wilson.
“Tetapi jika Anda melihat jumlah orang yang tewas di 68 kota yang dibom pada musim panas 1945, Hiroshima berada di urutan kedua. Dari segi luas daerah yang hancur, Hiroshima berada di peringkat keempat. Dari persentase kehancuran kota secara umum, Hiroshima ada di urutan ke-17,” lanjutnya.
Wilson kemudian mengutip pendapat Menteri Luar Negeri Shidehara Kijuro yang dua hari usai Tokyo digilir serangan udara berkata, “masyarakat Jepang secara bertahap terbiasa dibom setiap hari. Seiring waktu, persatuan dan keteguhan mereka justru semakin kuat.” Di level Dewan Tertinggi Jepang juga demikian: tidak ada diskusi khusus atau menyeluruh terkait pemboman kota-kota.
Pada 13 Agustus, atau empat hari usai peristiwa Nagasaki, Menteri Militer Anami Korechika bahkan menegaskan bahwa bom atom tidak lebih mengancam dibanding rangkaian serangan bom-non atom yang dilancarkan AS selama berbulan-bulan sebelumnya.
Wilson, dan sejarawan revisionis lain seperti Tsuyoshi Hasegawa melalui bukunya Racing the Enemy: Stalin, Truman, and the Surrender of Japan (2006), menawarkan faktor yang lebih signifikan: ancaman dari Uni Soviet.
Sejak awal tahun 1945 Jepang memang makin lemah serta mengalami kekalahan militer di banyak tempat, baik saat invasi maupun mempertahankan koloni.
Sejak awal tahun, Sekutu juga telah menuntut Jepang menyerah tanpa syarat, atau akan diserang habis-habisan. Anggota Dewan Tertinggi tidak pernah satu suara untuk memenuhi tuntutan tersebut. Menyerah tanpa syarat dianggap sebagai sikap yang terlalu merugikan.
Jepang kemudian berpaling ke Uni Soviet agar mau memediasi akhir perang yang lebih menguntungkan Jepang. Langkah ini logis mengingat Jepang-Soviet punya pakta netralitas yang mencegah keduanya saling bertikai angkat senjata.
Masih mengutip Hasegawa, tanggapan Uni Soviet cenderung dingin. Soviet sebenarnya telah terlebih dahulu membuat kesepakatan dengan AS, Inggris, dan Sekutu lain. Isinya, sebagaimana tertuang dalam Konferensi Yalta, adalah Sekutu tidak akan menerima perdamaian terpisah atau bersyarat dari Jepang.
Pada akhirnya Soviet memang harus memilih, dan dukungan jatuh ke pihak Sekutu. Pada tanggal 9 Agustus atau hari pemboman Nagasaki, Soviet mematahkan pakta netralitas, menyatakan perang terhadap Jepang, dan meluncurkan serangan militer dengan tujuan menginvasi Manchuria.
Sebelumnya Soviet juga telah memindahkan pasukannya dari Front Barat (bekas pertempuran PD II di Eropa) ke Front Timur Jauh. Mereka menaklukkan Mengjiang di bagian dalam Mongolia, Semenanjung Korea, Pulau Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan berencana menyerbu Hokkaido.
Di titik ini Jepang berpikiran bahwa invasi Rusia jauh lebih nyata dan berbahaya ketimbang ancaman invasi AS yang dijadwalkan masih dalam waktu yang lebih lama. Sejak awal Agustus tentara Jepang juga kian terkonsentrasi di selatan, membuat area utara yang akan diserang Rusia kian lemah.
Kondisi ini akhirnya mampu meyakinkan seluruh anggota Dewan Tertinggi untuk menyatakan penyerahan diri pada tanggal 15 Agustus 1945. Pengumuman yang disebar melalui radio itu terasa getir, terutama bagi warga maupun tentara Jepang yang masih berdaya juang tinggi.
Analisis serupa ditulis Jeff Kingston untuk Japan Times pada dua tahun silam. Di dalamnya ia menyertakan keterangan Sheldon Garon selaku profesor sejarah dari Universitas Priventon. Garon berpendapat bahwa AS terkejut atas keputusan menyerah Jepang. Keterkejutan itu didasarkan pada rencana AS untuk membom Jepang untuk ketiga kalinya pada tanggal 19 Agustus.
ABC News pernah menurunkan laporan atas peristiwa ini tahun lalu dan mewawancarai sejarawan Jepang Yuki Tanaka. Tanaka berkata deklarasi perang Soviet kepada Jepang memang lebih kuat pengaruhnya terhadap keputusan menyerah tanpa syarat ketimbang dua bom atom yang dijatuhkan AS.
Tanaka menambahkan bahwa Jepang menghindari perang dengan Soviet sebab Soviet akan mengeksekusi Kaisar Hirohito jika menang. Hirohito adalah hati dan jiwa rakyat Jepang. Ia terlalu berharga untuk dihabisi nyawanya.
“Uni Soviet akan menghancurkan sistem kekaisaran dan mereka akan mengeksekusi kaisar serta seluruh anggota keluarga kaisar,” katanya.
Kingston juga diwawancarai oleh ABC News, yang berpendapat bahwa bom atom bukan ditujukan untuk mengakhir perang. Bagi Jepang, dua bom tidak akan berdampak signifikan jika dibandingkan dengan kerusakan massal yang telah membara sejak waktu-waktu sebelumnya.
“Tidak ada bedanya apakah orang-orang mati karena bom biasa atau bom nuklir. (Hiroshima dan Nagasaki) cuma dianggap dua kota tambahan yang dihancurkan,” katanya.
Alasan sebenarnya, lanjut Kingston, bom atom dijadikan pertunjukan kekuatan di hadapan Soviet—yang AS sadari akan menjadi lawan perang dalam bentuk lain di masa sesudah Perang Dunia II. Kenyataannya, kedua negara memang menjalani perang dingin hingga kehancuran Uni Soviet para pertengahan 1990-an.
“Kami (AS) punya senjata keren, nih. Kami punya monopoli atasnya, dan kami akan berkembang menjadi super-power terkuat. Dalam arti lain, bom atom adalah pembukaan perang dingin itu sendiri,” pungkas Kingston.
Editor: Nuran Wibisono