Menuju konten utama
9 Agustus 1945

Mengapa Sekutu Memilih Hiroshima & Nagasaki untuk Dibom?

Pamungkas perang.
Trauma penghabisan
tiada lekang.

Mengapa Sekutu Memilih Hiroshima & Nagasaki untuk Dibom?
Ilustrasi pengeboman Nagasaki. tirto.id/Sabit

tirto.id - Perang Dunia II di Eropa berakhir pada 7 Mei 1945. Jerman menyerah tanpa syarat. Masalahnya, pertempuran di Pasifik masih saja berkecamuk. Maka, tiga hari kemudian, sejumlah ilmuwan dan personel militer elite Amerika Serikat yang bergabung dalam “Target Committee” berkumpul di Los Almos, New Mexico, untuk merundingkan satu hal: kota Jepang manakah yang paling tepat dijadikan target bom atom?

Bom atom dipilih sebab punya daya rusak maha dahsyat yang bisa mengakhiri perang seutuhnya. Jepang sesungguhnya telah diberi pilihan ultimatum oleh AS lewat Deklarasi Postdam, akan tetapi mereka menolak tunduk. AS pun menyiapkan sebuah prosedur penghancuran besar-besaran, berbekal suksesnya pengujian bom atom di gurun New Mexico pada bulan Juli di tahun yang sama.

Alex Wellerstein, sejawaran dari Stevens Institute of Technology, berkata pada NPR bahwa pada awalnya orang-orang di Komite Target juga mempertimbangkan untuk menargetkan instalasi militer, misalnya di Teluk Jepang, agar tak mengorbankan rakyat sipil. Namun, kata ahli senjata nuklir itu, komite memutuskan menyasar kota sebab kehancuran instalasi militer kurang menunjukkan keseriusan AS.

Maka bisa disimpulkan bahwa Komite Target punya dua tujuan besar: untuk menakut-nakuti Jepang sampai mereka mau menyerah tanpa syarat, dan menyebarkan kesan ke seluruh penjuru dunia bahwa senjata baru AS itu punya daya hancur yang tak main-main.

“Mereka (Komite Target) ingin orang-orang paham bahwa ini (bom atom) adalah sesuatu yang berbeda, jadi pemilihan target serangan juga ditujukan demi perwujudan keinginan tersebut, dalam kata lain, sangat penting,” kata Wellerstein.

Seberapa dahsyat? Komite Target memilih bom atom tipe-A. Militer AS memang telah rajin menyerang Jepang melalui pesawat pembom. Korbannya juga sudah lumayan banyak. Namun kali ini mereka ingin efek dengan level yang lain: satu pesawat pembawa bom yang mampu melenyapkan peradaban satu kota.

Kejam? Tentu saja. Namun mereka menilai serangan tersebut lebih baik daripada opsi kedua AS untuk mengakhiri perang: Operation Downfall.

Bentuk Operation Downfall adalah operasi militer besar-besaran lewat jalur darat dan air dengan melibatkan personel yang juga berjumlah super-besar. Masalahnya, meski perang ini akan menyeret nyawa jutaan personil Sekutu, Jepang akan kehilangan puluhan juta rakyatnya alias lebih banyak dibanding korban bom atom.

Fisikawan Edward Teller tak berada di dalam Komite Target, namun menurut catatan Atomic Archive, ia pernah menulis surat yang menyatakan persetujuan. Dalam suratnya, ia berharap bahwa hasil kunci dari pemboman tersebut adalah efeknya. Ini penting sebab pihak Sekutu bisa memakainya untuk meyakinkan orang-orang bahwa sudah tak zaman sedikit-sedikit main perang.

Dalam catatan Paul Ham di bukunya yang berjudul “Hiroshima Nagasaki”, insinyur tentara untuk Proyek Manhattan (proyek pengambangan nuklir AS) Jenderal Leslie Groves menyampaikan bahwa pemboman tak hanya harus melemahkan semangat perang rakyat Jepang. Tetapi juga punya efek penghancuran pabrik amunisi, pusat berkumpulnya tentara, dan elemen militer lainnya.

Kisah Pemilihan Hiroshima

Tokyo sempat masuk pertimbangan, tetapi segera dicoret mengingat sebagian besar wilayahnya telah hancur oleh bom dan hasil kebakaran yang mengiringinya. Kurang tepat untuk menghasilkan efek kerusakan yang menakjubkan. Tokyo juga bukan basis pertahanan militer, sehingga tak memenuhi kriteria yang disebut Groves serta jenderal lainnya.

Di antara runtuhan dan puing bangunan yang tersisa di Ibukota, istana tempat Kaisar Hirohito tinggal masih berdiri tegak. Masuk akal jika AS seharusnya menyerang istana, dan wacana ini memang sempat didiskusikan oleh Komiter Target. Namun mereka mengurungkan niat sebab tak bisa memprediksi reaksi rakyat Jepang atas kematian seorang pria yang dianggap sebagai keturunan Dewa Matahari itu. Alih-alih menyerah, rakyat Jepang justru bisa saja bangkit dengan semangat berlipat.

Kota lain yang masuk daftar adalah Kyoto, Yokohama, Kokura, Niigata, Nagasaki, dan Hirosima. Setelah perdebatan yang panjang dan memakan waktu berhari-hari, akhirnya Hirosima dipilih sebagai tempat penjatuhan bom atom pertama dalam sejarah dunia.

Hiroshima dinilai pilihan terbaik. Tak hanya dipadati oleh penduduk yang kala itu jumlahnya mencapai 318.900 orang, Hiroshima juga menjadi pusat berkumpulnya tentara dan pelabuhan embarkasi yang penting. Semuanya terletak di tengah perkotaan sehingga dampak bomnya bisa terjamah secara efektif. Hiroshima juga selama ini dikenal sebagai target yang belum sempat dipukul oleh Sekutu.

Dengan demikian, pada tanggal 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Siperfortress bernama Enola Gay yang dikemudikan Letkol Paul W. Tibbets dikirim untuk membawa bom atom peluluh lantak Hiroshima bernama Little Boy. Little Boy punya panjang 3 meter, diameter 71 cm, berat 4.400 kg, dan di dalamnya terkandung uranium-235 dengan berat 64 kilogram dan berdaya ledak 15 kilotons.

Selepas diluncurkan, 44 detik kemudian Little Boy meledak dalam radius kehancuran mencapai 1,6 km dan menyebabkan 11 km persegi area kota terbakar hebat. Kurang lebih 20.000 tentara meninggal seketika. Demikian juga 70.000-126.000 rakyat sipil yang kala itu sedang melaksanakan aktivitas harian seperti biasa. Meski sebagian tak langsung meninggal, namun akhirnya menderita efek radiasi yang dampaknya tak kalah mengerikan.

Awalnya Kyoto, Lalu Kokura, Akhirnya ke Nagasaki

Nagasaki memang masuk dalam daftar kota pertama yang akan dibom. Namun, selanjutnya, Nagasaki malah sempat dicoret dalam pemilihan kota kedua karena medannya terlalu berbukit (tak memaksimalkan efek bom).

Setelah itu muncul opsi Yokohama, kota industri yang menampung banyak orang. Namun Yokohama dicoret menjelang akhir Juli. Niigata adalah kota pelabuhan penting, tapi tak masuk kriteria yang diinginkan. Para jenderal kemudian bermufakat, bahwa target selanjutnya adalah Kyoto.

Ibukota lama Jepang itu adalah kota dengan penduduk yang padat yakni mencapai 1 juta lebih. Para penduduknya rata-rata pelarian dari kota lain yang kena imbas perang. Kyoto otomatis jadi kota favorit anggota Komite Target. Sebagaimana Hiroshhima, kota ini juga tak sempat diserang, bahkan tak pernah jadi incaran penyerangan AS.

Infografik Mozaik Tragedi Dua Kota

Persoalannya, Kyoto juga jadi pusat kebudayaan Jepang. Ia rumah bagi 2.000-an lebih kelenteng Buddha dan tempat suci orang Sinto, termasuk 17 situs warisan dunia. Dalam satu versi, sosok yang paling menentang Kyoto sebagai target selanjutnya adalah Sekretaris Perang AS Henry Stimson. Menurut Wellerstein, Kyoto bagi Stimson bukan target militer dan terlalu berharga untuk diluluhlantakkan.

Stimson beberapa kali berkunjung ke Kyoto pada 1920-an saat dirinya menjadi gubernur di Filipina. Oleh sebab itu, ia mengerti bahwa betapa berharganya Kyoto bagi rakyat Jepang untuk memulihkan diri pasca perang, demikian dalam catatan BBC.

Versi kedua, orang yang dianggap berjasa menyelamatkan Kyoto adalah arkeologis dan sejarawan seni asal AS bernama Langdon Warnen. Alasannya serupa: jangan mengebom kota dengan aset kultural. Cerita ini dipercaya banyak orang sebab ada monumen penghargaan untuk Warner di Kyoto dan Kamakura. Meski demikian, cerita ini dianggap Wellerstein sebagai propaganda pasca perang AS -- kampanye untuk memperlihatkan bahwa AS punya sisi mulia saat sedang merancang penghancuran.

Pilihan akhir jatuh ke Kota Kokura. Kota di selatan Jepang ini memiliki salah satu gudang persenjataan terbesar di Jepang, penuh dengan kendaraan militer, persenjataan berat angkatan darat maupun angkatan laut, dan digosipkan juga menyimpan senjata gas beracun. Secara militer, Kokuro adalah target paling ideal.

Pada 9 Agustus 1945, tepat hari ini 73 tahun lalu, misi dibawa oleh Mayor Charles W. Sweeney yang terbang dengan pesawat jenis B-29 Superfortress bernama Bockscar (atau Bock's Car) dan membawa bom atom Fat Man. Sesuai namanya, ukurannya memang lebih besar dibandingkan Little Boy. Panjangnya 3,3 meter, diameternya 1,5 meter, dan beratnya 4.670 kilogram. Isinya bukan uranium, melainkan plutonium seberat 6,4 kilogram dengan daya ledak 21 kilotons.

Tiba-tiba muncul masalah teknis: Bockscar datang terlambat setengah jam dari jadwal, sehingga 70 persen wilayah Kokura terlanjur ditutupi awan dan asap hasil pemboman dari kota Yahata. Kondisi ini tak memungkinkan bagi Sweeney untuk melanjutkan misi. Jika dipaksakan, khawatir bom jatuh jauh dari titik target dan tak mencapai kesuksesan maksimal, demikian dalam catatan Atomic Heritage Foundation.

Usai berputar-putar sebanyak tiga kali di atas Kokuro dan bahan bakar pesawat mulai menipis, tim akhirnya memilih target baru di dekat Kokuro yang sebelumnya telah dicoret dari daftar: Nagasaki. Pasukan Jepang di Nagasaki melihat pewasat Bockscar, namun mereka tak menyalakan peringatan sebab dikira pesawat itu hanya sedang melakukan pengintaian.

Keputusan itu barangkali akan mereka sesali seumur hidup. Sebab pada pukul 11.02, Bockscar menjatuhkan Fat Man dan 43 detik kemudian meledak di atas Kota Nagasaki.

Ledakan maha dahsyat itu menciptakan bola api besar yang suhunya mencapai 3.900 derajat Celcius. Efek ledakan menghasilkan angin yang bertiup hingga 1.000 km/jam, menyapu bangunan rata dengan tanah, dan menyeret nyawa 40.000 penduduk Nagasaki. 40.000 lain mati usai ledakan terjadi, tak lain akibat radiasi yang mengakibatkan paparan leukimia serta penyakit mengerikan lainnya.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 9 Agustus 2017. Kami menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik dengan sedikit penyuntingan.

Baca juga artikel terkait HIROSHIMA NAGASAKI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Humaniora
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Zen RS