tirto.id - Akhir November lalu, Swiss mengadakan referendum. Bukan, penduduk negara ini bukan hendak memisahkan diri maupun keluar dari Uni Eropa. Mereka memutuskan terkait apakah masih bersedia menggunakan tenaga nuklir sebagai pembangkit energi listrik atau tidak lagi.
Energi nuklir menjadi isu hangat lantaran banyak negara yang sebelumnya memanfaatkan nuklir sebagai tenaga penghasil listrik jadi berpikir untuk beralih ke energi alternatif lainnya. Tiga kecelakaan nuklir dunia menjadi penyebabnya: Three Mile Island 1979 di Amerika Serikat, Chernobyl 1985 di Uni Soviet, dan terbaru Fukushima Jepang 2011 kemarin.
Kerusakan dan dampak jangka panjang karena radiasi yang ditimbulkan adalah risiko yang paling dijadikan pertimbangan.
Risiko raksasa ini kemudian menerbitkan kekhawatiran dari negara-negara yang mengembangkan dan menggunakan tenaga nuklir. Ia seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Swiss menjadi salah satu negara yang mempertimbangkan kembali penggunaan nuklir.
Usulan percepatan penutupan dilayangkan Partai Hijau dan Sosial Demokrat yang menjadi oposisi di Swiss sejak 2011. Tetapi referendum itu, seperti dilansir AP, menunjukkan seperti warga menolak percepatan penutupan tenaga nuklir dengan suara 54,2 persen dan yang menyetujui sebesar 45,8 persen. Hanya enam dari 26 negara bagian yang mendukung rencana penutupan nuklir.
Sejak dilayangkannya usulan penutupan memang langsung berhadapan oleh penentang dari kalangan industri dan pemerintah. Swiss, menurut pihak ini, tidak mampu menggantikan pasokan listrik dengan sumber energi terbarukan.
Padahal jika hasil referendum terkait percepatan penutupan tenaga nuklir tersebut disetujui, pemerintah akan menutup pangkalan-pangkalan tenaga nuklir, setidaknya pada 2029. Pemerintah Swiss juga sebenarnya mengadopsi pendekatan gradualis untuk beralih ke energi terbarukan pada 2050 mendatang.
Mereka yang menolak mengatakan pembangkit nuklir harus terus beroperasi selama dianggap aman. Pemerintah juga menyatakan pihaknya masih perlu waktu untuk beralih ke sumber energi alternatif lainnya seperti tenaga angin, matahari, dan energi biomassa.
Bagi yang setuju penutupan, inisiatif tersebut berarti akan membatasi umur reaktor nuklir untuk 45 tahun dan berarti penutupan tahun berikutnya juga terjadi di reaktor Beznau-1, Beznau-2, dan Muehleberg. Reaktor Leibstadt yang berdiri tahun 1984 menjadi penutup di tahun 2029.
Swiss sebenarnya bukan negara yang jumlah pangkalan tenaga nuklir yang tak banyak. Data dari Power Reactor Information System (PRIS) menyebutkan, mereka hanya memiliki lima perusahaan yang memiliki tenaga nuklir untuk pasokan listrik dalam negeri yang terdiri dari Beznau-1, Beznau-2, Goesgen, Leibstadt, dan Muehleberg. Beznau-1 adalah reaktor tenaga nuklir yang pertama beroperasi sejak 1969.
Selama 2015 kemarin, tenaga nuklir untuk pembangkit listrik ini menghasilkan 22100.00 GW.h. Pasokan listrik dari reaktor nuklir ini menyumbang 33,48 persen dari kebutuhan listrik di Swiss. Secara rincian reaktor nuklir Leibstadt dan Goesgen menjadi yang terbesar dalam menghasilkan tenaga listrik, masing-masing 1220MW dan 1010MW.
Di Eropa, penguasaan dan pemanfaatan reaktor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik terbesar dimiliki oleh Perancis. Tak tanggung-tanggung, negara ini memiliki 58 reaktor nuklir dengan total menghasilkan 416800.00 GW.h, menyumbang sebesar 23,66 persen dari kebutuhan listrik di Prancis. SSebanyak 12 reaktor sudah ditutup dan dimatikan dengan masih menambah satu reaktor nuklir lagi yang saat ini masih dalam tahap pengerjaan. Perancis adalah negara nomor dua di dunia yang punya reaktor terbanyak setelah Amerika Serikat yang memiliki 99 reaktor.
Seperti dilansir dari Reuters, sejak bencana reaktor Fukushima Jepang, Jerman telah mengambil tindakan untuk menutup permanen 8 dari 17 reaktor nuklir dan sisanya akan ditutup pada akhir 2022. Swiss sendiri, meskipun referendum percepatan menentukan tak mempercepat penutupan, telah melarang pembangunan reaktor baru, seperti juga Spanyol.
Di Indonesia, belum ada reaktor nuklir sebagai pemenuh kebutuhan tenaga listrik. Kendati demikian, penelitian dan kajian terhadap nuklir memang telah ada sejak tahun 1954. Seperti ditulis dalam sejarah BATAN, kelompok inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BATAN) sekarang. Kala itu mereka ditugaskan untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan adanya jatuhan radioaktif dari uji coba senjata nuklir di lautan Pasifik.
Reaktor nuklir yang dimiliki Indonesia sejauh ini sebatas penggunaan penelitian dan pengaplikasian lainnya yang tidak diperuntukkan untuk skala besar penghasil tenaga listrik. Reaktor pertama yang dimiliki Indonesia adalah Training Research Isotope Production by General Atomic (TRIGA) di Bandung yang diresmikan Presiden Sukarno pada Desember 1965. Selain itu, Reaktor Kartini ada di Yogyakarta pada 1979 dan Reaktor Serba Guna - G.A. Siwabessy di Serpong pada 1987.
TRIGA diresmikan oleh Bung Karno pada Desember 1965 sebagai reaktor nuklir pertama Indonesia. Reaktor ini tidak digunakan sebagai pemasok tenaga listrik. Sesuai dengan namanya reaktor Triga dimanfaatkan untuk meneliti dan mengembangkan penguasaan teknologi isotop pada radioisotop yang berguna pada bidang medis.
Rencana pemanfaatan reaktor nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik terus dijajaki hingga saat ini. Berbagai lokasi rencana tempat pendirian juga telah ditentukan, seperti di Kudus, Gorontalo, Bangka Belitung. Namun, banyak pihak mengkritik dan menolak rencana ini.
Seperti dilansir ABC, pada Juni 2007 ribuan demonstran berunjuk rasa di Jawa Tengah terkait rencana pendirian reaktor nuklir di Kudus. Mereka mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di daerah mereka karena khawatir dengan bahaya yang ditimbulkan dari limbah nuklir.
Para penolak juga khawatir dengan risiko kerusakan yang tinggi karena Indonesia secara umum berada di Cincin Api Pasifik. Apa yang terjadi dengan reaktor Fukushima pasca-gempa bisa terjadi juga di Indonesia.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani