tirto.id - Albert Einstein mungkin tidak pernah menyangka apabila suratnya kepada Presiden Franklin D. Roosevelt akan memicu apa yang kemudian menjadi sebuah tragedi pembantaian massal dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan.
Dalam buku biografi Einstein yang ditulis oleh Walter Isaacson dikisahkan bahwa pada saat itu, Einstein terhenyak ketika mendengar penjelasan dari Leo Szilard mengenai proses dari bagaimana reaksi berantai ledakan dapat dihasilkan pada uranium yang berlapis dengan grafit oleh neutron yang dilepaskan dari fisi nuklir.
Hanya beberapa kata yang ia lontarkan, “Saya tidak pernah berpikir sampai ke sana!” Setelah ia memikirkan kembali teori tersebut selama beberapa menit, ia sadar bahwa implikasi yang ditimbulkan akibat teori tersebut dapat mengubah arah perang besar yang saat itu sedang berlangsung, Perang Dunia II.
Awalnya, Einstein percaya Jerman akan memproduksi bom dari teori itu. Hal yang kemudian menjadi alasan utama baginya – ditambah dengan desakan dari beberapa ilmuwan lainnya – untuk segera mengirim surat yang ia tanda tangani kepada Presiden Roosevelt untuk mendukung riset dari sejumlah fisikawan Amerika terhadap reaksi berantai tersebut. Sebuah inisiatif yang kemudian disebut dengan nama Proyek Manhattan dan dipimpin oleh J. Robert Oppenheimer.
Bertahun-tahun kemudian, seperti dikutip dari The Atlantic, Einstein sangat menyesali hal yang telah ia lakukan. “Jika saya mengetahui Jerman gagal dalam memproduksi bom atom,” sebutnya, “Saya tidak akan mengangkat sejentik pun jemari saya.”
Penyesalan Einstein sangat beralasan. Jutaan nyawa terenggut ketika Amerika Serikat menjatuhkan Bom Atom ke dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Sementara itu, puluhan tahun kemudian nuklir kemudian menjadi simbol teror dan kedigdayaan bagi negara-negara yang memilikinya.
Tidak semuanya buruk memang. Teknologi nuklir kemudian juga dikembangkan untuk pembangkit tenaga listrik pada periode 1950’an hingga 1960’an. Selain mampu memproduksi energi yang luar biasa besar, teknologi nuklir juga digadang-gadang sebagai alternatif yang aman dan bersih jika dibandingkan dengan pembangkit listrik yang lebih konvensional seperti Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara dan yang sejenis.
Akan tetapi hal tersebut bukannya tanpa bahaya. Agar pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dapat bekerja, uranium yang digunakan harus dipanaskan hingga lebih dari titik maksimum, sehingga rentan terhadap meltdown (sebuah titik di mana bahan bakar di reaktor nuklir terlalu panas dan melelehkan inti reaktor tersebut).
Untuk mencegah meltdown, PLTN harus terus dipantau. Sejumlah rencana cadangan harus disiapkan untuk mencegah hal buruk terjadi (fail-safe) guna melindungi orang yang lekat dengan lingkungan kerja di PLTN dari keracunan radiasi.
Seperti dikutip dari laman EBSCOhost, masyarakat dunia menjadi sadar akan bahaya tenaga nuklir pada tanggal 28 Maret 1979, ketika reaktor nuklir Three Mile Island di Pennsylvania, Amerika Serikat, terlalu panas karena rusaknya katup pendingin pada PLTN itu. Meskipun tidak ada yang terluka akibat krisis tersebut, kejadian itu menyedot perhatian publik akan potensi bahaya dari tenaga nuklir.
Bencana PLTN terakhir terjadi pada reaktor Fukushima Daiichi di Jepang yang terjadi karena gempa di Negeri Sakura tersebut tahun 2011 silam. Sebuah bencana nuklir terburuk sejak insiden serupa terjadi di Chernobyl, Ukraina, pada tahun 1986.
Meltdown terjadi, dan sisanya adalah sejarah. Hingga lima tahun berselang, Fukushima masih menjadi kota mati.
Nuklir saat ini
Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menyadarkan dunia bahwa nuklir akan menjadi kunci utama dalam setiap kekuatan militer yang dimiliki oleh negara-negara di dunia.
Meskipun serangan skala besar seperti yang dilakukan oleh AS terhadap Jepang tidak terjadi lagi. Namun, negara-negara di dunia terus mengembangkan teknologi persenjataan nuklir mereka. Tercatat semenjak tahun 1945 hingga tahun 2013, lebih dari 2.000 kali percobaan senjata nuklir telah dilakukan.
Berdasarkan data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), sebanyak 1.032 percobaan dilakukan oleh AS, sementara Russia (Uni Soviet) menjadi negara terbanyak kedua yang melakukan uji coba senjata nuklir.
Baik Rusia maupun AS juga merupakan negara yang paling banyak memiliki persenjataan nuklir. Data dari International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) menunjukkan bahwa kedua negara tersebut masing-masing memiliki 7.500 dan 7.200 senjata nuklir.
Dalam beberapa tahun terakhir, Korea Utara merupakan negara yang paling aktif melakukan uji coba nuklir. Dimulai pada tahun 2006, negara tersebut telah melakukan uji coba sebanyak tiga kali hingga tahun 2013.
Sejumlah pengamat mengatakan, hal itu merupakan upaya negeri komunis tersebut untuk menebalkan pengaruhnya di kawasan Asia Timur. Sebuah langkah ancaman untuk menegaskan keberadaannya pada dunia internasional.
Teror jelas muncul, membuat negara-negara seperti Amerika Serikat dan tetangga dekatnya yang berbeda ideologi, Korea Selatan, terus mewaspadainya.
Instrumen internasional untuk mengakhiri segala bentuk pengujian nuklir sesungguhnya telah dibuat pada tahun 1996. Instrumen tersebut bernama Traktat Pelarangan Uji-Coba Nuklir secara Menyeluruh (CTBT). Sayangnya, hal tersebut belum berlaku.
Seperti dikutip dari laman Indepthnews, meskipun 183 negara telah menandatangani traktat dan 164 lainnya telah meratifikasinya, masih ada delapan negara kunci yang harus meratifikasi traktat tersebut agar dapat berlaku secara formal.
Bisa ditebak, sebagian dari negara-negara tersebut adalah negara yang memiliki persenjataan nuklir, yakni Cina, India, Pakistan, Korea Utara, dan AS.
Tanggal 29 Agustus besok telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai Hari Internasional Melawan Tes Nuklir. Melihat tren bahwa nuklir masih menjadi pegangan negara-negara besar untuk mempertahankan pengaruhnya di dunia, sepertinya hari-hari tanpa ketakutan akan bahaya nuklir masih jauh dari angan.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti