tirto.id - Awan cendawan mengembang di langit Hiroshima pada 6 Agustus 1945, tepat hari ini 76 tahun lalu. Sekitar 90 ribu hingga 120 ribu manusia terpanggang hidup-hidup, 90 persen kota hancur.
Tiga hari kemudian, satu bom lagi dijatuhkan dari langit Nagasaki. Jumlah korban mencapai ratusan ribu nyawa di dua kota. Kaisar Jepang akhirnya menyatakan menyerah pada 15 Agustus. Hirohito, sang kaisar, mengutip keberadaan “sebuah bom baru dan yang paling kejam.”
Bom yang diluncurkan dari pesawat B-29 Enola Gay itu menutup tirai teater Perang Dunia II di Pasifik.
Mei 2016, Presiden Obama menjadi presiden pertama AS yang mengunjungi Hiroshima Peace Memorial. Dia berpidato tentang kemajuan teknologi yang “membutuhkan revolusi moral.” Namun, tidak ada sepatah kata maaf yang keluar dari pidato tersebut.
Mengapa bom atom dijatuhkan? Memaksa Jepang agar menyerah? Pembalasan Amerika Serikat atas serangan Nippon ke Pearl Harbour? Atau gertakan kepada Uni Soviet?
Sampai hari ini opini para sejarawan terbagi dua. Yang pertama menempatkan bom sebagai instrumen untuk memaksa kapitulasi Jepang. Yang kedua menilai bom sebagai alat untuk mencegah invasi Soviet ke Jepang, mengingat beberapa bulan sebelumnya Jepang telah memberi sinyal untuk menyerah.
Dalam analisisnya di Foreign Policy, Sergey Radchenko, profesor Hubungan Internasional di Universitas Cardiff, menyatakan nilai guna bom di Hiroshima dan Nagasaki adalah mencegah pasukan Rusia yang sudah mangkal di perairan Hokkaido beberapa lama sebelum 6 Agustus. Kesimpulan ini didapat Radchenko setelah menelisik dokumen yang telah dideklasifikasikan pada 2015 tentang rencana operasi pendudukan Hokkaido oleh pasukan Soviet ke Jepang.
Presiden AS Harry S. Truman, tulis Radchenko, “percaya bahwa bom telah memenangkan perang melawan Jepang.” Setelah masuk ke dalam arsenal militer AS, bom atom pun memasuki arsenal diplomatik. “Truman tak perlu mengancam Uni Soviet: kepemilikan AS atas bom atom sudah cukup menyiratkan ancaman tersebut.”
Implikasi dari analisis ini adalah pemboman Hiroshima dan Nagasaki sulit dibenarkan secara moral. Ratusan ribu warga Jepang tewas sia-sia bukan untuk memenangkan perang, alih-alih memulai sebuah babak baru konflik berskala global: Perang Dingin.
Dokumen-dokumen tentang pemboman itu pun dirahasiakan secara ketat selama bertahun-tahun. Jurnalis Amy Goodman bahkan mencatat bahwa sejak hari H tragedi tersebut, militer AS melarang pers masuk ground zero. Narasi peristiwa itu harus disetujui oleh militer. Ekspos langsung terhadap korban dan laporan suasana pasca-pemboman yang berbeda dari keterangan resmi, bisa melemahkan posisi moral AS yang baru saja keluar sebagai pemenang perang.
Respons Kultural
Setelah bom di dua kota dan kapitulasi kaisar, Jepang didesak untuk mengerdilkan angkatan perangnya, sampai pada tingkat hanya digunakan sebagai aliansi regional AS dalam Perang Korea yang melibatkan Blok Timur dan Blok Barat.
Namun, trauma bumi hangus bom atom membuat masyarakat Jepang pasifis. Sikap itu ditunjukkan ketika tidak sedikit warga yang menolak proposal Perdana Menteri Shinzo Abe untuk memperluas kapasitas militer Jepang dalam operasi-operasi gabungan regional.
Budaya populer Jepang hingga hari ini merefleksikan trauma tersebut. Yang paling terkenal tentunya adalah serial Godzilla, monster laut yang dikisahkan berasal dari suatu makhluk yang mengalami mutasi genetik akibat bencana nuklir. Film-film animasi yang mengisahkan pengalaman survival pasca-pemboman tetap diproduksi, mulai dari Barefoot Gen (1973) hingga Grave of Fireflies (1988)—keduanya telah jadi klasik—tetap diproduksi.
Di Hollywood, bahaya nuklir ditakuti sekaligus bertabur glamor. Ratusan film fiksi ilmiah memperingatkan ancaman perang nuklir, sekaligus membungkusnya dengan kisah-kisah mutasi genetik yang membuat manusia memiliki kekuatan super. Perang, adegan evakuasi massal, serta kondisi pasca-kiamat nuklir mengisi imajinasi penonton Film-film seperti Mad Max (1979) merupakan pewaris narasi perang nuklir yang marak dalam karya-karya fiksi ilmiah pada 1950-an. Tema nuklir juga bersanding dengan kisah-kisah petualangan di luar angkasa yang mencerminkan kompetisi antara AS dan Uni Soviet di luar angkasa (space race) di tahun-tahun itu.
Karya-karya ini turut membentuk wacana besar tentang bahaya senjata nuklir yang lambat laun diterima ketakutan umum di seluruh dunia, kendati misil jarak jauh antarbenua tetap diproduksi sejumlah negara.
Respons Ilmuwan
Setelah Nagasaki, tak ada lagi senjata nuklir yang digunakan untuk melumpuhkan musuh. Namun seiring bergulirnya Perang Dingin, tak hanya AS dan Uni Soviet yang mengembangkan nuklir sebagai alat gertak. Cina melakukan ujicoba nuklir pada 1964, India menyusul sepuluh tahun setelahnya, Pakistan pada 1988, dan akhirnya Korea Utara sejak 2006. Kepemilikan senjata nuklir seolah menjadi simbol keperkasaan dan norma baru dalam relasi diplomatik.
Pembunuhan massal yang dilakukan dari jarak jauh—alih-alih dengan perang darat—dalam waktu yang cepat dan sangat efektif kian tampak sebagai prospek yang sangat menakutkan. Einstein menyesalkan perannya mendukung para ilmuwan AS agar pemerintah Roosevelt memproduksi bom atom.
Pada 1955, Einstein, Bertrand Russell, dan sejumlah ilmuwan lain menandatangani apa yang kemudian dikenal sebagai Russell-Einstein Manifesto, guna mengampanyekan bahaya nuklir. “Saya membawa mengantarkan peringatan dari para penandatangan manifesto ini agar diperhatikan seluruh pemerintahan yang berkuasa, dengan harapan mereka mengizinkan warganegaranya untuk terus hidup,” tulis Russell dalam mukadimah pernyataan tersebut.
Bertahun-tahun setelahnya, Russell konsisten berpawai bersama para aktivis anti-perang di negara-negara Barat yang memasukkan agenda pelucutan senjata nuklir.
Segera setelah tragedi Hiroshima, para ilmuwan yang terlibat dalam Manhattan Project—yang sukses menghasilkan bom atom—menerbitkan secara rutin Bulletin of the Atomic Scientistspada 1947 dengan tujuan “menelaah perubahan-perubahan mendasar pada tingkat bahaya… di mana manusia hidup dalam abad nuklir.”
Sejak itu dikenal istilah Jam Kiamat (Doomsday Clock), sebuah matrix yang mengukur sudah seberapa dekat (atau jauh) kita dengan ancaman perang nuklir, berdasarkan intensitas konflik bersenjata yang melibatkan negeri-negeri pemegang senjata nuklir di berbagai belahan dunia. Semakin dekat tengah malam (“midnight”), kian bahaya tampak di depan mata.
Ujicoba bom hidrogen AS pada 1953 membuat buletin ini menyatakan tahun itu sebagai dua menit menuju tengah malam. Pada 1991, ketika Perang Dingin usai, jaraknya 17 menit.
Warsa 2017, jarak itu nyaris mendekati tahun 1953: 2,5 menit menuju tengah malam.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 6 Agustus 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Irfan Teguh