tirto.id - Selain di darat, tinggalan sejarah juga banyak terdapat di bawah air. Bentuknya beraneka rupa, dari keramik hingga bangkai kapal.
Sejumlah kapal yang tenggelam, tak hanya rusak karena sentuhan alam, tapi juga karena ulah manusia. Kasus yang marak ditemui adalah pencurian rongsokan besi kapal, terutama yang berasal dari masa Perang Dunia II.
Beberapa tahun lalu, hilangnya rangka kapal Belanda yang tenggelam di Laut Jawa menguar ke permukaan. Hal ini diketahui setelah Karel Doorman Fonds mengirimkan penyelam untuk melihat kondisi terakhir HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter.
Saat seorang penyelam tiba di lokasi tenggelamnya HNMLS De Ruyter, ia tak melihat bangkai kapal itu. Pete Maisle, penyelam itu, hanya melihat cerukan di dasar laut yang menjadi tanda pernah ada jejak kapal. Lokasi tenggelamnya HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter di perairan dekat Pulau Bawean.
Rangka kapal Belanda yang dimaksud adalah kapal-kapal yang terlibat dalam Pertempuran Laut Jawa yang terjadi pada 27 Februari 1942. Pertempuran ini melibatkan Angkatan Laut sekutu dengan Angkatan Laut Jepang.
Hilangnya rangka kapal-kapal itu mendapat perhatian serius dari pemerintah Kerajaan Belanda. Hal itu tidak terlepas dari nilai historis.
"Dalam dunia internasional, semua kapal perang yang karam lazimnya dianggap sebagai 'kuburan perang'. Hal ini tidak didasarkan pada peraturan internasional, tetapi berdasarkan aturan tidak tertulis pergaulan antar bangsa," tulis Dwi Kurnia Sandy, Salma Fitri Kusumastuti, dkk "Permasalahan Bangkai Kapal Perang II di Perairan Indonesia" yang terbit pada Walennae: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan dan Tenggara (Vol. 20, No. 1, 2020).
Demi Sumber Daya Hindia Belanda
Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang pangkalan Amerika Serikat di Pearl Harbour. Serangan itu membuat Amerika Serikat memutuskan terlibat dalam Perang Dunia II, sekaligus menandai dimulainya Perang Pasifik.
Serangan mendadak itu membuat Jepang semakin leluasa bergerak di kawasan Pasifik, termasuk Asia Tenggara. Aksi Jepang memicu reaksi beberapa negara, termasuk Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.
Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan pengumuman yang menyatakan akan melawan tentara kekaisaran Jepang, sehari setelah serangan Jepang ke Pearl Harbour.
"Dengan pengumuman itu, Pemerintah Hindia Belanda telah menyatakan perang terhadap Jepang. Pengumuman itu merupakan pernyataan perang pertama yang dilakukan oleh negara-negara sekutu Amerika Serikat,” tulis Amrin Imran dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 6, Perang dan Revolusi (2012).
Hal itu membuat Jepang juga langsung menyatakan perang kepada Hindia Belanda pada awal Januari 1942.
Sejak 1940, Hindia Belanda memang sudah mendapat perhatian khusus dari Jepang. Hal itu diketahui dari dicantumkannya Hindia Belanda dalam ikhtisar kebijaksanaan nasional dasar Jepang, seperti yang ditulis Amrin Imran (2012).
Perhatian Jepang terhadap Hindia Belanda tak lain adalah beberapa sumber daya alam, termasuk minyak, sehingga harus mereka kuasai.
Kebutuhan minyak semakin diperlukan setelah Amerika Serikat pada pertengahan 1941 memutuskan hubungan ekonomi dengan Jepang.
Pada 11 Januari 1942, Jepang akhirnya dapat merebut beberapa kota penghasil minyak di Hindia Belanda seperti Tarakan, Balikpapan, Samarinda, dan Palembang.
Pecahnya Pertempuran Laut Jawa
Sekutu kemudian menyatukan kekuatan untuk mempertahankan Jawa dari Jepang. Armada laut menjadi tulang punggung dalam upayanya menahan pergerakan Jepang.
Mereka membentuk armada kesatuan pemukul atau stricking force yang dipimpin oleh Laksamana Muda Karel Doorman pada 2 Februari 1942.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI, Zaman Jepang dan Republik (Edisi Pemutakhiran, 2019), ditulis bahwa kesatuan pemukul pertama berada di Surabaya yang terdiri dari dua kapal penjelajah berat, 3 kapal penjelajah ringan, dan 9 kapal perusak.
Armada kedua yang berpusat di Tanjung Priok terdiri dari 1 kapal penjelajah berat, 2 kapal penjelajah ringan, dan 3 kapal perusak. Kapal-kapal itu terdiri dari gabungan kapal milik Angkatan Laut Belanda, Amerika Serikat, dan Australia.
Gabungan armada dari sejumlah negara itu ternyata agak kesulitan untuk menyatukan kekuatan.
Menurut J.C. Bijkerk dalam Selamat Berpisah Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik, Dokumenter Runtuhnya Hindia Belanda (1988), hal itu terjadi karena sejak awal penggabungan armada, mereka tidak banyak punya kesempatan untuk latihan bersama.
Kurangnya latihan bersama juga membuat komunikasi sandi dan sistem hubungan antara mereka kerap mengalami kesulitan.
Sebelum saling bentrok di Laut Jawa, armada Sekutu dan Jepang telah terlibat insiden di Selat Badung pada 19 hingga 20 Februari 1942. Hasilnya, Jepang berhasil memukul armada laut Sekutu dan Bali berhasil mereka kuasai. Laksamana Muda Karel Doorman terlibat dalam pertempuran ini di atas kapal HNMLS De Ruyter.
Setelah itu armada Sekutu kembali ke Surabaya sebelum kembali bergerak pada 25 Februari 1942 karena ada informasi mengenai pergerakan armada Jepang dari Filipina. Namun, armada laut Sekutu tidak menemukan kapal-kapal Jepang yang dimaksud.
Keduanya baru bertemu dua hari kemudian, tepatnya pada 27 Februari 1942 sore hari.
"Diketahui konvoi Jepang dengan 39 hingga 45 kapal angkut yang dikawal 2 atau 3 kapal penjelajah, dan 8 hingga 12 kapal perusak berada pada posisi kurang lebih 20 mil sebelah barat Pulau Bawean, 60 mil sebelah utara Surabaya," tulis Naval History and Heritage Command dalam The Java Sea Campaign (75th anniversary edition) (2017).
Dalam pertempuran ini, armada Sekutu mendapatkan tambahan beberapa kapal dari Tanjung Priok, sehingga ada sekitar 2 kapal penjelajah berat, 3 kapal penjelajah ringan, dan 9 kapal perusak. Dalam pertempuran ini, Jepang didukung bantuan udara.
Sore itu kedua armada berbalas serangan, membuat Laut Jawa di sekitar Pulau Bawean menjadi membara. Sistem komunikasi dan sandi yang berbeda antarkapal sekutu membuat pergerakan mereka menjadi tidak terarah.
Beberapa jam kemudian armada Sekutu terdesak, sejumlah kapal terkena torpedo Jepang, bahkan beberapa di antaranya sudah tenggelam. Dalam kondisi itu, menurut Amrin Imran (2012), Laksamana Muda Karel Doorman memerintahkan kapal yang tersisa untuk bergerak ke selatan menuju Jawa.
Armada Jepang terus membayangi Sekutu. Mereka tak henti menyerang sampai malam hari. Akhirnya, HNLMS De Ruyter yang dikomandoi oleh Laksamana Muda Karel Doorman terkena torpedo kapal Jepang pada tengah malam dan tenggelam beberapa jam kemudian. Karel Doorman bersama awak kapal yang lain ikut tenggelam. Dan pertempuran masih terjadi hingga 1 Maret 1942.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa armada Sekutu sulit menyatukan kekuatan. Menurut J.C. Bijkerk (1988), selain tak ada kesempatan untuk latihan bersama dan berbedanya komunikasi yang digunakan, kelelahan para awak kapal dan kurangnya perlindungan udara terhadap armada ini membuat Sekutu tidak dapat berbuat banyak dalam Pertempuran Laut Jawa.
Kalahnya Sekutu dalam Pertempuran Laut Jawa membuka jalan bagi Jepang untuk mendaratkan pasukannya di Jawa pada awal Maret. Setelah itu, Jepang akhirnya berhasil menguasai Hindia Belanda pada 8 Maret 1942 melalui Perjanjian Kalijati.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi