tirto.id - Sebelum Perang Dunia II, banyak orang Indonesia yang menjadi tentara dan bekerja untuk Belanda. Mereka menjadi tentara Koninklijk Marine (KM) dan Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Para serdadu KM rata-rata lebih berpendidikan dibanding KNIL. Sebagai contoh, seorang pemuda buta huruf bisa dengan mudah mendaftar masuk KNIL.
"[Bahkan] ada juga yang sama sekali belum sekolah,” ujar Soeharto dalam biografinya yang bertajuk Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1991:19). Hal seperti itu tidak berlaku di KM yang menetapkan standar lebih tinggi.
Seperti terdapat dalam buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut Periode Perang Kemerdekaan 1945-1950 (2012:25), pada tahun 1930-an setidaknya terdapat 2.400 orang Indonesia yang berdinas di KM. Orang Indonesia rata-rata tergabung dalam pelayaran niaga atau Koninklijk Packetvaart Maatschappij (KPM) dengan pangkat rendah. Pada tahun-tahun berikutnya, orang Indonesia yang tergabung dengan KPM mencapai 4.800 orang.
Sejumlah orang Indonesia lulusan sekolah calon pelaut di Makassar yang bernama Kweekschool voor Inlandsche Schepelingen (KIS), biasanya akan berpangkat kelasi tiga. Di luar golongan kelasi yang bertugas di dek, ada juga golongan yang bekerja di ruang mesin yang disebut stoker alias juru api dan olieman alias juru minyak. Mereka dilatih di Surabaya. Selain itu, ada juga bedinde atau pelayan.
Jika kelasi dan orang mesin dapat uang kepala 200 gulden--disebut uang kepala karena dianggap menjual kepala dengan mengabdi kepada pemerintah kolonial dan siap untuk mati--maka bedinde hanya dapat pinjaman berupa uang muka sebesar 24 gulden yang harus mereka kembalikan secara dicicil dengan memotong gaji. Meski demikian, risiko mereka sama beratnya. Banyak bedinde yang tewas dalam pertempuran di Laut Jawa.
Menurut Sudono Jusuf dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Laut (1971:7), yang ia kutip dari Regeling van het Korps Inlandsche Schepelingen bij de Koninklijke Marine in Nederlandsch Indie (1937), posisi yang tersedia untuk orang Indonesia antara lain: bootslieden (pelaut), torpedomaker (ahli torpedo), machinist (masinis), timmerman (tukang kayu), monteur (montir), vliegtuigmaker (ahli kapal terbang), bottellier (botelir), ziekenverpleger (perawat), schrijver (juru tulis), muzikant (ahli musik) dan kwartiermeesters stokers (kopral stoker).
Salah satu orang Indonesia yang berdinas di KM adalah Raden Sanjoto. Ia berbekal ijazah sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda, Hollandsch Inlandsch School (HIS). Sanjoto juga belajar di Meer Uitgebrid Lager Onderwijs (MULO)--setara SMP, dan ikut kursus teknik sebelum akhirnya melamar ke KM pada 1939. Ia masuk menjadi matroos alias kelasi, pangkat terendah dalam Angkatan Laut.
Pada tahun 1939, iklan rekrutmen untuk masuk KM banyak disebar, salah satunya di Trompet (nomor 68 tahun ke-6, September 1939), yang berbunyi:
"Bagi pemuda-pemuda yang tinggal di Jawa Tengah atau di Jawa Timur dan yang tamat belajar dengan baik pada HIS gubernemen (pemerintah) atau sekolah yang sama harkatnya dengan itu, diadakan kesempatan untuk masuk dinas sebagai InlandschSchepeling (pelaut pribumi) pada Angkatan Laut Kerajaan."
Di KNIL, ijazah yang dimiliki Sanjoto bisa jadi kopral lalu sersan seperti yang terjadi pada Soeharto. Sementara di KM lebih sulit. Sanjoto dilatih kemiliteran selama 8 bulan. ”Setelah tamat dari pendidikan, saya ditempatkan di kapal opleidingschip (kapal latih) HRMS Soerabaja,” ujar Sanjoto dalam buku Bunga Rampai Perjuangan & Pengorbanan IV (1991:298). Di KM, Sanjoto berkenalan dengan Sersan Tirtaatmadja, Kopral HP Simanjuntak, dan kopral RA Girwo. Waktu masuk KM, usia Sanjoto sekitar 16 tahun.
Selain Sanjoto, ada juga Tjip Boenandir yang masuk KM lebih awal dua tahun sebelum Sanjoto. Boenandir adalah seorang stoker yang kapalnya tenggelam oleh Jepang di Laut Jawa. Tjip Boenandir juga berijazah HIS dan pernah belajar di Ambachtschool bagian pengolahan logam.
Di zaman Tjip Boenandir dan Sanjoto, terdapat pula iklan rekrutmen dengan judul "Saja Orang Marine, Toeroetlah Saja", yang isinya: ”Ada lowongan untuk pemuda-pemuda bumiputra yang berumur 16-19 tahun dan telah tamat dari Schakelschool, HIS atau ELS…”
Sementara pada era sebelum Sanjoto dan Boenandir, lulusan sekolah kelas dua atau Sekolah Ongko Loro yang masa belajarnya lima tahun bisa diterima. Majalah berbahasa melayu pasar De Militair (04/02/1928) dan Pandji Poestaka (24/01/1928) memberitakan bahwa ada seorang anggota KM kelahiran Ambon tahun 1901 bernama Jacob Johannes yang sedang belajar menjadi penerbang Angkatan Laut. Jacob Johannes pada 1927 dan 1928 sebetulnya sudah bisa terbang tapi belum dinyatakan lulus sebagai penerbang.
Jacob Johannes berpendidikan dasar sekolah kelas dua. Pada 1917 saat usianya 16 tahun, dia masuk Kweekschool voor Inlandsch Schepelingen (KIS) Makassar dan setelah tamat menjadi kelasi kelas III. Dalam hitungan tahun, dia akhirnya mencapai pangkat sersan ketika akan belajar terbang. Dua surat kabar itu menyebut Jacob Johannes sebagai orang Indonesia pertama yang dilatih menjadi penerbang di Hindia Belanda.
Ketika Kerajaan Belanda kian terancam oleh militer Jerman dan Jepang, posisi tinggi untuk orang Indonesia pun mulai terbuka. Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) alias Institut Angkatan Laut didirikan di Surabaya. Dalam catatan koran Soerabaijasch Handelsblad (06/08/1940) dan Bataviaasch nieuwsblad (27/07/1940), sejumlah orang Indonesia yang masuk KIM antara lain Raden Mas Hadjiwibowo, Mohamad Sidik Moeljono, dan Raden Djajadiningrat yang dilantik sebagai Adelborst (taruna Angkatan Laut) bagian administrasi. Sementara taruna di bagian mesin ada Mohamad Razak.
Pada angkatan berikutnya, seperti dilaporkan Sumatra Post (07/28/1941), Carl Benjamin Tauran jadi taruna bagian mesin, dan di bagian administrasi ada Maurits Nelwan dan Washington Siahaan.
Selain taruna-taruna tadi, terdapat pula calon perwira cadangan bernama Raden Soebijakto yang dilatih sampai ke Inggris lalu menjadi Letnan Angkatan Laut kelas tiga. Pun demikian dengan Abdul Rachman Atmosudirdjo. Pelaut dari Gouvernment Marine (GM) alias dinas pelayaran sipil ini akhirnya dijadikan Letnan Angkatan Laut Belanda kelas dua. Keduanya bertugas di luar Indonesia saat Indonesia diduduki Jepang. Sejak September 1939, seperti dicatat Sudono Jusuf dalam Sedjarah Angkatan Laut (1971:4), seluruh anggota GM dimiliterisasi ke KM.
Setelah Hindia Belanda tak mampu bertahan pada Maret 1942, beberapa orang Indonesia menjadi tawanan militer Jepang. Tjip Boenandir yang selamat dalam Pertempuran Laut Jawa sempat sebentar jadi tawanan. Sementara taruna Hadjiwibowo dan Mohamad Sidik Moeljono sepanjang pendudukan Jepang jadi tawanan. Dan Sanjoto, setelah tak lagi menjadi tawanan, belajar di Sekolah Pelayaran Tinggi.
Nasib lain sejumlah orang Indonesia yang jadi anggota Angkatan Laut Belanda adalah terangkut sampai Australia dan Srilangka. Mereka di antaranya Kopral Hartojo dan Kopral Bimanto Moekardanoe yang kemudian dilatih menjadi penerbang militer. Begitu juga petugas torpedo Abdul Halim Perdanakusuma yang masuk Angkatan Laut karena wajib militer. Seorang anggota Angkatan Laut lainnya adalah Sukotjo dari Purworejo yang mendapat pelatihan terjun payung dari Sekutu.
Banyak bekas Angkatan Laut Belanda yang kemudian menjadi perwira Angkatan Laut Republik Indonesia, bahkan ada yang menjadi pejabat di badan intel Kementerian Pertahanan Bagian V seperti Abdul Rachman, Soebijakto, dan Nasis Djajadiningrat.
Sebagian lagi masuk ke Angkaran Darat, seperti Washington Siahaan dengan pangkat terakhir Brigadir Jenderal yang berdinas selaku Deputi Kepala Staf Angkatan Darat dari Abdul Haris Nasution. Begitu juga Tjip Boenandir yang menjadi bagian peralatan Angkatan Darat, serta Sanjoto di CPM.
Sementara Halim Perdanakusuma yang pernah bertugas di Front Eropa dan juga Sukotjo kembali ke Indonesia ikut membangun Angkatan Udara Republik Indonesia. Hadjiwibowo yang kemudian dinas lagi di Angkatan Laut Belanda, belakangan menjadi pejabat di PT Unilever.
Di antara bekas Angkatan Laut Belanda yang kemudian punya jabatan penting di ALRI adalah Raden Soebjiakto yang menjadi Kepala Staf Angkatan Laut dari 1948 hingga 1959. Meski demikian, sebagian pihak meragukannya sebagai Angkatan 45 karena ia bersama Washington Siahaan baru keluar dari Angkatan Laut Belanda pada 1 Januari 1947. Hal itu disebabkan karena kabar kemerdekaan Indonesia diterima sangat terlambat, apalagi bagi mereka yang tengah bertugas jauh di luar Jawa dan Sumatra.
Editor: Irfan Teguh