tirto.id - Laksamana Mas Pardi adalah pendiri sekaligus pemimpin pertama Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Republik Indonesia yang merupakan cikal-bakal sejarah Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL). Maka, tidak berlebihan jika gelar Bapak Angkatan Laut RI disematkan kepadanya.
Pembentukan BKR, termasuk untuk divisi laut, diputuskan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945. Sehari kemudian, dikutip dari buku Sejarah TNI Jilid 1: 1945-1949 (2000) terbitan Markas Besar TNI, Presiden Sukarno mengesahkan institusi yang bertugas memelihara keamanan ini.
“Organisasi militer ini [BKR Laut] berdiri dengan disahkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat [KNIP] pada 10 September 1945 dengan pimpinan Mas Pardi,” demikian yang tertulis dalam buku Sejarah Pendidikan Perwira TNI Angkatan Laut 1945-1950 (1982) karya Masfar R. dan kawan-kawan.
Tanggal 10 September 1945 itulah momen diubahnya nama BKR Laut menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Laut, sebelum disebut Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Mas Pardi dianggap sebagai orang meletakkan sendi-sendi ALRI.
Hingga kini, setiap tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Angkatan Laut.
Bapak Ilmu Pelayaran
Mas Pardi menempati jabatan tertinggi sebagai Kepala Staf Umum TKR Laut sejak November 1946 hingga Februari 1946. Dalam waktu yang relatif singkat itu, sosok kelahiran Ambarawa tanggal 1 Oktober 1901 ini dianggap berhasil meletakkan sendi-sendi keilmuan dan teknik pelayaran untuk para personil ALRI kala itu.
Berkat jasanya tersebut, Laksmana Mas Pardi kerap disebut sebagai Bapak Ilmu Pelayaran Indonesia. Namun, namanya seringkali dibanding-bandingkan dengan Amanna Gappa yang hidup pada masa peralihan abad ke-17 dan 18 Masehi.
Christian Pelras dalam Manusia Bugis (2006) mengungkapkan, Amanna Gappa adalah kepala komunitas Wajo di Makassar, Sulawesi Selatan, antara tahun 1697 hingga 1723. Ahli pelayaran Bugis inilah yang menyusun kitab pelayaran niaga.
Kitab ini mengatur tentang berbagai hal tentang pelayaran, termasuk soal tarif muatan antar pulau-pulau di Nusantara serta tentu saja paparan mengenai tugas juru mudi dan juru batu, syarat kapten kapal, pembagian untung antara awak dan kapten kapal, bahkan juga terkait utang-piutang.
Lantas, siapakah yang pantas menyandang gelar Bapak Ilmu Pelayaran Indonesia? Pastinya, baik Amanna Gappa maupun Mas Pardi sama-sama layak, hanya berbeda zaman saja.
Untuk Mas Pardi, setidaknya dirinyalah yang menanamkan pengetahuan dasar dan berbagai teknik pelayaran di era yang lebih modern atau ketika Indonesia sudah berdiri menjadi negara sendiri. Terlebih, Mas Pardi adalah perintis Angkatan Laut Indonesia yang cakupannya lebih luas.
Laksamana Mas Pardi berjasa besar dalam menanamkan pendidikan kelautan Indonesia di era modern. Tak hanya merintis BKR Laut atau yang kemudian menjadi ALRI, ia juga pendiri Sekolah Pelayaran di Semarang, Akademi Ilmu Pelayaran di Jakarta, serta Akademi Angkatan Laut Indonesia.
Selain itu, Mas Pardi juga menyusun beberapa buku tentang lmu pelayaran, di antaranya berjudul Kuasailah Lautan Indonesia (1951), Peladjaran Ilmu Pasang (1963), Almanak Nautika (1965), dan lainnya.
Jejak Sejarah Mas Pardi
Menurut catatan J. P. Nieborg dalam Indie en de Zee: De Opleiding tot Zeeman in Nederlands-Indie 1743-1962 (1989), Mas Pardi sudah akrab dengan sektor kelautan sejak zaman kolonial. Ia termasuk perwira kapal di armada laut Hindia Belanda.
Kepingan jejak riwayat Mas Pardi dicatat Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon (2005). Di Fommelhaut, kapal milik Belanda, yang sering berlayar di sekitar Indonesia bagian timur, termasuk ke Boven Digoel (Papua), ada seorang mualim atau perwira kapal kelas satu bernama Mas Pardi.
“Usianya lebih tua daripada nakhoda Kapal Formalhout,” tulis Des Alwi.
“Karena M. Pardi seorang inlander [pribumi],” lanjutnya, “maka ia tidak memiliki peluang untuk menjadi nakhoda kapal tersebut.”
Fommelhaut pernah membawa Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta dari Boven Digoel ke Banda Neira pada Februari 1936 saat keduanya menjalani hukuman. Ketika Fommelhaut berlabuh di Banda Neira, terdengar perintah kapten kapal kepada anak buahnya untuk mengangkut barang-barang milik Sjahrir dan Hatta.
Namun, seorang kontrolir (pengawas) yang orang Belanda menyela perintah itu. “Apa?! Biarlah orang-orang Merah itu mengangkat barang mereka!”
Pada saat itulah Mas Pardi ikut bicara. “Biarlah saya perintahkan kepada matros [kelasi] saya untuk mengangkat barang-barang itu,” ucapnya, dikutip dari Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat (1990) karya Solichin Salam.
De Indische Courant edisi 18 Mei 1936) memuat warta bahwa Mas Pardi sempat berdinas di kapal pemerintah kolonial sebagai mualim kelas satu di bawah pimpinan nahkoda yang bernama C. de Neef. Mualim kelas dua di kapal itu adalah J.P.J de Groot, seorang Belanda yang juga seperti kapten.
Ensiklopedia Umum (1993) terbitan Kanisius menyebut Mas Pardi sebagai “satu-satunya anak Bumiputera yang memperoleh kesempatan naik agak tinggi pada tangga kepegawaian bidang maritim. Menjelang runtuhnya Hindia Belanda, ia ditempatkan di Kantor Pusat Dienst van Scheepvaart [Dinas Perkapalan].”
Selama masa pendudukan Jepang sejak 1942, Mas Pardi tetap berkiprah di ranah kelautan hingga Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945.
Kemerdekaan RI disambut Mas Pardi dengan menggalang para pelaut, baik yang pernah berdinas di Koninklijk Marine (Angkatan Laut Belanda) maupun mantan didikan Jepang atau bekas Kaigun Heiho (Pembantu Militer Angkatan Laut Jepang).
Mas Pardi menghimpun para pelaut itu untuk membentuk BKR Laut atau yang kemudian menjadi TNI Angkatan Laut.
Laksamana Mas Pardi wafat pada 13 Agustus 1968, dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang. Atas jasa besar serta perjuangannya, Pemerintah RI memberinya penghargaan Bintang Gerilya dan Piagam Tanda Jasa Pahlawan.
Editor: Iswara N Raditya