tirto.id - Mei 1940, Belanda disikat Divisi Panser Jerman. Di Hindia Belanda, Angkatan Laut Belanda (KM) dan KNIL bersiap. Jumlah personel dari orang-orang bumiputra ditingkatkan. Armada Laut Jepang bergerak cepat ke Asia Tenggara. KM memasang iklan bertuliskan "Saja orang Marine toeroetlah saja".
Sebelum 1942, Angkatan Laut Belanda menerapkan aturan ketat: semua calon personel minimal harus lulusan sekolah dasar tujuh tahun. Namun pada 1942, karena terdesak, aturan itu dihilangkan. Jelang Maret 1942, pelbagai pertempuran banyak dimenangkan Jepang, termasuk Pertempuran Laut Jawa.
PK Ojong dalam Perang Pasifik (2009:15) menyebut kapal perang Belanda HrMs De Ruyter—Laksamana Karel Doorman di dalamnya—HrMs Java, dan HrMs Kortenaer, pada 27 Februari 1942 ditenggelamkan Armada Laut Jepang. Sementara Jepang tak kehilangan satu kapal pun.
Di antara para korban dalam Pertempuran Laut Jawa, terdapat orang-orang Indonesia. Buku Gedenkrol van de Koninklijke Marine 1939-1962 (102-190) menyantumkan nama-nama tersebut. 25 orang meninggal dalam kapal perang Kortenaer dan 119 orang dalam kapal perang Java. Kebanyakan dari yang tewas itu adalah kelasi, bedinde, juru api, dan juru minyak. Sementara di kapal perang De Ruyter terdapat 73 orang Indonesia yang gugur, 23 di antaranya pesuruh dan sisanya kelasi dek dan juru mesin.
Sementara dalam kapal Prins van Oranje yang tenggelam, terdapat 42 orang Indonesia yang tewas. Kapal perang yang dipimpin AC Varsendaal itu hendak kabur dari sergapan kapal perang Jepang yang berada di sekitar Tarakan. Namun pada 11 Januari 1942 kapal itu ditemukan kapal perusak Yamakaze di perairan Sulawesi dan akhirnya diserang.
Kapal lainnya adalah Hr.Ms. van Nes yang tenggelam pada 17 Februari 1942 di lepas Pulau Bangka. Serangan kapal perang Jepang Ryujo ini di antaranya menewaskan 21 orang Indonesia. Daftar orang Indonesia yang menjadi korban dalam pertempuran itu terdapat juga dalam kapal selam Belanda Hr.Ms. K-16 yang hilang pada 25 Desember 1941 di barat laut Kuching. Dalam kapal selam yang tengah melakukan perjalanan ke Surabaya ini terdapat 9 personel orang Indonesia.
Kapal selam Belanda lainnya yang hilang adalah K-17. Kapal ini berangkat ke Singapura pada 24 Desember 1941, di dalamnya antara lain terdapat 7 personel orang Indonesia. Lalu dalam kapal selam Belanda K-7 yang ditorpedo Jepang pada 18 Februari 1942 terdapat 5 personel orang Indonesia. Dan dalam kapal selam O-16 yang nahas pada 15 Desember 1941 terdapat 6 personel orang Indonesia.
Meski banyak orang Indonesia yang menjadi korban dalam keganasan pertempuran itu, tetapi ada pula yang selamat. Mereka di antaranya adalah 23 personel kapal De Ruyter yang tenggelam, termasuk Tjip Boenandir yang bertugas sebagai juru minyak. Kabar keselamatannya muncul di koran Soerabaijasch Handelsblad (06/04/1942). Mereka kebanyakan para bedinde (pesuruh) dan kelasi yang kemudian dibawa Jepang ke Surabaya.
Selain itu, hasil dari pengejaran dan penyegatan terhadap Kapal Cisaroea yang hendak ke Australia dari Cilacap, Angkatan Laut Jepang mendapat banyak tawanan. Kapal itu disergap di dekat Bali lalu digiring ke Makassar. Dari sekian banyak tawanan Jepang, terdapat orang Indonesia yang bernama Raden Sanjoto, awak kapal selam K-18, yang saat itu usianya belum genap 19 tahun. Selain dia, ada pula Raden Hadjiwibowo dan Sidik Moeljono, taruna Institut Angkatan Laut Surabaya, keduanya jadi tawanan hingga 1945. Dan Sanjoto dibebaskan tidak lama setelahnya.
Pada 17 November 1943, 44 Marine Belanda yang ditawan Jepang ikut tewas di kapal Jepang Ryukyu Maru. Sementara dalam tenggelamnya kapal Jepang Junyo Maru pada 18 September 1944, 9 orang Indonesia yang ditawan jadi korban. Kedua kapal Jepang itu kemungkinan ditenggelamkan pasukan Sekutu.
Selain meninggal di laut, orang-orang Indonesia yang jadi personel Angkatan Laut Belanda juga banyak yang mati di darat, entah karena sakit, kecelakaan, atau dibunuh oleh tentara Jepang. Salah satu contohnya adalah mereka yang disusupkan dari Australia dengan kapal selam lewat selatan Jawa Timur untuk kegiatan spionase. Mereka semuanya ditangkap Jepang dan mayoritas dibawa ke Jakarta untuk dibunuh.
Editor: Irfan Teguh Pribadi