tirto.id - Tahun lalu, Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Belanda mengadakan peringatan 75 tahun pertempuran Laut Jawa. Yayasan Karel Doorman dari Belanda meminta izin kepada otoritas Indonesia untuk menengok bangkai kapal perang mereka yang karam di perairan Indonesia setahun sebelum peringatan digelar. Namun, karena izin survei tak kunjung diberikan, Yayasan tetap nekat melakukannya lewat bantuan pihak swasta, November 2016.
Tugas penyelam mengamati kondisi dua kapal perang Belanda, HNLMS Java dan HNLMS De Ruyter, yang karam tahun 1942 di dekat Pulau Bawean.
Kedalaman laut di daerah ini lebih dari 70 meter. Semakin dalam semakin buram, dan jarak pandang kian pendek. Untuk mengetahui keadaan kapal, para penyelam harus turun ke dasar laut. Namun, penyelam mendapati bangkai kapal yang dicarinya itu raib. Salah seorang penyelam, Pete Maisley, tertegun tak percaya.
Muncul pertanyaan dalam benaknya: Apakah ia benar-benar sudah berada di titik koordinat yang tepat?
Ketika dasar laut terlihat, Maisley sadar ia tak terbawa arus bawah laut. Ia juga yakin berada di lokasi yang benar. Tapi ia masih sulit percaya bahwa bangkai dua kapal itu benar-benar telah lenyap.
Semestinya ia bisa melihat sebuah kapal perang penjelajah De Ruyter seberat 6.650 ton, lengkap dengan turet menara setinggi 20 meter, dan geladak yang dapat dijadikan landasan mini buat menerbangkan dua pesawat amfibi.
Maisley hanya melihat cerukan di dasar laut, menandakan bahwa dulu di sana pernah ada bangkai kapal raksasa.
“Tidak ada kerangka yang tersisa,” katanya seraya menarik napas.
Adegan ini tergambar dalam dokumenter “Slag in de Javazee” ("Pertempuran di Laut Jawa").
Pada saat kapal komersial seringkali dirancang seringan mungkin, kapal perang dibangun dengan susah payah: armor yang tebal dan meriam berukuran besar, yang diongkosi negara. Ketangguhan badan kapal lebih penting ketimbang hidrodinamika.
Dalam beberapa kasus, arus bawah laut sering kali menyeret puing-puing kapal karam. Tapi ini adalah kapal perang. Dengan kualitas baja kelas wahid melilit seluruh lambung kapal, sulit membayangkan bangkai kapal sebesar itu bergeser demikian jauh.
Arus bawah laut memang tak bisa memindahkannya, tetapi teknologi bisa.
Semula Tudingan Mengarah ke Penyelam Madura
Saat kasus ini mencuat, dugaan penjarah mengarah ke orang Madura. Maklum, stigma pengusaha besi loak melekat pada mereka. Pertanyaannya: dengan cara apa orang Madura bisa menjarah kapal-kapal perang, dan tanpa meninggalkan jejak?
Mari kita bayangkan: Kapal De Ruyter dan Java masing-masing sepanjang 171 meter dan 155 meter. Lebar keduanya 16 meter. Dengan dimensi serumit dan sekompleks itu hanya penyelam berkekuatan super mampu melakukannya.
Basrawi, yang “sudah belasan tahun” berpengalaman merayah bangkai kapal, mengatakan mustahil penyelam tradisional melenyapkan bobot kapal segede itu di dasar laut.
Ia tersengat ketika dituding menjarah kapal perang Belanda. “Hei, seenaknya saja Anda main tuduh-tuduh," ujarnya ketus saat saya menjumpainya di Bangkalan, awal November 2017.
Pembelaan Basrawi masuk akal. Memang apa yang bisa diharapkan dari gergaji, kikir, dan selang kompresor? Dengan alat tradisional ini mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk melenyapkan dua kapal Belanda.
Lagi pula, kata Basrawi, De Ruyter dan Java ada di kedalaman yang “sulit dijangkau” penyelam lokal. Kemampuan para penyelam paling banter sedalam 30-40 meter, sementara kapal Belanda karam pada kedalaman 60 meter.
“Kalau 40 meter itu sudah nekat, apalagi 60 meter. Menyelam 40 meter itu pun megap-megap, enggak bisa lama di dalam air. Harus segera naik,” ucap Basrawi, yang biasa beroperasi di sekitar perairan Madura dan Gresik, Jawa Timur.
Semakin dalam, air semakin dingin. Tanpa pakaian khusus, penyelam sering terserang keram parah menusuk tulang. “Kalau sudah begitu, ya, wassalam. Banyak yang mati gara-gara ini," ujarnya, menyeringai.
Tapi bagi mereka, alasan mistik lebih bikin gentar ketimbang perhitungan ilmiah. Ada semacam aturan tak tertulis untuk tak mengutil bangkai kapal lawas. Semakin usia kapal itu tua, bagi mereka, semakin banyak dedemitnya. “Apalagi kapal perang,” tambah Basrawi.
“Tapi, ya, tetap saja ada yang nekat. Tapi tak banyak,” katanya, lagi.
Dugaan Pelaku: Tongkang Bercakar Pioner 88
Basrawi berkata ia tahu siapa pelaku penjarahan dua kapal Belanda tersebut. Ia mau bicara blakblakan karena lahan pencahariannya mulai tergerus. Dari pengakuan Basrawi, terungkaplah ternyata tidak butuh kesaktian atau keajaiban untuk menjarah kapal perang raksasa. Yang dibutuhkan hanya satu: kecanggihan teknologi.
Saat hilir mudik di perairan Laut Jawa, seringkali ia melihat tongkang yang berhari-hari melempar jangkar di atas bangkai kapal. Di atas tongkang itu terdapat mesin crawler crane berukuran besar. Tongkang jenis ini lazim disebut tongkang bercakar atau grab dredger.
Basrawi berkata nama tongkang tersebut: Pioner 88.
Kementerian Perhubungan mendata Pioner 88 dimiliki oleh PT Jatim Perkasa. Dalam situs resminya, PT Jatim Perkasa mendaku sebagai perusahaan yang ahli dalam bidang salvage (kegiatan bawah air).
“Kami memiliki barge crane yang sanggup bekerja cepat dan mampu mengangkat kerangka pada kedalaman kurang lebih 200 meter dengan daya angkat ± 500 ton,” tulis profil perusahaan.
Dari sumber informasi di lapangan, Pioner 88 sering bersandar di Pelabuhan Brondong, Lamongan, saat muatan kapal sudah penuh.
“Yang paling menarik adalah lokasi yang kami temukan dekat Surabaya,” ujar Kick Stokvis, videomaker dari Belanda yang terlibat dalam penyelidikan kasus penjarahan kapal perang pada 2016.
PT Jatim Perkasa menyebut pembongkaran dan penumpukan kerangka kapal memang terpusat di Brondong. Data pencitraan dari Google Earth membuktikan itu. Perusahaan ini beroperasi sejak pertengahan 2014 hingga 2017.
Bulan November 2017, saya menyambangi lokasi ini, mencari bukti-bukti keberadaan kerangka kapal perang Belanda. Selaras pencitraan Google Earth, saat datang ke Brondong, PT Jatim Perkasa sudah tak lagi beroperasi di sana.
(Data Pencitraan Google Earth di Pelabuhan Brondong)
Cara Kerja Pioner 88
PT Jatim Perkasa adalah bagian dari gelombang disrupsi bisnis bawah air di Jawa timur. Sejak beroperasi pada awal 2014, ia telah menggerus dua lini usaha konvensional: perusahaan salvage skala kecil dan penjarah besi tua asal Madura.
“Pakai tumbuk. Kapal di dasar laut hancur, dan diangkat pakai crane. Ditaruh ke tongkang,” kata Kaliman, pengusaha salvage skala kecil di Surabaya, saat ditemui di Pulo Gadung, Jakarta Timur, akhir tahun lalu.
Kariman berkata soal metode lazim yang ia pakai: mengapungkan bangkai kapal dengan balon atau memotongnya di bawah air, lalu mengangkatnya secara perlahan dengan crane.
“Biayanya tidak terlalu mahal, tetapi lama,” katanya.
Sekarang, katanya, pengusaha seperti dirinya tinggal “belasan”. Data Kementerian Perhubungan menyebut ada 263 perusahaan salvage yang terdaftar di institusi tersebut.
“Banyak cuma PT, tapi operasi tidak,” kata Kaliman.
Karno, bukan nama sebenarnya, yang bekerja di PT Jatim Perkasa sebagai pemotong bangkai kapal, mengatakan kepada reporter Tirto bahwa ia pernah berbincang dengan seorang ABK Pioner 88. Si anak buah kapal itu menceritakan bagaimana Pioner 88 bekerja.
“Setelah koordinat didapatkan dan lokasi ditemukan, Pioner memakai sonar. Jadi tidak ada yang menyelam ke dasar laut,” ujarnya.
“Itu sebabnya kapal ini bisa angkat bangkai kapal dengan kedalaman hingga ratusan meter,” ucapnya, lagi.
Cara kerjanya: mesin crawler crane Pioner 88 menggerakkan bandul pada ujung kawat baja yang berbentuk lancip seperti cakar kucing. Cakar dengan enam ruas capit ini bisa meremukkan konstruksi kapal. Cakar bisa diatur merenggang dan mengapit seperti mesin boneka di taman hiburan.
Bandul itu dikatrol lewat kawat baja yang terhubung mesin crane di geladak kapal. Saat tongkang sudah tepat di atas titik koordinat bangkai kapal, bandul yang beratnya mencapai 50 ton itu dilesatkan ke dasar laut, seketika menumbuk dan meremukkan kapal karam. Proses ini diulangi terus-menerus hingga bentuk kapal jadi serpihan-serpihan, dan setelahnya barulah diambil secara perlahan dengan cara mencapit ke atas tongkang.
(Tongkang bercakar Pioner 88. © PT Jatim Perkasa)
Kaliman berkata teknologi ini relatif baru di Indonesia. Karena itu perusahaan salvage membayar mahal untuk menyewa kapal tongkang bercakar. “Biaya sekali beroperasi bisa milyaran,” katanya.
Pada 19 November lalu, saya mengunjungi pelabuhan Klotok, Gresik. Di dekat dermaga teronggok tiga perahu yang biasa dipakai para pengutil untuk memereteli bangkai kapal di sekitar Laut Jawa. Namun, sejak 2016, perahu ini tak pernah dipakai.
“Mau ambil apa? Bangkai kapal-kapal sudah habis,” keluh Zainal, warga setempat.
Sesekali pengutil ini menguntit Pioner 88 dan memantaunya dari kejauhan. Mereka akan memunguti remah-remah besi dan baja dari aktivitas Pioner 88.
Ada kalanya penyelam tradisional di sekitar Klotok dimanfaatkan PT Jatim Perkasa. Saeful, bukan nama sebenarnya, sekali waktu mengumpulkan koordinat bangkai kapal dari nelayan. Koordinat ini bertebaran, dari perairan Lamongan, Bawean, Banyuwangi, sampai Jawa Tengah.
Ia berkata koordinat itu diserahkan kepada Haji Mashudi. “Ada sekitar 17 titik,” katanya.
Di Gresik, Haji Mashudi cukup populer sebagai pengusaha besi bekas. Saat dihubungi reporter Tirto, 11 Januari lalu, ia membenarkan bahwa ia memberikan koordinat kepada PT Jatim Perkasa.
“Kebetulan saya punya banyak kenalan nelayan yang ngasih koordinat bangkai kapal. Jadi mereka ngasih informasi ke saya. Daripada ganggu jaring nelayan, ya, saya ambil,” tuturnya.
Mashudi menyebut di antara koordinat kapal karam yang dia berikan ke PT Jatim Perkasa adalah “kapal perang”.
“Kapal perang di antara Lamongan dan Bawean,” tambah dia.
Penemuan Bom di Pelabuhan Brondong
Pada 7 November 2014, ditemukan amunisi dan bom berskala besar di area operasi PT Jatim Perkasa di Pelabuhan Brondong. Butuh lebih dari lima orang dewasa memindahkan bom berdaya ledak besar tersebut. Temuan puluhan mortir ini kemudian dibawa oleh personel Koramil setempat lalu diledakkan tim Gegana dari Polda Jatim di hutan Sedayulawas pada esok hari.
Pada 23 Juli 2015, ledakan kembali terdengar di Brondong. Seorang pekerja bernama Imron terluka. Sebagian tangan dan punggungnya melepuh. Satu media televisi lokal mengabarkan pemicu ledakan bermula ketika Imron hendak memotong besi dan membakar sampah, lalu tabung oksigen di sekitarnya bocor dan meledak. Tapi bukan itu yang sesungguhnya terjadi.
Pertengahan November tahun lalu, saya menjumpai dua orang berpengaruh di Desa Sedayulawas: Haji Muslihan dan Haji Abdul Ghoni. Kedua orang ini dipercaya PT Jatim Perkasa sebagai bos lokal. Mereka punya peran sama, yakni mencari pekerja lokal sebagai tenaga operasional untuk memotong besi dari serpihan-serpihan bangkai kapal yang diangkut PT Jatim Perkasa.
Di bagian pemotongan besi ada sekitar 50 pekerja termasuk satpam dan kuli angkut. Kerja mereka diawasi empat orang warga negara asing dari Cina. Sementara pekerja untuk kapal keruk Pioner 88 ada 15 ABK: lima WNI dan 10 WNA dari Cina.
Sistem kerjanya: setelah besi bangkai kapal diangkat Pioner 88 dari dasar laut, besi itu lalu dicacah lebih kecil agar muat dinaikkan ke truk. Imron adalah salah satu pekerja yang memotong besi-besi itu.
Kepada saya, Haji Muslihan membenarkan ia sering menemukan bom di Brondong. “Seringkali kami dapati peluru besar-besar dan itu pernah meletus. Ada orang yang sempat luka, si Imron itu anak buah saya. Dia bakar-bakar sampah, dan di bawahnya ada bom,” katanya.
Pengakuan sama diungkapkan Susanto—bukan nama sebenarnya. Pria asal Semarang ini telah bekerja kurang lebih tiga tahun di PT Jatim Perkasa sebagai pemotong besi. Menurutnya, apa yang menimpa Imron bukan oleh bom tapi rudal. “Mesiu (dalam rudal) bereaksi kena api, lalu melesat dan membentur kontainer. Untungnya tidak meledak,” katanya.
Penemuan bom di pelabuhan Brondong “bukan hal aneh,” kata Susanto. Dua puluh satu bom yang dibawa Koramil dan diledakkan di hutan, katanya, ”tidak ada apa-apanya” dibandingkan penemuan lain. Kata Susanto, sebetulnya masih ada lagi bom yang diameternya "sebesar botol galon air minum".
“Jumlahnya ada puluhan. Namun ini tidak terekspos ke media. Saat Pioner 88 itu bersandar dan membawa barang dari laut, pasti pulang bawa bom,” ujarnya.
Pengakuan sama dikatakan Andi, rekan kerja Susanto sebagai pemotong besi, “Jenis bom mungkin banyak di sana, setiap kali korek pasti ada bom. Amunisi peluru juga banyak.”
Alih-alih melapor otoritas keamanan setempat, kerap kali perusahaan memilih membuang bom tersebut. Bom biasanya dikubur dulu, lalu dibawa oleh Pioner 88 ke tengah laut selagi kapal bercakar ini hendak beroperasi lagi.
“Tapi si pemilik perusahaan, orang Cina ini, tidak mau bilang ke Koramil karena takut akan keluar uang lagi,” kelakar Andi.
Klaim ini sejalan pengakuan Haji Abdul Ghoni: “Kalau ada peluru dan rudal oleh saya disisihkan lalu minta pekerja untuk membuang material itu ke laut. Daripada buat masalah.”
Jadi, mustahil jika peledak ini didapatkan dari kapal komersial. Haji Abdul Ghoni memberikan pengakuan: “Kebetulan, kapal yang diangkat itu macam-macam: ada yang kargo, ada juga yang kapal perang. Nah, kapal perang itu terangkat dan masih ada amunisinya.”
Pernyataan ini seiris ucapan Haji Muslihan, “Material yang diambil memang besi-besi tebal. Kadang bekas kapal dagang, kadang pula kapal perang.”
Namun, Chris Wanda, salah seorang petinggi PT Jatim Perkasa, membantah perusahaan mengambil bangkai kapal perang. Lagi pula, katanya, saat Pioner 88 beroperasi diawasi Kementerian Perhubungan setempat.
“PT punya izin lengkap. Semua pengawasan jelas, semua berita acara jelas,” ujar Chris. “Kita enggak mungkin kerja tanpa survei dan izin.”
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam