tirto.id - “Kalau dibuat persentase selama saya bekerja di sana, hampir 60 persen yang saya potong itu dari kapal perang, 40 persen sisanya dari kapal lain seperti kapal tongkang, kapal motor, atau kapal barang.”
Kalimat itu meluncur dari mulut Karno, bukan nama sebenarnya, seorang pekerja pemotongan besi untuk PT Jatim Perkasa, perusahaan salvage yang memakai tongkang bercakar Pioner 88. Karno bekerja di area pengepulan besi PT Jatim Perkasa sejak perusahaan ini beroperasi pertengahan 2014 hingga angkat kaki dari Pelabuhan Brondong pada Agustus 2017.
Saat ditanya seberapa yakin dengan ucapannya sendiri, Karno menjawab: “Betul, sekitar segitu.”
“Rata-rata kapal perang. Bisa terasa dari ketebalan materialnya. Kapal lain jarang. Seringnya yang tebal,” ujarnya, 13 November 2017.
“Saya bisa deteksi yang mana kapal perang mana kapal biasa. Selain ketebalan, bisa dicek juga dari patek. Kapal perang zaman dahulu itu tidak memakai las, tapi menempelnya pakai klep,” tambah Karno.
Analisis Karno dibenarkan Susanto, juga bekerja sebagai pemotong besi di PT Jatim Perkasa. Ditemui di tempat terpisah, ia berkata, “Saya pikir, yang seperti ini pasti kapal produksi zaman dululah, tidak mungkin kapal zaman sekarang.”
“Saya sebetulnya enggak tahu itu kapal perang karena saat datang kapal sudah hancur, remuk, dan enggak bisa terlihat. Namun, karena di dalamnya ada mesiu, bom, terutama meriam, kita sudah bisa tebak itu kapal perang,” kata Susanto.
“Atasan kami—WNA dari Cina—sering bilang supaya kerja hati-hati karena ini kapal perang. Saya pun sering lihat tulisan bertanda militer,” ucapnya.
Pengakuan dan analisis mereka itu kami konfrontir dengan para ahli. Pengakuan soal betapa empuknya memotong baja lawas yang lama terbenam di dasar laut itu dibenarkan secara ilmiah oleh Zulfandi Zulham, ahli metalurgi dari Institut Teknologi Bandung.
“Baja di kapal dahulu mudah dipotong karena tingkat sulfur, fosfor, dan nitrogen juga tinggi,” katanya kepada Tirto.
Baja zaman dulu, terang Zulfandi, dibuat dengan cara mengembuskan udara lewat teknik Bassemer atau Thomas atau Siemens Martin. “Baja saat ini diembuskan oksigen menggunakan teknologi LD Converter atau BOF (Basic Oxygen Furnace),” paparnya.
Soal struktur badan kapal lawas, Wasis Dwi Aryawan, dosen teknik perkapalan dari ITS Surabaya, berkata: “Memang tidak dilas”.
“Tapi menggunakan sistem keling atau rivet,” tambahnya. “Kalau anda lihat badan pesawat atau jembatan, ada seperti baut — itulah rivet.”
Harry Benford, profesor ahli konstruksi perkapalan di Universitas Michigan, dalam makalah “In Tribute to Riveted Ships” (2009), menyebut penggunaan las pada badan kapal mulai marak dipakai sejak awal 1940-an. Alasannya proses pengerjaan dengan teknik mengelas jauh lebih cepat. Di tengah kecamuk Perang Dunia II, kebutuhan kapal kian mendesak sehingga teknik mengelas mulai dipakai dan menjadi populer. Ia menyimpulkan kapal yang memakai rivet biasa dibikin sebelum Perang Dunia II.
Untuk mendukung hipotesis bahwa di antara kapal-kapal yang dijarah adalah kapal perang, kami mengumpulkan puluhan material visual berupa foto maupun video seputar aktivitas di area pengepulan besi PT Jatim Perkasa.
Serpihan-Serpihan yang Menguatkan Dugaan Kapal Perang Belanda
Soal dugaan kapal perang Belanda, Susanto mengutarakan ia pernah melihat huruf "KN" seukuran sekitar 1 meter yang tercetak di pelat kuningan. “Kejadiannya sekitar 2015,” katanya.
(HNLMS Kortenaer)
Diduga pelat kuningan berinisial 'KN' berasal dari HNLMS Kortenaer, kapal jenis perusak yang dibikin oleh pabrik di Rotterdam. Belanda punya delapan kapal dengan tipe sama. Guna membedakan, dibuatlah kode: Piet Hein jadi 'PH', Evertsen jadi 'EV', atau Kortenaer jadi 'KN'.
Susanto juga berkata ia menduga pelat 'KN' yang dilihatnya berasal dari haluan kapal.
(Pantat pada selongsong peluru dengan label 'RA 41')
Ia juga menunjukkan satu butir peluru yang masih ia simpan. Pantat selongsong tercantum label RA 41— kepanjangan Remington 41. Remington adalah perusahaan amunisi asal Amerika Serikat, sementara '41' menunjukkan tahun produksi: 1941.
Peluru RA 41 berdiameter 0,5 inci lazim dipakai senjata otomatis M2 Browning. Senapan mesin berat ini dipakai kapal perang HNMLS Java dan HNLMS Kortenaer sebagai bagian pertahanan anti-pesawat udara. Kortenaer tercatat memiliki 4 senapan M2 Browning yang ditaruh di geladak kapal.
(Kiri: Desain jangkar pada kapal De Ruyter. Kanan: foto jangkar kapal yang diduga milik De Ruyter)
Kami juga memiliki material visual mengenai potongan jangkar di area pengepulan besi PT Jatim Perkasa di Pelabuhan Brondong. Analisis foto dari sejarawan maritim asal Belanda, yang diminta komentar oleh kami, mengungkapkan potongan ini mirip jangkar kapal dagang dan kapal perang Belanda.
“Jangkar pada gambar ini agak seperti dari De Ruyter,” tulis empat ahli dari Belanda dalam sebuah dokumen yang berisi analisis atas foto-foto bangkai kapal yang kami kirimkan kepada mereka. “Jangkar ini memiliki 'bentuk' segitiga di ujung jangkar. [...] Jenis kapal bisa dipastikan jika kita tahu seberapa besar dan berat jangkar ini,” tulis analisis tersebut.
Susanto menyebut ukuran jangkar berkisar 1,5 x 2 meter. Berat jangkar diprediksi lebih dari 20 ton, sebab satu ekskavator Caterpillar tipe 926E yang dipakai PT Jatim Perkasa kepayahan mengangkat angker ini. Padahal ekskavator ini bisa mengangkat beban hingga 18 ton.
“Backhoe satu aja enggak kuat, kok,” ucap Susanto.
Merayah Kapal Perang milik Inggris dan AS
Kegaduhan di Laut Jawa tak semata diteriakkan otoritas Belanda, tetapi juga oleh Inggris. Pada pertempuran Laut Jawa, Inggris kehilangan tiga kapal, yaitu dua kapal perusak HMS Electra dan HMS Encounter serta satu kapal penjelajah HMS Exeter.
Tiga kapal ini diduga tak luput dari incaran para penjarah. Menurut paparan konferensi arkeologi maritim yang digelar di Adelaide, September 2017, sisa kerangka HMS Encounter tinggal 60 persen, HMS Electra tinggal 20 persen, dan HMS Exeter nyaris tak bersisa.
Raibnya HMS Exeter sulit dipercaya bila melihat ukuran dan bobot kapal ini: panjang 175 m dan lebar 18 m, dengan berat 10.660 ton.
Pada 2014, tim penjinak bahan peledak Polda Jatim dan Koramil Brondong mengevakuasi sebuah bom berdaya ledak besar. Menurut polisi, bom ini berdiameter sekitar 30 cm dengan berat 500 kilogram.
Para ahli dari Belanda yang kami mintai pendapatnya, di antaranya terdapat sejarawan maritim yang bekerja di sebuah institusi yang terkait penelitian masa silam, menyebut bom itu sebetulnya berdiameter 20 cm.
“Ada pembicaraan tentang bom 500 kg. Ini seperti bom 20 cm. Meriam di kapal perang Belanda dan pesawat di kapal ini tidak bisa menembak bom dengan kaliber ini.”
(Proyektil anti-pesawat di kapal HMS Exeter milik Inggris)
Dalam pertempuran Laut Jawa, selain kapal perang Jepang, di pihak sekutu hanya Exeter yang memakai kaliber 20 cm. Exeter menjadikan kanon L/50 Mark VIII sebagai armamen utama, dan ada 6 kanon dengan tipe kaliber seperti ini yang dipasang di geladak kapal. Amunisi kanon ini adalah BL 8 inch Mk. VIII yang berdiameter 20 cm, dengan berat bisa mencapai 116 kilogram.
Dalam satu foto yang didapatkan polisi air Pelabuhan Brondong, kami juga menemukan serpihan patrun dan proyektil yang diduga amunisi kanon senjata anti-pesawat QF 4 inch Mk. XVI. Foto itu diambil saat tim penjinak bom dari Polda Jatim menemukan puluhan peledak pada 2014.
Foto amunisi ini cocok dengan armamen yang dipakai Exeter. Selain Exeter, kapal Australia HMAS Perth juga memakai kanon ini. Bedanya, kapal HMAS Perth karam di Selat Sunda.
Polisi juga menemukan 13 amunisi yang mirip dengan QF 2 pom-pom (40 mm) L/39 Mk. VIII. Amunisi ini merupakan senjata anti-pesawat dengan kaliber lebih kecil. Setidaknya ada 8 pom-pom yang dipakai Exeter. Identitas peluru bisa didapatkan dengan melihat informasi di pantat selongsong. Sayang, polisi sudah meledakkan amunisi ini di hutan Sedayulawas.
(Foto atas: prajurit Inggris mengenakan selempang renteng peluru. Bawah: foto dari polisi air saat penemuan amunisi tahun 2014.)
Selain kapal perang, Karno dan Susanto mengaku pernah melihat material yang diduga berasal dari kapal selam.
“Beberapa kali memang ada (kapal selam). Saya yakin karena seorang ABK Pioner 88, bilang ke saya itu kapal selam,” ucap Karno.
Dugaan ini muncul dari bentuk pelat yang berbeda dari pelat kapal biasa. “Selain itu, jendelanya besar-besar, tak seperti kapal perang biasa. Kacanya tebal,” tambah Karno.
Saat Ekspedisi Laut Jawa dilakukan oleh periset Australia dan Belanda pada November 2016, diketahui bahwa kerangka USS Perch lenyap tanpa sisa. “Ditemukan puing-puing kecil dengan barang terbesar hanya silinder gas,” tulis laporan ekspedisi ini.
Kapal selam USS Perch kandas pada 3 Maret 1942 oleh dua kapal perusak Jepang, Amatsukaze dan Hatsukaze. Orang pertama yang menemukan bangkai USS Perch adalah penyelam Australia, Kevin Denlay, pada 23 November 2006.
Selain USS Perch, AS pun kehilangan bangkai kapal USS Pope. Kapal perusak ini terlibat dalam Pertempuran Laut Jawa pada 1 Maret 1942. Kerangka USS Pope kini tinggal 20 persen, menurut dokumen pada konferensi arkeologi maritim.
Tak Hanya Kapal Perang yang Diembat
Data-data yang kami peroleh menyimpulkan setidaknya ada 14 kapal bersejarah di Laut Jawa telah dicuri. Selain kapal perang, para penjarah mengambil kapal kargo dan penumpang. Di antaranya tiga kapal Jepang, kapal kargo Meigen Maru, kapal penumpang Suiten Maru, dan tiga kapal kargo Belanda: SS Camphuijs, SS Benkoelen, dan SS Van Cloon.
Data ini bisa disinkronkan dengan pernyataan Susanto. “Di bulan pertama kerja, yang diambil kapal Cina (Pioner 88) cuma kapal kargo, isinya kontainer, dalamnya ada pasta gigi, sabun, dan minyak goreng."
"Kapal kargo ini bukan kapal lama, tapi kapal baru. Saat bulan puasa (Juli 2014), baru kami mulai potong kapal kargo, tapi kapal kargo lama, kelihatan dari pelat yang tebal.”
(Pelat S.S.V Diemen K.P.M HUT 5-6)
Temuan baru mengungkap bahwa ada lebih banyak kapal yang dijarah Pioner 88. Salah seorang pekerja PT Jatim Perkasa, pada awal Januari 2017, menunjukkan pelat berlabel 'S.S.V Diemen K.P.M HUT 5-6'.
Label ini diduga dari kapal uap Van Diemen. 'HUT 5-6' berarti kabin nomer 5-6. Label ini menempel pada dinding kapal -- jadi mustahil label ini diperoleh tanpa meremukkan kapal itu sendiri.
Selain Van Diemen, Susanto memperlihatkan sebuah pelat yang dilepas dari tabung besar seperti tangki minyak. Tangki ini berdiameter 3 meter dengan ketebalan baja mencapai 3 cm.
“Ini seperti tangki pembakaran. Ada tumpukan batu bata dan serpihan batu bara di dalamnya. Ada juga semacam saringan dan pipa untuk menyalurkan hawa panas,” kata Susanto. “Waktu itu ada 5 tangki, saya potong dan ambil labelnya.”
Pada pelat ini tercantum label 'David Rowan & Co.Ltd', serta tahun '1921', nomor seri '15.46', dan kode '751a'. Juga lokasi pembuatan tangki di 'Glasgow'.
(Pelat tangki mesin diduga dari kapal kargo SS Tjikandi)
David Rowan & Co. Ltd. adalah perusahaan yang membuat mesin kapal, termasuk boiler bahan bakar yang ditemukan Susanto. Perusahaan ini didirikan David Rowan pada 1877 dan berbasis di kota Glasgow, Skotlandia. Pada 1917, perusahaan diakuisisi pabrik kapal yang lebih besar: Lithgows Co. Ltd. milik William Lithgows.
Bukti pelat ini mengarah pada kapal kargo SS Tjikandi. Kapal dengan panjang lebih dari 140 meter ini memang diproduksi pada 1921—sama dengan tahun yang tertera pada pelat dan mesin kapal yang dibuat perusahaan David Rowan & Co. Ltd. Pada laporan pelabuhan, tercatat Tjikandi memakai dua turbin bikinan David Rowan.
Nasib serupa menimpa HNLMS Koning der Nederlanden. Pada 1942 kapal ini sebetulnya tak dioperasikan lagi sebagai kapal perang karena umurnya kelewat tua. Koning der Nederlanden dibuat pada abad 19, resmi dipakai AL Belanda pada 1877 dan langsung berlayar untuk Perang Aceh.
Di masanya, Koning der Nederlanden dikenal sangat kuat karena seluruh lambung kapalnya terbuat dari besi. Meski menggunakan mesin uap, kapal ini masih memakai tiga tiang dan layar berukuran 847 meter persegi. Perkembangan teknologi kapal yang kian canggih membuat Koning der Nederlanden dipensiunkan pada 1899.
Sejak saat itu, selama 43 tahun, kapal ini hanya dipakai sesekali sebagai kapal logistik oleh divisi kapal selam AL Belanda. Setelah puluhan tahun karam, jejak kapal ini terdeteksi di Pelabuhan Brondong.
Para ahli dari Belanda yang kami perlihatkan rekaman video di area pengepulan besi PT Jatim Perkasa melihat meriam Armstrong RML 11 inci. Ada empat kanon jenis ini di atas geladak Koning der Nederlanden. Berat kanon mencapai 25 ton.
“Itu meriam berat sekali, sampai diangkat 2 ekskavator saja enggak kuat,” kata Susanto.
Ketiga kapal itu—yakni Van Diemen, SS Tjikandi, dan Koning der Nederlanden—sengaja ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Belanda agar tak jatuh ke pihak Jepang pada awal Maret 1942 di perairan Tanjung Perak.
Soal temuan bangkai kapal bersejarah yang diduga diangkat dari perairan kolam Surabaya, Chris Wanda, seorang pejabat PT Jatim Perkasa, berkilah bahwa kapal-kapal di alur itu tidak ditetapkan sebagai cagar budaya.
“Di Tanjung Perak, khususnya APBS (alur pelayaran barat Surabaya), tidak ada penetapan pemerintah bahwa di situ ada surat keputusan situs bersejarah. Situs bersejarah hanya kantor Kesyahbandaran Tanjung Perak. Kalau di laut, enggak ada,” kata Chris yang sebelumnya menjabat sebagai Syahbandar di Tanjung Perak.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Fahri Salam