Menuju konten utama
Mozaik

Invasi Normandia Memukul Jerman hingga ke Seberang Sungai Seine

Jerman terkecoh oleh taktik Sekutu lewat Operasi Fortitude yang mengalihkan perhatian. Serangan sebenarnya lewat Invasi Normandia akhirnya memukul Jerman.  

Invasi Normandia Memukul Jerman hingga ke Seberang Sungai Seine
Header mozaik Invasi Normandia. tirto.id/Tino

tirto.id - Pada malam 24 Agustus, Divisi Lapis Baja Prancis ke-2 tiba di pusat kota Paris. Desas-desus tentang pembebasan kota Paris oleh Sekutu mulai menyebar. Lepas tengah malam pukul 03:30, Dietrich von Choltitz, komandan garnisun Jerman dan gubernur militer Paris, menyerah kepada pasukan Prancis di Hôtel Le Meurice. Penyerahan ini menandai akhir dari pertempuran panjang Operasi Normandia dan kembalinya kontrol Prancis atas ibu kota mereka.

Warga kota yang telah lama menantikan hari itu dengan penuh harap, segera berbondong-bondong keluar rumah. Mereka berkumpul di jalan-jalan, alun-alun, dan sepanjang tepi Sungai Seine.

Jenderal Charles de Gaulle, pemimpin Angkatan Darat Prancis, tiba sore hari untuk mengambil alih kendali sebagai kepala Pemerintahan Sementara Republik Prancis bersamaan dengan penyerahan dokumen penyerahan kekuasaan oleh Jerman.

Esok harinya ketika pasukan Sekutu, sebagian besar Divisi Lapis Baja ke-2 Prancis dan Divisi Infanteri ke-4 AS, bersama dengan unit Sekutu lainnya, memasuki kota pada 26 Agustus 1944, warga menyambut mereka dengan sorak-sorai dan kegembiraan yang telah lama dinanti.

Parade panjang menjalar sepanjang Champs-Élysées. Bendera-bendera Tricolor berkibar dengan gagah di setiap sudut kota. Teriakan "Vive la France!" dan "Viva De Gaulle!" menggema sepanjang jalan.

French Force of the Interior (FFI), para pejuang kemerdekaan Prancis yang telah lama bergerilya di bawah tanah, kini dapat keluar dari persembunyian. Mereka bergabung dengan warga sipil dalam perayaan kemenangan.

Lima hari setelah itu, pasukan Jerman melintasi Sungai Seine untuk terakhir kalinya menandai berakhirnya pendudukan Nazi atas Paris sejak 1940.

Bermula dari Invasi Normandia

Membebaskan kota Paris bukanlah tujuan utama Sekutu dalam memerangi Jerman. Amerika Serikat dan Inggris ingin segera menyelesaikan peperangan secepat mungkin. Taklukkan Paris, lantas Berlin, sebelum dicaplok Uni Soviet.

Saat keputusan menggelar Operasi Normandia atau dikenal juga dengan sandi Operasi Overlord disepakati lewat Konferensi Washington bulan Mei 1943, penentuan lokasi pendaratan sempat diperdebatkan.

Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, memilih membuka front kedua di Balkan atau Yunani, di mana pertahanan Jerman dianggap lebih lemah. Ini bertujuan untuk mencegah dominasi Soviet di Eropa Timur setelah perang.

Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, dan jenderal-jenderalnya berargumen bahwa mereka harus langsung menyerang Jerman melalui jantung Eropa, yakni Prancis. Mereka merasa bahwa setelah dua operasi sukses di Afrika Utara dan Italia, sudah saatnya untuk melanjutkan serangan ke Eropa Barat.

Terdapat juga ego para jenderal, terutama antara Bernard Montgomery dari Inggris dan George S. Patton dari Amerika, yang memperumit keputusan strategis. Dwight D. Eisenhower sebagai komandan tertinggi harus menjembatani perbedaan ini untuk mencapai kesepakatan.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat, pada akhirnya kedua negara Sekutu berhasil mencapai konsensus. Amerika Serikat memiliki sumber daya militer yang lebih besar dan pengaruh yang lebih kuat dalam koalisi Sekutu. Oleh karena itu, rencana invasi Normandia akhirnya menjadi langkah strategis yang sangat penting untuk mengalahkan Jerman.

Dalam Konferensi Teheran yang diadakan antara 28 November dan 1 Desember 1943, Stalin, Churchill, dan Roosevelt mengambil keputusan akhir untuk meluncurkan Operasi Overlord pada bulan Mei 1944.

Sekutu kemudian mengumpulkan pasukan, peralatan, dan pasokan logistik dalam jumlah besar di Inggris sebelum pendaratan di lima pantai yang berbeda, yang dikenal sebagai Utah, Omaha, Gold, Juno, dan Sword.

Masing-masing pantai ditugaskan kepada pasukan dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada. Sekutu lainnya seperti Prancis, Polandia, Belanda, dan Belgia bergabung kemudian dalam personel dan unit pasukan darat di bawah pimpinan Miles Dempsey.

Persiapan-persiapan tersebut memaksa Sekutu menunda operasinya selama satu bulan sehingga targetnya dimatangkan menjadi 5 Juni 1944.

Sementara di pihak Jerman, mereka telah membangun Tembok Atlantik sejak 1942 yang merupakan serangkaian benteng, parit, ranjau, dan penghalang di sepanjang pantai Eropa untuk melindungi diri dari serangan Sekutu.

Nino Oktorino dalam Konflik Bersejarah - Neraka di Normandia (2013:18) menulis bahwa pembangunan tembok tersebut bermula dari Front Timur, mulai dari Belanda, lalu turun sepanjang Selat Inggris dan Pantai Biskaya, memasuki Pergunungan Pyrenia di perbatasan Prancis dan Spanyol, hingga menyusuri sepanjang pantai Laut Tengah, melintasi Toulon dan berakhir di pesisir Italia.

“Front tersebut memanjang hingga lebih dari 965 kilometer,” sambung Nino.

Tentara Jerman menempatkan sejumlah besar pasukannya di Normandia, mulai dari Divisi Infanteri hingga Divisi Panser. Mereka juga mempersiapkan unit-unit elite, seperti Waffen-SS, untuk memperkuat pertahanan.

Di bawah kendali Jenderal Gerd von Rundstedt sebagai Panglima Tertinggi dan Jenderal Erwin Rommel, keduanya bertanggung jawab untuk menghalau dan mengamankan aset dari serangan Sekutu. Namun, mereka memiliki pandangan berbeda tentang strategi yang harus diambil--Rundstedt memilih pendekatan mobilisasi, sementara Rommel ingin memperkuat pertahanan pantai.

Selain itu, pasukan Jerman memiliki peralatan tempur yang ditunjang teknologi canggih, termasuk perangkat Mesin Enigma yang dapat melindungi sandi komunikasi. Mereka mendirikan sistem pengintaian dan pengawasan untuk mendeteksi aktivitas Sekutu.

Jerman juga memiliki rencana cadangan untuk memindahkan pasukan dari daerah lain jika diperlukan, tetapi harus lewat keputusan komando pusat yang dipimpin oleh Adolf Hitler yang percaya bahwa Sekutu akan mendarat di Pas de Calais, bukan Normandia.

Situasi tersebut menjadi celah yang akhirnya dimanfaatkan Sekutu.

Operasi Fortitude

Untuk mengecoh waktu dan lokasi penyerangan, rangkaian operasi dibentuk pihak Sekutu, salah satunya lewat Operasi Fortitude pada bulan Desember 1943 hingga Maret 1944. Operasi ini dirancang untuk membingungkan intelijen Jerman dan mengalihkan perhatian mereka dari rencana sebenarnya untuk melakukan invasi ke Normandia.

Tujuan utama operasi ini adalah membuat Jerman percaya bahwa serangan utama Sekutu akan terjadi di tempat lain, bukan di Normandia. Dengan begitu, Jerman akan memperkuat pertahanan di wilayah yang salah dan melemahkan pertahanan di Normandia.

Operasi Fortitude memaksa Jerman membagi pasukannya ke berbagai wilayah, sehingga kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah dan tidak terkonsentrasi di satu titik. Operasi ini terbagi menjadi dua bagian utama, yakni Fortitude Northyang fokus pada penipuan terhadap Jerman mengenai rencana invasi di Norwegia.

Sekutu menciptakan pasukan artileri palsu, seperti kapal selam palsu, kapal tempur palsu, lalu membangun pangkalan udara palsu, dan menyebarkan informasi palsu tentang konsentrasi pasukan di wilayah tersebut. Tujuannya adalah untuk membuat Jerman percaya bahwa serangan utama akan terjadi di Norwegia.

Kemudian ada Operasi Fortitude South yang tujuannya menipu Jerman mengenai waktu dan lokasi serangan utama di Prancis. Sekutu menciptakan pasukan palsu yang seolah-olah akan menyerang di Pas de Calais, sebuah wilayah di Prancis yang lebih dekat dengan Inggris.

Mereka menyebar boneka dan tank-tank serta meriam dari karet di sekitar Selat Dover, lalu menyebarkan informasi dan siaran radio palsu tentang rencana invasi melalui agen ganda dan intelijen yang disusupi.

“Tongkang tiruan, lalu lintas radio palsu, dan agen ganda semuanya digunakan untuk memberikan kesan ini,” kata Joshue Levine dalam Operation Fortitude: The Story of the Spies and the Spy Operation That Saved D-Day (2011:169).

Operasi Fortitude melibatkan banyak pihak di belakang layar, satunya ialah penggunaan mesin dekripsi Colossus yang dikembangkan oleh Tommy Flowers dan timnya di Bletchley Park, Inggris, yang memberikan keunggulan taktis bagi Sekutu dalam memecahkan kode-kode dan sandi Enigma Jerman.

Colossus juga memberi informasi penting tentang komunikasi Hitler dengan petinggi militernya bahwa pendaratan pasukan Sekutu akan terjadi di Pas de Calais, sehingga memecah konsentrasi pertahanan Jerman.

Memukul Nazi ke Seberang Sungai Seine

Invasi Normandia, juga dikenal sebagai D-Day, terjadi pada 6 Juni 1944, bergeser satu hari dari rencana semula tanggal 5 Juni. Ini terjadi karena cuaca buruk yang menyebabkan angin kencang yang dapat membahayakan pendaratan.

Pada pagi hari 6 Juni, ribuan pasukan Sekutu mendarat di Pantai Normandia melalui kapal pendarat. Pasukan Sekutu dari Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada melakukan pendaratan amfibi di lima pantai berbeda.

Mereka menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Jerman di sepanjang pantai. Di Omaha, setidaknya 2.000 tentara Sekutu tewas.

Invasi Normandia berlanjut selama lebih dari dua bulan, dengan kampanye untuk menembus garis pertahanan Jerman. Setelah berhasil mengamankan pantai, mereka membangun jembatan untuk memasok pasukan dan peralatan.

Sekutu memperkuat posisi mereka dan melancarkan serangan lebih lanjut ke dalam wilayah Prancis. Mereka berhasil merebut kota-kota penting dan mengalahkan pasukan Jerman yang terdesak, mulai dari Caen, Cherbourg, Falaise, dan Paris.

Infografik mozaik Invasi Normandia

Infografik mozaik Invasi Normandia. tirto.id/Tino

Pertempuran tank menjadi kunci dalam memperluas wilayah, dengan tank-tank Sekutu yang lebih unggul jumlah dan kualitas berhasil menembus garis pertahanan Jerman. Sekutu juga memiliki keunggulan dalam serangan udara terhadap pasukan Jerman.

Dengan semakin lemahnya pertahanan Jerman, pasukan Sekutu, termasuk Angkatan Darat Ketiga AS yang dipimpin oleh Jenderal George Patton, bergerak melancarkan serangan ke timur menuju Paris. Pada bulan Agustus 1944, situasi di lapangan semakin mendukung Sekutu.

Pada saat Angkatan Darat Ketiga AS mendekati Paris, French Force of the Interior (FFI) melancarkan pemberontakan melawan garnisun Jerman yang masih ada di kota tersebut. Mereka melakukan sabotase terhadap pasukan Jerman dan memberikan informasi intelijen kepada Sekutu.

Jembatan-jembatan yang melintasi Sungai Seine kemudian menjadi titik-titik strategis yang diperebutkan oleh kedua belah pihak. Kendali atas sungai ini menjadi kunci bagi Sekutu untuk memfasilitasi logistik dan pergerakan pasukan mereka. Sementara pasukan Jerman berusaha mempertahankan lokasi tersebut untuk menghambat pergerakan pasukan Sekutu dan mempertahankan jalur suplai.

Rouen, kota yang menjadi hulu Sungai Seine di utara Paris, menjadi area pertempuran sengit. Kota itu luluh lantak ketika Brigade Infateri Kanada ke-4 dan 6 melakukan eskalasi darat pada pertengahan Agustus.

Sementara tepi sungai diubah menjadi benteng pertahanan yang kuat oleh pasukan Jerman. Mereka merapatkan barikade, menanam ranjau, dan menempatkan senapan mesin di sepanjang tepi sungai dan jembatan.

Selain jembatan, struktur lain di sepanjang sungai dihancurkan untuk menghambat pergerakan Sekutu. Ini termasuk fasilitas industri dan jalur komunikasi yang berdekatan dengan sungai sekaligus merupakan taktik unit pasukan Jerman untuk menyelamatkan diri saat situasi terdesak, lalu melintas Sungai Seine dan mundur ke arah timur.

Pada 25 Agustus 1944, Paris dibebaskan, pasukan Jerman melarikan diri memasuki hutan-hutan Prancis setelah menyeberangi Sungai Seine dengan kapal feri karena jembatan-jembatan di sekitar sungai sudah hancur. Sekitar tanggal 29-30 Agustus, Sungai Seine telah bersih dari pasukan Jerman.

D-Day menandai langkah awal dalam proses pembebasan Eropa dari kekuasaan Nazi. Operasi ini mengubah arah perang dengan memperkuat front Barat hingga kejatuhan rezim Hitler pada tahun 1945.

Baca juga artikel terkait PERANG DUNIA II atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Politik
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi