Menuju konten utama
Mozaik

Oppenheimer, Ia yang Menaja Jalan Kematian

“Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa bom nuklir memang sangat mengerikan. Namun, daripada Jerman, lebih baik kami yang duluan membuatnya,” tegas Oppenheimer.

Oppenheimer, Ia yang Menaja Jalan Kematian
Header Mozaik Manhattan Project. tirto.id/Ecun

tirto.id - Pasukan Prancis yang berada di Meuse tumbang diterkam panser-panser Jerman pada 16 Mei 1940. Membuat gerbang menuju Paris terbuka lebar bagi pasukan Der Führer.

Raoul Dautry, Menteri Persenjataan Prancis, meminta seluruh pejabat Prancis untuk tetap tenang sembari memusnahkan seluruh dokumen rahasia milik Prancis.

Alih-alih kabur menyelamatkan diri, Dautry yang telah memutuskan untuk tetap berada Prancis lantas menghubungi Frederic Joliot, fisikawan asal Collage de France di Paris.

Menurut Spencer R. Weart dalam "Scientist in Power" (Bulletin of the Atomic Scientist, Vol 35 1979), Frederic Joliot adalah ilmuwan yang berhasil menemukan bagaimana reaksi fusi berantai dapat dipercik melalui uranium. Ia terlalu berharga bagi Prancis seandainya diculik oleh Jerman.

Meskipun sejak 1938 Jerman berhasil mereka-cipta proses fisi nuklir dengan memborbardir uranium secara pelan-pelan menggunakan neutron melalui Otto Hahn dan Fritz Strassmann, kerja saintifik tersebut tak sebanding dengan hasil yang disodorkan Joliot.

"[Prancis] terlalu unggul dibandingkan Jerman soal proyek-proyek fisi-fusi nuklir,” tegas Weart. Fakta ini disadari betul oleh Dautry.

Melalui sambungan telepon, Dautry meminta sang ilmuwan untuk menyelamatkan diri beserta segala peralatan dan perlengkapan penelitiannya, juga rekan-rekannya sesama peneliti terutama Hans Halban dan Lew Kowarski. Mereka diminta pergi ke selatan Prancis, ke sebuah vila dekat Clermont-Ferrand yang telah disiapkan.

Benar saja, tak lama setelah kehancuran pasukan Prancis di Meuse, Jerman segera menduduki Prancis dan bergegas mencari Joliot. Ia ditemukan dengan mudah di persembunyiannya di Clermont-Ferrand.

Ini akibat pengkhianatan beberapa pejabat Prancis dan Joliot yang bersikeras untuk tetap berada di Prancis. Joliot mengambil langkah tersebut untuk menutupi jejak anak buahnya, Halban dan Kowarsi, yang melarikan diri ke Inggris serta beberapa rekan lainnya yang kabur ke Bordeaux.

Kala itu, Jerman membawa serta ilmuwannya sendiri, Wolfgang Gentner, untuk merayu Joliot pindah ke Jerman. Mereka tak sadar, Gentner merupakan murid Joliot, dan tak seperti ilmuwan-ilmuwan Jerman lainnya, Gentner mengerti bahwa Jerman terlalu berbahaya jika memiliki ilmu yang dikuasai Joliot.

Gentner kemudian bersandiwara dengan gurunya dan menyatakan bahwa Joliot tak mungkin pergi meninggalkan Prancis.

Kepada para perwira Jerman, Gentner menegaskan bahwa peralatan dan perlengkapan Joliot dalam bekerja memiliki resiko tinggi jika dikirim dalam jarak jauh, terutama air berat (heavy water) dan cyclotron—akselerator partikel yang menjadi kunci keberhasilan Joliot menciptakan reaksi fusi berantai.

Para perwira Jerman itu berhasil diyakinkan, mereka setuju tak membawa Joliot dan memintanya untuk melanjutkan kembali penelitiannya soal nuklir yang sempat tertunda.

Namun, soal cyclotron, mereka tak setuju dengan pendapat Gentner.

"Mereka memutuskan untuk menyita mesin Joliot sebagai rampasan perang dan mengemasnya bersama dengan peralatan laboratorium lainnya yang dianggap berharga ke Jerman,” tulis Weart.

Setelah militer Jerman meninggalkan Joliot, ia bergegas mengontak rekan-rekannya yang telah berhasil kabur ke Inggris untuk mengirim sinyal bahaya.

Hampir berbarengan dengan pesan yang dikirim Joliot kepada para koleganya, dunia akademik Inggris dihebohkan dengan dirilisnya dua laporan penelitian tentang penciptaan senjata nuklir yang ditulis fisikawan Jerman keturunan Yahudi yang kabur ke Inggris, Otto Robert Frisch dan Rudolf Peierls, di Birmingham University.

Dalam pengetahuan umum kala itu, senjata nuklir hanya mungkin diciptakan memanfaatkan isotop uranium 235 yang sangat langka, kemudian dipercik reaksi fusinya memanfaatkan neutron dari semua energi.

Namun, lewat laporan yang ditulis dalam dua paper berbeda itu, yakni “Memorandum on the Properties of Radioactive ‘Superbomb’” dan "On the Construction of ‘Superbomb’ Based on a Nuclear Chain Reaction in Uranium”, senjata nuklir disebut-sebut dapat diciptakan dengan isotop uranium 238 yang umum ditemukan di Bumi, tetapi hanya dapat dipercik reaksi fusinya dengan neutron energik.

Saat kedua paper itu tiba di meja ilmuwan Inggris bernama Henry Thomas Tizard, ia langsung meneruskannya kepada para petinggi Inggris.

Singkat cerita, Amerika Serikat lantas mengetahui bahwa Jerman tengah berupaya keras membangun senjata nuklir, yang sangat mungkin berhasil diciptakan karena kepemilikan cyclotron yang dirampas dari Prancis.

Ini menjadi peringatan keras kedua tentang ambisi Jerman, yang sebelumnya sempat diperingatkan Albert Einstein via surat yang dikirim kepada Presiden Roosevelt melalui Alexander Sachs pada 1939.

Jika surat yang dikirim Einstein dicampakkan Paman Sam, maka peringatan yang dikirim Tizard nasibnya berbeda. Amerika Serikat seakan langsung tersadar betapa berbahayanya dunia seandainya Jerman memiliki kekuatan nuklir.

Sadar bahwa di negerinya, tepatnya di University of California, Berkeley, tengah menggeliat penelitian fisika teoritis, Amerika Serikat membalas peringatan kedua ini dengan satu jawaban, yakni menciptakan senjata nuklir lebih dulu dibandingkan Jerman.

Julius Robert Oppenheimer, sosok utama di balik menggeliatnya fisika teoritis di Berkeley, jadi kunci Amerika Serikat merealisasikan jawabannya itu sesegera mungkin.

Fisika Dangkal Melahirkan Kegelisahan

“Saya tidak datang ke Berkeley untuk membangun sekolah,” tutur Oppenheimer di penghujung usianya saat mengenang masa-masa awal bekerja menjadi seorang profesor di University of California, Berkeley, sebagaimana diabadikan Ray Monk dalam Inside the Centre: The Life of J. Robert Oppenheimer (2012).

“Saya tidak memulai langkah di sana dengan mencari murid, saya benar-benar berada di sana hanya sebagai misionaris dari teori yang saya cintai,” lanjutnya.

Menurut Ray Monk, pernyataan kedua Oppenheimer dapat dipercaya seratus persen, tetapi yang pertama sebaliknya. Oppenheimer memang sangat mencintai teori, atau lebih tepat fisika teoritis.

Dengan segala rekam jejak Oppenheimer, Monk yakin ilmuwan itu datang ke Berkeley pada 1929 untuk membangun sekolah, yakni departemen fisika teoritis yang terbaik di seluruh Amerika Serikat

Hal ini, menurut salah satu fisikawan kesohor bernama Hans Bethe, dilakukan Oppenheimer karena sebelum ia tiba ke Berkeley, seorang warga Amerika Serikat yang ingin menguasai ilmu fisika dengan baik dan benar harus merantau ke Eropa.

Lahir pada 22 April 1904 di New York City dari pasangan Yahudi asal Jerman yang bermigrasi ke Amerika Serikat tahun 1888, Oppenheimer awalnya tak suka fisika, apalagi fisika teoritis yang bagi sebagian kalangan dianggap hanya "ilmu berimajinasi".

Setelah dewasa dan belajar di Harvard University, ia memilih kimia sebagai bidang yang ingin dikuasainya.

Pilihan ini, menurut Jeremy Bernstein dalam Oppenheimer (2004), "[Didorong oleh] kecerdasannya yang ajaib gara-gara tidak memiliki kehidupan selayaknya anak-anak lain atas didikan kakeknya yang keras, yang memilih memberikan hadiah berupa mineral untuk dikoleksi dibandingkan permen, misalnya, hingga membuat sang cucu sedari belia dipaksa mempelajari segala tetek-bengek soal mineral.”

Sementara Oppenhaimer menyatakan bahwa kimia berada tepat di jantung setiap benda yang ada di dunia dibandingkan fisika.

Namun, di tahun kedua kuliah, Oppenheimer memutuskan pindah jurusan ke ilmu fisika yang menurutnya "Apa yang saya sukai di kimia sangat berhubungan dengan fisika.”

Usai memutuskan pindah jurusan, Oppenheimer melahap semua kelas fisika yang tersedia di Harvard. Karena minat dan tugas kuliahnya sangat beragam, Oppenheimer mengaku hanya menerima ilmu-ilmu fisika ringan yang sangat cepat diajarkan dan dangkal.

"Saya menerima nilai A di semua kelas yang saya ikuti, yang menurut saya tak pantas saya terima,” ujarnya.

Pada tahun terakhirnya di Harvard, kegelisahannya yang merasa hanya diberi ilmu fisika dangkal sedikit terobati ketika diizinkan pihak kampus untuk bekerja sebagai peneliti di laboratorium fisika yang dipimpin Percy W. Bridgman, salah satu fisikawan pertama di dunia yang meneliti esensi sebuah materi.

Menjadi Fisikawan Teoritis

Setelah lulus dari Harvard dengan predikat "summa cumlaude", ia memutuskan pindah ke Eropa untuk melamar sebagai peneliti di Cavendish Laboratorium, Cambridge University. Laboratorium pimpinan Ernest Rutherford itu adalah tempat atom untuk pertama kalinya diketahui mengandung partikel super kecil bernama nuclei.

Namun lamarannya ditolak. Alasannya, sebagaimana dipaparkan John S. Rigden dalam "J. Robert Oppenheimer" (Scientific American, Juli 1995), ia berasal dari Amerika Serikat dan kala itu ilmuwan-ilmuwan Eropa memandang rendah dunia pengetahuan Amerika Serikat, terutama yang berbau teoritis.

Ilmu fisika yang diterima Oppenheimer dari Harvard dianggap tak sebanding dengan pengetahuan yang diberikan perguruan-perguruan tinggi di Eropa kepada murid-muridnya. Oppenheimer bersiasat, ia mengirim lamarannya kepada penghuni lain laboratoium itu, Joseph John Thomson, dan akhirnya diterima.

Ia diterima bukan sebagai peneliti, melainkan "research student" yang bekerja di pojokan laboratorium.

"Sangat berat dan menyakitkan hati untuk dilakukan [...] Saya merasa tak memperoleh pengetahuan apapun dari pekerjaan ini,” ujarnya.

Thomson akhirnya tergugah dan memperkenalkan Oppenheimer kepada para dedengkot dunia fisika teoritis Eropa, yakni Niels Bohr, Patrick M. S. Blackett, Paul Ehrenfest, Paul A. Am. Dirac, dan Ralph H. Flower, untuk mencarikan tempat yang lebih layak untuk bekerja.

Ralph H. Flower menasihati Oppenheimer untuk mempelajari formalisme mekanika kuantum baru dari Dirac untuk menghasilkan karya akademik. Ini adalah "kartu truf" yang wajib dimiliki Oppenheimer jika ingin mengubah nasibnya menjadi peneliti fisika teoritis sungguhan. Setelah itu, Oppenheimer merilis paper pertamanya.

“[Oppenheimer] sah untuk pertama kalinya menjadi ilmuwan fisika teoritis,” tulis Rigden.

Pada 1926, ia mendapat beasiswa untuk memperoleh gelar doktor dari University of Gottingen, pusat fisika teoritis Eropa.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Gottingen lewat tulisan "Quantum Theory of Continuous Spectra" pada 1928, Oppenheimer menjadi fisikawan teoritis pertama dalam menyederhanakan analisis spektrum molekular.

Kiprah di Berkeley

Sekembalinya ke Amerika Serikat pada 1929, Oppenheimer menerima tawaran menjadi profesor di California Institute of Technology (Caltech) dan University of California, Berkeley.

Pada praktiknya, Oppenheimer lebih banyak terlibat di Berkeley yang ia anggap cocok untuk mengajar. Di sinilah ia berambisi menciptakan sekolah baru bagi para pemikir fisika yang setaraf dengan Eropa.

Di tahun pertamanya mengajar di Berkeley dan Caltech, Oppenheimer banyak diprotes mahasiswa karena mengajar dengan cara yang sukar dipahami, langsung ke pokok materi tanpa menjelaskan pondasi.

“Saya tidak tahu apa yang Oppenheimer katakan,” terang Carl D. Anderson, mahasiswa doktoral—kemudian fisikawan teoritis ternama Amerika Serikat—mengenang Oppenheimer dalam mengajar. “Dia, di hari-hari itu, bukanlah seorang dosen yang baik,” imbuhnya.

Saat dipanggil pihak kampus, Oppenheimer berkilah bahwa metode yang dipilihnya dalam mengajar ditujukan untuk mempercepat pemahaman fisika bagi mahasiswa, yang baik dan benar, tidak seperti pengalamannya waktu di Harvard.

Tak cuma mahasiswa yang tidak menyukainya, tapi juga koleganya sesama profesor. Alasannya, Oppenheimer pendiam dan sembrono, terutama soal mengemudi.

Untuk merebut hati mahasiswa dan koleganya, Oppenheimer menawarkan pengajaran personal serta memungkinkan mahasiswanya ikut melakukan penelitian (joint-paper). Sementara bagi para koleganya, ia mengadakan pesta dengan makanan yang dimasak sendiri olehnya, salah satunya nasi goreng.

Ia belajar memasak makanan khas Indonesia itu dari istri George Uhlenbeck, fisikawan Belanda kelahiran Batavia.

Hasilnya, Oppenheimer sedikit lebih dicintai olehpenghuni Berkeley. Dan setelah kedatangannya di Berkeley, Melba Phillips menjadi mahasiswa doktoral pertama yang berhasil memperoleh gelar Ph.D atas bimbingannya.

Hingga setahun setelah tiba di Berkeley, Oppenheimer tidak pernah terlibat dalam penelitian apapun yang berhubungan dengan senjata nuklir. Adalah Ernest Lawrence, fisikawan asal South Dakota yang direkrut Berkeley setahun sebelum Oppenheimer yang melakukannya.

Memimpin Proyek Manhattan

Pada tahun pertamanya di Berkeley hingga 1941, Lawrence berhasil membuat kemajuan dalam memisahkan sejumlah kecil uranium 235 dan dalam pembuatan plutonium dalam jumlah mikroskopis.

Sadar bahwa Oppenheimer merupakan lulusan Eropa dengan disertasinya tentang spektrum atom, Lawrence akhirnya mengajak Oppenheimer terlibat dalam penelitiannya.

"[Pada permulaan saat ia terlibat, Oppenheimer] membuat malu Lawrence atas estimasinya yang salah soal masa kritikal uranium yang berbeda dengan Robert Frisch dan Rudolf Peierls,” tulis Jeremy Bernstein dalam Oppenheimer (2004).

Namun perlahan ia melangkah ke arah yang lebih baik, soal keterlibatannya dalam penelitian senjata nuklir dan kariernya sebagai profesor. Tak cuma di Berkeley, tetapi juga di kalangan fisikawan teoritis di Amerika Serikat dengan ditunjuknya Oppenheimer menjadi pemimpin organisasi fisikawan teoritis.

Jeremy Bernstein dalam publikasinya yang lain berjudul "In the Matter of J. Robert Oppenheimer" (Historical Studies in the Physical Science, Vol. 12 1982), menyebut Oppenheimer kesal melihat Yahudi dibantai Nazi Jerman.

Maka itu, Oppenheimer bernafsu menyelesaikan penelitian yang dipimpin Lawrence lebih dulu dari Jerman, sebagai respons mendengar kabar cyclotron milik Prancis dijarah Jerman. Ya, Oppenheimer memang sangat telat mendengar informasi ini karena sebelumnya ia sosok apolitis.

“Tak perlu dipertanyakan lagi bahwa bom super (bom nuklir) memang sangat mengerikan. Namun, daripada Jerman, lebih baik kami yang duluan membuatnya,” tegas Oppenheimer.

Semangat inilah--kala Amerika Serikat memutuskan untuk memberi jawaban tegas bagi peringatan yang disampaikan Henry Thomas Tizard--yang membuat Oppenheimer ditunjuk memimpin Proyek Manhattan, proyek penciptaan bom nuklir.

“Meskipun Oppenheimer kala itu terlihat sebagai peneliti yang paling bersemangat dalam penelitian fisi-fusi nuklir di Berkeley, penunjukannya aneh. Oppenheimer tak hebat-hebat amat sebagai fisikawan teoritis, juga tak terlalu pandai soal matematika," tulis Bernstein.

Bernstein menambahkan, penunjukan Oppenheimer, alih-alih Lawrence, karena ia dianggap lebih mudah disetir. Prasangka ini dibenarkan oleh Lesli Groves, jenderal yang ditunjuk pemerintah AS untuk mengorganisasi proyek ini.

“Dr. Oppenheimer saya pilih sebagai penasihat saya, tidak untuk mendikte bagaimana seharusnya proyek ini dijalankan, tetapi untuk mengonfirmasi opini yang saya berikan untuk proyek ini,” ujar Groves.

Kemungkinan lain dari penunjukan Oppenheimer adalah karena ia diduga terlibat dalam komunisme, yang membuatnya mudah dikontrol penguasa. Pada 20 Juli 1943, Groves menghubungi FBI untuk menutup segala investigasi tentang aktivitas komunisme yang diduga dilakukan Oppenheimer.

Infografik Mozaik Manhattan Project

Infografik Mozaik Manhattan Project. tirto.id/Ecun

Kematian Massal

Pada 16 Juli 1945, proyek penciptaan bom nulir yang dipimpin Oppenheimer berhasil melakukan tes pertama dan satu-satunya bernama Trinity. Uji coba ini tulis Alex Wellerstein, Profesor Sejarah Sains pada Stevens Intitute of Technology, New Jersey, Amerika Serikat, menghasilkan “cahaya yang tidak memiliki padanan apapun di Bumi."

Jenderal Thomas Farrell, Wakil Komandan Manhattan Project, di dalam bungker bersama Oppenheimer, menyebut bahwa ledakan kosmik ringan itu "membuat seluruh negeri diterangi cahaya yang membakar dengan intensitas berkali-kali lipat dibandingkan terik matahari di siang hari."

Intensitas cahaya dan panas yang mengerikan dari ledakan menghasilkan warna emas, ungu, abu-abu, dan biru yang menerangi setiap puncak dan serta punggung pergunungan di dekatnya.

Seakan tak peduli dengan kehancuran yang menyertai, Trinity, sebut sang Jenderal, "bak keindahan yang diimpikan oleh penyair-penyair hebat."

Little Boy dan Fat Man, dua bom atom yang disebut prajurit AS sebagai "ciuman hangat dari Hirohito", tercipta atas proyektil mirip peluru yang terbuat dari uranium-235 (Little Boy) dan plutonium-239 (Fat Man), memicu reaksi berantai dari fisi nuklir.

Inti atom dari bahan radioaktif terpecah dan menciptakan elemen berbeda, yang melepaskan sejumlah besar energi, membelah lebih banyak atom dan menghasilkan ledakan yang merusak, sangat merusak.

Bukan semata-mata terjadi kala bom atom meledak, tetapi juga karena reaksi berantai nuklir buatan manusia yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki itu langsung menguap pada suhu beberapa juta derajat celcius, lalu menciptakan bola api dan memancarkan panas dalam jumlah besar.

Antara 90 ribu dan 166 ribu jiwa manusia di Hiroshima, serta antara 39.000 dan 80.000 jiwa manusia di Nagasaki, tewas mengenaskan. Membuat Jepang menghadapi malapetaka yang tak pernah terjadi sebelumnya di Bumi. Memaksa mereka menyerah tanpa syarat.

Baca juga artikel terkait OPPENHEIMER atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh Pribadi