tirto.id - Sejak awal Mei 2023 lalu, antisipasi untuk dua film yang digadang-gadang sebagai “yang terbesar” untuk tahun ini sudah mulai menghangat di sosial media. Pesaing pertama adalah Oppenheimer yang disutradarai oleh Christopher Nolan dan dibintangi Cillian Murphy.
Film ini mengeksplorasi liku proyek pembuatan senjata paling mematikan yang pernah dibuat dalam sejarah, bom atom. Tak sekadar mengusung kemampuan Nolan menciptakan twist menarik sebagai pemikat utama, ia juga menawarkan pengalaman sinematik dan kreativitas sang sineas yang tidak mau menggunakan CGI.
Nama Nolan sendiri rasa-rasanya sudah cukup untuk memberi jaminan. Sebagian besar filmnya telah sangat dikenal, dengan kekhasan pada kerumitan dan kedalaman plot. Sekalangan penonton memang mengaku sulit untuk mengikutinya, tapi hal itu tentu tak berarti apa-apa pada kualitas sang sutradara.
Pesaing kedua adalah Barbie yang disutradarai oleh Greta Gerwig dan dibintangi Margot Robbie.Sosok Barbie sendiri merupakan karakter boneka terkenal dan legendaris.
Dengan materi dan kilasan-kilasan yang sudah dimunculkan, kedua film tak perlu waktu lama menciptakan hype dan bahkan mencapai reputasi sebagai film "yang telah lama ditunggu-tunggu" sejak tahun sebelumnya.
Seperti halnya Nolan, nama Gerwig tentu saja juga menyiratkan kualitas. Pun, gaung promosi Barbie bisa menjadi buah bibir lantaran juga didukung dengan strategi pemasarannya yang brilian (rumah merah muda Barbie, pernak-pernik koleksi, dan mainan). Dengan bantuan tambahan wajah Ryan Gosling untuk menarik penggemar di Instagram, pemasaran Barbie dapat dipastikan di posisi memimpin dibandingkan dengan Oppenheimer.
Dengan strategi yang lebih gencar, Barbie boleh jadi akan menarik lebih banyak khalayak umum. Namun, Oppenheimer dengan jaminan kualitasnya tentu tak bisa diremehkan begitu saja. Intinya, kedua film itu istimewa dan unik dengan alasan yang berbeda.
*****
Setelah akhirnya rilis di layar lebar pada waktu hampir bersamaan, keduanya terbukti memang menyuguhkan pengalaman sinematik yang istimewa dengan kekhasannya sendiri-sendiri.
Oppenheimer memiliki alur cerita yang unik. Plotnya bolak-balik berganti waktu dengan pembedaan pada warna sekuens. Di awal film, pendekatan itu mungkin bikin bingung penonton, berikut temponya pun berjalan yang lambat.
Namun, seiring berjalan durasi, alur cerita bakal jadi lebih mudah untuk dimengerti. Tetap saja, beberapa bagian cerita sebenarnya mungkin bisa dipersingkat untuk menjadikannya lebih mudah diikuti.
Terlepas dari “perjuangan” mengikuti plot besarnya, Oppenheimer sebenarnya menyuguhkan momen-momen reflektif dan visual-visual menarik sepanjang durasi. Masalah politik dan etika yang dibahas dalam film sebagian besar implisit. Para penonton merasakan pengalaman tersebut karena akting brilian Cillian Murphy.
Dia menampilkan spektrum emosi dan ekspresi—penyesalan, kebingungan, keheranan—dengan meyakinkan. Performanya menjadi jembatan bagi penonton untuk menyelami dan bersimpati pada karakter Oppenheimer.
Tidak hanya itu, penonton juga diajak menyusuri dinamika proses Proyek Manhattan yang kompleks. Dari situ, kita bisa menyadari bahwa film ini tidak dimaksudkan untuk merayakan pencapaian pembuatan bom atom tersebut, tapi justru mengkritik dampak dari penemuan ini. Setelah proyek itu selesai, penonton dapat merasakan kengerian dan dampak negatif dari upaya yang di permukaannya tampak seperti “pengejaran atas sains”.
Selain plotnya, efek suara dan visual Oppenheimer yang menonjol juga patut mendapat apresiasi. Efek visual dimanfaatkan secara efektif untuk menunjukkan kekuatan bom atom yang intimidatif. Nuansa intimidatif dan mematikan itu juga didukung musik latar yang digubah oleh Ludwig Görranson.
Secara keseluruhan, penyutradaraan Nolan berhasil memaksimalkan aspek suara dan visual untuk memberikan pengalaman menyaksikan kekuatan bom atom yang otentik kepada penonton. Sebuah pengalaman visual yang tak terlupakan.
*****
Di sisi yang lain, Barbie adalah kebalikan dari Oppenheimer. Nuansa yang dihadirkan Barbie lebih riang dan hidup ketimbang Oppenheimer. Nuansa euforia utopis ini terutama berasal dari penerapan warna-warna cerah untuk semestanya. Itu masih pula dibantu dengan hadirnya beberapa lagu yang manis untuk menampilkan keriangan.
Lagu-lagu itu—di antaranya Dance the Night, Barbie Girl, Man I Am—berhasil mengungkapkan suasana yang penuh semangat.
Nilai jual utama Barbie adalah komedinya, terutama dari narator dan tindakan canggung karakter Ken yang diperankan Ryan Gosling. Meskipun Margot Robbie adalah bintang utamanya, Ryan Gosling berhasil mencuri perharian di sebagian besar adegan dengan spontanitas, hasratnya dalam bernyanyi (I'm Just Ken), dan perwujudan "He’s literally me" dari halaman penggemar Instagram.
Hanya dengan melihat aktingnya yang canggung dan kocak, penonton dibawa untuk terhubung dengan konflik internal yang berkecamuk di hatinya. Kita bisa menakar keberhasilan aktinya dari banyaknya orang yang tergerak memposting komentarnya atas lagu I'm Just Ken di media sosial.
Lain itu, komedi juga terpantik dari celetukan-celetukan sang narator yang spontan dan menggelitik.
Meski begitu, kadar komedi terkadang terkesan terlalu banyak di beberapa sekuens sehingga menutupi isu-isu penting yang ingin disampaikan sineas. Konflik utama film ini adalah tentang keinginan Ken untuk mendapat perhatian dari Barbie. Namun, film ini lantas kehilangan fokus dan malah beralih membicarakan tentang kasih sayang ibu.
Meski ada karakter seorang ibu dan seorang anak, plot film ini sesungguhnya tidak berputar di sekitar mereka. Pertumbuhan karakter mereka terkesan terjadi tiba-tiba karena ditunjukkan sebagai perubahan drastis.
Ending film ini mestinya jadi bagian yang paling sentimental, tapi ia gagal tercapai lantaran terlalu banyak hal yang ingin disampaikan dan pengembangan subplot yang tidak kuat fondasinya.
Hasil akhirnya, penonton Barbie bakal keluar bioskop dengan hati senang, sementara penonton Oppenheimer lebih banyak mengernyitkan dahi. Itu bukan sesuatu yang negatif, tentu saja, karena setiap film memang dimaksudkan untuk menyampaikan isunya masing-masing sembari tetap mengupayakan pengalaman sinematik yang mengesankan.
Penulis: Clayton Antonius
Editor: Fadrik Aziz Firdausi