tirto.id - “Insya Allah dalam waktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri.”
Pernyataan itu meluncur dari mulut Presiden Sukarno saat memberikan pidato dalam acara Muktamar Muhammadiyah ke-36 yang diadakan di Bandung pada 24 Juli 1965. Untuk pertama kalinya, Sukarno menunjukan dukungan terhadap rencana pengembangan senjata nuklir yang santer telah dibicarakan di lingkaran militer selama delapan bulan sebelumnya.
Pada saat bersamaan, pemerintah sedang sibuk oleh kampanye anti-penjajahan laten Nekolim (Neokolonialisme, Kolonialisme, dan Imperialisme) sebagai dampak konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1962. Sukarno barangkali menganggap perjuangan bangsa melawan pengaruh asing akan lebih mudah jika mereka didukung senjata nuklir.
“Bom atom itu bukan akan kita gunakan untuk mengagresi bangsa atau negara lain tetapi sekedar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan-gangguan tangan jahil. Bila kita diganggu, maka seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakan seluruh senjata yang ada pada kita,” lanjut Sukarno dalam pidatonya.
Pernyataan Sukarno sangat bertolak belakang dengan penyataan resmi yang diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio tujuh tahun sebelumnya. Di tahun 1958, Subandrio menuliskan dalam Pengaruh Tenaga Atom atau Tenaga Nuklir dalam Hubungan antar Negara (1958) bahwa Indonesia sama sekali tidak tertarik memiliki atau pun membuat senjata nuklir.
Lantas apa yang membuat Sukarno berubah pikiran?
Kegagalan Nuklir untuk Perdamaian
Pada 1958, Indonesia baru saja membentuk Lembaga Tenaga Atom (LTA). Lembaga yang ditujukan untuk meneliti dan mengembangkan energi nuklir ini merupakan kelanjutan dari Komite Nasional Tenaga Atom yang dibentuk pada 1954. Komite tersebut bertugas menyelidiki kadar radioaktivitas di wilayah Indonesia timur sebagai antisipasi dampak percobaan ledakan bom termonuklir yang dilakukan Amerika Serikat di Samudera Pasifik.
LTA pada dasarnya memiliki tugas yang lebih luas dibandingkan komite nasional. Melalui lembaga baru ini, Sukarno berharap Indonesia dapat mengejar ketertinggalan di bidang teknologi nuklir. Untuk itu, dia setuju mengikutsertakan LTA ke dalam program Atoms for Peace yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat, Eisenhower, pada 1953.
Robert M. Cornejo dalam tesis masternya yang berjudul When Sukarno Sought the Bomb: Indonesian Nuclear Aspirations in the mid-1960s (1999, PDF) mencatat kerjasama Indonesia-Amerika itu bermula pada Juni 1960. Kedua negara sepakat menandatangani perjanjian bilateral yang diikuti dengan pemberian dana bantuan sebesar 350 ribu dolar untuk membangun sebuah reaktor nuklir pertama bernama Triga Mark II di Bandung.
“Tujuan program ini adalah untuk mencegah pembiakan senjata nuklir dengan mengalihkan perhatian internasional dari pengembangan senjata ke arah penggunaan energi nuklir secara damai,” tulis Cornejo.
Selain mendapat bantuan keuangan dan teknis dari Amerika, Indonesia juga dikabarkan mendapat tidak kurang dari 5 juta dolar dari Uni Soviet. Menurut Iwan Kurniawan dalam Pembangunan PLTN: Demi Kemajuan Peradaban? (1996, hlm. 201) dana dari Kremlin itu datang satu tahun lebih awal daripada dana Atoms for Peace. Intervensi Soviet di bidang teknologi nuklir memaksa Amerika semakin gencar mengikat Indonesia menggunakan bermacam-macam perjanjian nuklir.
Persepsi tentang senjata nuklir di Indonesia ikut berubah setelah Cina melanggar Perjanjian Larangan Senjata Nuklir dengan melakukan uji coba ledakan bom atom pertamanya pada 16 Oktober 1964. Alih-alih menarik kemarahan di kalangan pejabat tinggi negara, hasil percobaan itu malah membuat mereka takjub seraya mengucapkan selamat melalui Duta Besar Republik Rakyat Cina di Jakarta.
“Bom atom bisa memiliki sifat agresif jika dipegang oleh negara agresif yang kapitalis, sebaliknya tidak demikian jika dipegang oleh negara sosialis,” kata Roeslan Abdulgani yang kala itu menjabat Menteri Penerangan seperti dikutip Cornejo.
Menanti Bom Kiriman dari Cina
Hanya berselang satu bulan setelah uji coba bom atom oleh Cina, Direktur Persenjataan Angkatan Darat Jenderal Hartono, mengusulkan agar pemerintah mempersenjatai angkatan militer dalam negeri dengan senjata nuklir. Hartono mempublikasikan usulannya ini melalui kantor berita Antara pada pertengahan November 1964.
Permasalahan nuklir di Indonesia tiba-tiba berjalan ke arah yang lebih politis setelah pernyataan Hartono mendapat rambu hijau dari Presiden Sukarno. Melalui Undang-Undang No.31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom, Sukarno mengesahkan peraturan yang mendukung penggunaan nuklir dalam usaha menyelesaikan revolusi nasional.
Pada Maret 1965, Sukarno merasa perlu memperluas pengaruh LTA dengan cara meningkatkan statusnya menjadi organisasi pemerintah. Masih di bulan yang sama, LTA berubah nama menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), sementara direktur utama LTA, Gerrit A. Siwabessy, diangkat menjadi Menteri Badan Tenaga Atom Nasional.
Setelahnya, Sukarno semakin percaya diri mengutarakan pidato di bulan Juli yang berisi dukungan terhadap rencana pembuatan bom atom. Pidatonya ini diikuti oleh laporan surat kabar Angkatan Bersenjata edisi 28 Juli 1965 yang dengan percaya diri menyebut bahwa uji coba peledakan bom atom pemerintah Indonesia akan dilaksanakan usai Konferensi Asia-Afrika yang dijadwalkan akan diadakan di Aljazair pada bulan Oktober.
Retorika bom atom di Jakarta semakin dibuat panas dengan munculnya kubu oposisi yang meragukan keabsahan ambisi nuklir Sukarno. Jurnalis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-1965 (2006, hlm. 358) menuliskan bahwa publik masih meragukan kemampuan Indonesia membuat bom atom sendiri seperti yang dibesar-besarkan oleh Sukarno.
Kendati banyak yang menganggap rencana tersebut sekedar propaganda, Amerika Serikat bersikap waspada. Negera adikuasa itu menduga Sukarno akan mencari solusi bom atom melalui pihak ketiga, yaitu Cina.
Menurut analisis Cornejo, uji coba nuklir oleh Cina sengaja dipublikasikan besar-besaran untuk menggiring revolusi yang tengah terjadi di berbagai negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Di saat bersamaan, Sukarno juga sedang terperangkap dalam ketegangan antara Angkatan Darat dengan PKI. Maka untuk mengamankan kekuasaannya, Sukarno berusaha mendapatkan dukungan rakyat melalui program nuklir pemerintah Cina.
Keberhasilan pembentukan poros Peking-Jakarta pada Januari 1965 secara tidak langsung mengarahkan pada pembicaraan seputar rencana rahasia kiriman bom atom dari Cina. Cornejo mengutip sebuah telegram dari Kantor Duta Besar Amerika di Jakarta yang mencurigai bahwa “Chicoms [Cina komunis] akan meledakkan bom atomnya di wilayah Indonesia.”
Dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005, hlm. 93), ahli politik dan sejarah Asia asal Ceko, Victor Miroslav Fic, mencatat sebuah pertemuan antara Presiden Sukarno dengan Marsekal Chen Yi di Jakarta pada bulan November dan Desember 1964. Dalam pertemuan itu disebutkan Sukarno berkeras agar Cina bersedia memasok bom atom yang akan diklaim sebagai uji coba pemerintah RI.
Usaha Sukarno tidak berbuah hasil karena Cina--seperti yang juga diutarakan oleh Cornejo--justru mengharapkan Indonesia membuat sendiri bom atomnya. Pada akhirnya rencana pengembangan senjata nuklir yang diidamkan Sukarno dikabarkan macet dan hanya berhasil mengumpulkan sebuah tim kecil yang bekerja secara rahasia.
Pada 1 Oktober 1965, cita-cita nuklir Sukarno tiba-tiba rontok. Pembunuhan enam anggota senior militer dan seorang komandan yang menurut narasi sejarah populer didalangi oleh PKI memicu huru-hara dan pembantaian besar-besaran. Hanya kurang dari enam bulan setelahnya, Sukarno sudah benar-benar tenggelam bersama rencananya membuat senjata nuklir.
Editor: Windu Jusuf