tirto.id - Awal Desember silam, publik Jerman digegerkan dengan penangkapan 25 orang ekstremis sayap kanan yang diduga akan melakukan kudeta “serangan bersenjata” terhadap pemerintah. Kasus ini menyita perhatian karena orang-orang yang ditangkap termasuk kalangan elite. Mereka yang ditahan meliputi seorang “pangeran” yang nenek moyangnya telah hidup di Jerman sejak abad ke-12, hakim sekaligus mantan anggota parlemen dari partai populis antiimigran Alternative für Deutschland (AfD), dan figur-figur yang pernah mengabdi di militer.
Komplotan tersebut dipersatukan oleh Reichsbürger ('Warga Negara Reich'/'Kekaisaran Jerman'), gerakan yang menolak pemerintahan modern Jerman pasca-Perang Dunia II sebagai republik federal dan menginginkan kembalinya sistem monarki Reich yang pernah hidup pada 1871 sampai 1918.
Tak bisa dimungkiri bahwa percobaan kudeta oleh sayap kanan di negara yang sesumbar sebagai “mercusuar kestabilan”—karena kemapanan sistem politik dan ekonomi—ini terdengar aneh dan absurd, seakan-akan diangkat dari novel fiksi misteri atau thriller. Tapi sebenarnya serangan yang melibatkan pejabat dan tentara bukanlah hal mengejutkan, setidaknya demikian menurut jurnalis yang banyak menelaah ekstremisme sayap kanan di Jerman, Peter Kuras.
Pria yang berbasis di Berlin ini mengatakan kepada NPRbahwakudeta tidak mengejutkan karena sudah ada “serangkaian konspirasi serius” di tubuh militer sejak lama. Alasan lain adalah badan pemerintah yang ditugaskan memonitor mereka sudah gagal. Lebih dari itu, tambah Kuras, terdapat semacam kesan tentang “adanya keterlibatan atau simpati nyata dengan tokoh-tokoh di berbagai bagian dari militer dan kepolisian di Jerman.”
Poin terakhir dia elaborasi lebih jauh dalam dalam artikel yang tayang Oktober silam di Economist. Di sana Kuras menulis tentang proses pengadilan seorang tentara dari pasukan elite Kommando Spezialkräfte atau KSK (mirip Kopassus). Dia dituntut karena menimbun dan mencuri persenjataan milik unitnya sendiri.
Terungkap bahwa prajurit tersebut juga mengoleksi Der Freiwillige, majalah yang terbit pasca-Perang Dunia II untuk dikonsumsi oleh bekas pasukan pribadi Hitler, Schutzstaffel atau SS, juga lembar-lembar kartu pos berisi slogan seperti “Kami berterima kasih pada Sang Führer”.
Pengadilan justru fokus pada perkara teknis dan motif kepemilikan senjata ilegal alih-alih asosiasi si tentara dengan pandangan kanan ekstrem. Mereka bahkan tidak memanggil saksi dari keluarga untuk memastikan jaringan pertemanan si pesakitan. Pendek kata, lanjut Kuras, negara masih bertindak terlalu hati-hati saat menghadapi kalangan ekstremis kanan terutama dari angkatan bersenjata.
Meskipun para hakim mengakui tentara tersebut punya pandangan politik kanan ekstrem, mereka tidak mendapati bukti bahwa itu akan jadi alasan untuk melakukan kekerasan atau terorisme.
Sebenarnya bukan hanya Kuras yang percaya bahwa infiltrasi sayap kanan sudah sedemikian dalam. Dua tahun silam, parlemen menegaskan bahwa institusi keamanan negara sudah terjerat oleh “struktur terorganisir sayap kanan ekstrem” sehingga isu ekstremisme perlu ditindak serius. Sementara menurut temuan radio Deutschlandfunk, tentara di dalam pasukan tentara elite KSK (yang kini diawasi pemerintah) berpotensi lima kali lipat punya keyakinan kanan ekstrem daripada tentara dari satuan biasa.
Bertahannya jaringan ekstremis sayap kanan di Jerman sampai hari ini, terutama yang berasosiasi dengan pandangan-pandangan Nazi, tidak bisa dipisahkan dari riwayat perseteruan Blok Barat dan Timur semasa Perang Dingin. Ketika itu, masih dipetik dari artikel Kuras, otoritas Jerman Barat dan Sekutu memfokuskan kebijakan keamanan demi melawan ancaman komunis Uni Soviet.
Saking besarnya ambisi untuk melawan Blok Timur, mereka tidak terlalu mengindahkan latar belakang pegawai pemerintah, agen intelijen, atau tentara yang baru direkrut (termasuk yang dulunya bekerja pada Nazi) sepanjang keahliannya berguna demi kepentingan kontra-komunisme.
Contoh terbaik dari ini adalah Reinhard Gehlen, komandan senior Nazi di front timur, yang kelak jadi kepala biro intelijen domestik pertama Jerman Barat. Gehlen kemudian merekrut Klaus Barbie, mantan pemimpin polisi rahasia Gestapo yang terkenal kejam karena membantai dan mendeportasi orang-orang Yahudi dan pasukan Resistance di Lyon, Perancis.
Segelintir fasis Nazi juga sengaja direkrut untuk mengisi kursi pemerintah karena dianggap dapat membantu menjaga tatanan publik. Alasannya adalah jutaan orang dulu pernah mendukung pemerintahan Nazi.
Kebijakan ini pada akhirnya membuat pandangan-pandangan ekstrem Nazi tidak betul-betul lenyap dari daratan Jerman. Mereka masih berkembang, diadopsi, dan diyakini oleh sejumlah personel terutama dari militer.
Kuras juga tidak menampik bahwa krisis pengungsi yang berlangsung di Jerman tahun 2015-2016 sudah mendorong radikalisme segelintir pihak, baik militer atau sipil. Maksudnya, dari yang awalnya berpandangan politik “sayap kanan biasa” jadi “sayap kanan ekstrem”.
Riwayat Serangan Ekstremis Kanan
Serangan dari kalangan ekstremis sayap kanan sebenarnya bukan hal baru atau unik di Jerman. Kurang lebih empat dekade ke belakang, selalu ada insiden besar oleh individu dan kelompok kanan jauh yang menimbulkan korban jiwa.
Salah satunya adalah pengeboman di festival Oktoberfest di Munich tahun 1980. Tragedi ini disebut-sebut sebagai “serangan teroris paling serius” dalam sejarah Republik Federal Jerman sejak 1949. Jumlah korban jiwa mencapai 13 orang, termasuk Köhler, sementara 200 orang lainnya luka-luka. Si pelaku, Gundolf Köhler, adalah mahasiswa geologi yang pernah bergabung dengan grup neo-Nazi terlarang dan memasang foto Hitler di kamarnya.
Motivasi Köhler memang masih jadi misteri sampai hari ini, namun ada dugaan dia ingin mengeruhkan iklim politik Jerman yang sedang panas-panasnya. Ketika itu sedang terjadi pemilu super kompetitif antara partai tengah-kiri SPD (Sosial Demokrat) dan partai tengah-kanan CDU/ CSU (Kristen Demokrat). Perdebatan tentang terorisme dan keamanan dalam negeri menjadi topik hangat di kalangan politikus dan media. Kemungkinan besar, Köhler berharap agar serangan bomnya disangka sebagai kelakukan teroris sayap kiri.
Pada awal dekade 2000, serangkaian aksi kekerasan dan pembunuhan dilakukan oleh grup neo-Nazi National Socialist Underground (NSU). Selama rentang tujuh tahun (2000-2007), mereka membunuh sembilan orang berlatar belakang imigran dan polisi.
Tahun 2018 silam, satu-satunya anggota NSU yang masih hidup, Beate Zschäpe, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup setelah 430 hari pengadilan dan testimoni 600 saksi mata. Peristiwa ini disebut sebagai pengadilan terbesar dalam sejarah Jerman pascaperang. Zschäpe juga dinyatakan bersalah karena terlibat dua kasus pengemboman, sejumlah perampokan, beberapa upaya pembunuhan, dan ikut berperan mendirikan organisasi teroris.
Meskipun terorisme NSU akhirnya terungkap di pengadilan, perwakilan keluarga korban kecewa karena proses investigasi berjalan tersendat akibat kelakuan badan intelijen Jerman sendiri. Mereka menghancurkan dokumen penting dan malah memberikan perlindungan pada informan bayaran di komunitas neo-Nazi.
Di samping itu, otoritas juga dianggap gagal karena tidak bisa menangkap jaringan NSU sewaktu mereka masih aktif. Bukti-bukti tentang eksistensi mereka sudah merebak luas sedari lama di kalangan neo-Nazi. Aparat kepolisian bahkan dituding dengan “rasisme institusional” karena mengabaikan motif terkait neo-Nazi saat melakukan investigasi awal.
Masih pada 2018, pengadilan tinggi di Dresden menjatuhkan hukuman penjara kepada delapan anggota Freital Group. Mereka dinyatakan bersalah di antaranya karena membentuk grup teroris, melakukan percobaan pembunuhan, dan aksi kriminal termasuk serangan ke pusat pengungsian dan politikus berhaluan kiri. Kelompok tersebut mempunyai bahan peledak yang daya hancurnya 130 kali lipat lebih kuat dari yang diizinkan oleh pemerintah.
Hakim menyimpulkan bahwa aksi mereka sudah dilandasi oleh xenofobia, ekstremisme sayap kanan, dan naziisme. Namun Freital menyangkal. Mereka menyatakan bahwa aksinya adalah untuk melindungi warga Jerman dari pengungsi, imigran, dan orang-orang yang berpandangan politik berbeda dari mereka. Mereka juga yakin bahwa Kanselir Jerman Angela Merkel, yang administrasinya menyambut kedatangan pengungsi, adalah “pengkhianat”.
Selain Freital Group, ada juga grup neo-Nazi Oldschool Society yang lebih dulu merencanakan bikin bom dan serangan pada kalangan Salafi dan pencari suaka. Namun, sebelum rencana itu dieksekusi, empat anggotanya sudah ditahan dan diadili pada 2016.
Kebencian kalangan kanan ekstrem terhadap warga keturunan imigran kembali menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar di Hanau, dekat Frankfurt pada 2020. Kala itu, seseorang bernama Tobias Rathjen, diduga beraksi sendiri, melakukan penembakan yang menewaskan sembilan orang imigran. Tidak hanya itu, dia juga menembak mati ibunya sendiri kemudian bunuh diri.
Sebelum eksekusi, Rathjen merilis manifesto yang menyatakan orang-orang tertentu dari Afrika, Asia, dan Timur Tengah “harus dimusnahkan” dari Jerman.
Kejahatan ekstremis tidak hanya memakan korban jiwa dari kalangan minoritas. Tahun 2019, Stephan Ernst menembak mati politikus Kristen-Demokrat yang mendukung kebijakan imigrasi Merkel, Walter Lübcke dari dewan daerah di kota Kassel. Ernst, yang punya akses terhadap jaringan neo-Nazi, kelak juga dituntut karena pernah berusaha menusuk pencari suaka asal Irak pada 2016.
Di samping aksi serangan dari grup atau individu sipil, potensi radikalisme sayap kanan di dalam tubuh militer juga menjadi perhatian pemerintah. Pada 2020 silam, otoritas Jerman membubarkan satu kompi pasukan elite KSK karena mendapati anggota-anggotanya bersinggungan dengan naziisme dan berpotensi melakukan kekerasan. Mereka menerapkan salam Nazi yang terlarang dan menimbun bahan peledak serta amunisi di rumah.
Kala itu, Layanan Kontraintelijen Militer melaporkan 500 tentara Jerman tengah diinvestigasi karena asosiasinya dengan ekstremisme sayap kanan. Seiring itu, sudah ada 20 kasus dari KSK sendiri yang sedang diproses. Jika ekstremisme kanan masih ditemui di sana, bukan tidak mungkin suatu hari nanti pemerintah akan membubarkan KSK seluruhnya.
Editor: Rio Apinino