tirto.id - Nazi Jerman memang sudah kalah 77 tahun silam, namun berbagai kisah tentangnya masih “hidup” sampai sekarang. Mereka diabadikan melalui lensa kamera industri sinema terlama di dunia, Hollywood, yang menurut sejarawan Neal Gabler dalam buku An Empire of Their Own: How the Jews Invented Hollywood (1988), “didirikan dan dioperasikan selama lebih dari tiga dekade oleh kaum Yahudi Eropa Timur.”
Salah satunya adalah The Inglourious Basterds (2009) karya Quentin Tarantino. Film ini menawarkan sejarah alternatif tentang Perang Dunia II yang diakhiri dengan kematian mengenaskan Adolf Hitler dalam kebakaran di bioskop Prancis. Di sana terdapat karakter keji dan menyebalkan bernama Kolonel Hans Landa yang dikenal sebagai “Pemburu Yahudi”, diperankan aktor Christoph Waltz.
Ada pula komedi satir Jojo Rabbit (2019), berkisah tentang bocah kecil lugu nan kesepian dari Jerman yang tergila-gila pada tentara Nazi. Hitler hadir sebagai kawan imajiner yang suka mencekokinya dengan kebencian terhadap orang Yahudi. Meski mengambil latar era perang, pesannya—tentang bahaya menanamkan bibit-bibit kebencian ras ke anak-anak—masih sangat relevan sampai sekarang.
Antagonis yang terinspirasi dari Nazi juga ditemukan dalam dunia superhero Marvel Cinematic Universe: organisasi teroris Hydra. Di Captain America: The First Avenger (2011), Hydra dinakhodai oleh Red Skull—sesuai namanya punya wajah tengkorak merah mengerikan—yang dulunya adalah staf Nazi dan dekat dengan Hitler.
Film lain yang diangkat dari komik superhero, Hellboy (2004), juga didukung tokoh antagonis ilmuwan Nazi yang suka pakai masker gas, Karl Ruprect Kroenen.
Penjahat Nazi juga muncul pada film-film era Perang Dingin, meski karakter antagonis lebih lazim disematkan pada orang Rusia. Misalnya karakter sipir perempuan sadis dalam film sarat kekerasan Ilsa, She Wolf of the SS (1975). Dalam thriller berjudul Marathon Man (1976), seorang penjahat perang Nazi bersaing dengan aktor Dustin Hoffman untuk mendapatkan berlian curian. Thriller lainnya yang diproduksi lewat kerja sama AS-Inggris, The Boys from Brazil (1978), mengisahkan ambisi dokter Nazi mengkloning Hitler untuk mendirikan negara Nazi baru atau Reich Keempat.
Dalam Raiders of the Lost Ark (1981) dan Indiana Jones and the Last Crusade (1989), dua film yang termasukwaralaba petualangan heroik arkeolog karya George Lucas dan Steven Spielberg, sang protagonis yang diperankan Harrison Ford berusaha mencegah agen-agen Nazi menguasai artefak-artefak langka. Benda tersebut diyakini punya kekuatan supranatural yang mampu membuat pasukan Nazi kian perkasa.
Dipelopori Warner Bros pada 1933
Kalangan seniman di Hollywood terutama pendatang Yahudi dari Eropa telah aktif mengampanyekan gerakan antifasisme dan anti-Nazi sebelum Perang Dunia II berkecamuk. Mereka misalnya mendirikan Hollywood Anti-Nazi League di Los Angeles pada 1936. Tokoh-tokoh pendukungnya termasuk sastrawan berhaluan kiri Dorothy Parker, sutradara Fritz Lang, aktor Fredric March, sampai komposer Oscar Hammerstein II.
Hitler mulai dibingkai sebagai karakter jahat di Hollywood tak lama setelah ia diangkat jadi kanselir pada Januari 1933. Pun dengan Nazi secara umum. Kala itu Hitler memang belum “resmi” jadi diktator (jabatan Führer baru dibuat pada musim panas 1934 setelah Presiden Paul von Hindenburg meninggal dunia), namun sikap sewenang-wenangnya, seperti mengganyang kaum komunis dan lawan politik serta mempersekusi kaum Yahudi Jerman, yang menurutnya merupakan “alien, agresif, ras inferior”, sudah tampak jelas.
Warner Bros Pictures, yang didirikan pada 1923 oleh empat bersaudara imigran Yahudi dari Polandia, menjadi perusahaan film paling sigap merespons kebangkitan fasisme di Jerman. Ketika pada 1933 Nazi memperkenalkan kebijakan boikot bisnis Yahudi dan membatasi distribusi film Hollywood, Warner Bros jadi studio besar pertama yang menutup cabang di Jerman pada Juli 1934. Keputusan ini diikuti oleh Paramount Pictures, Fox, dan MGM sekitar lima tahun kemudian.
Sekitar setengah tahun setelah Hitler naik ke tampuk kekuasaan, Warner Bros merilis serial kartun Looney Tunes yang menggambarkan sang pemimpin Nazi sebagai karakter bengis. Hitler mengacung-acungkan kapak sembari mengejar Jimmy Durante, karakter komedian Amerika yang punya hidung besar—merujuk pada karakteristik fisik khas orang Yahudi.
Sementara melalui Black Legion(1937), Warner Bros mengungkit ancaman fasisme di AS. Film ini bercerita tentang kekecewaan seorang pekerja pabrik karena koleganya yang kelahiran Polandia mendapat promosi jabatan lebih cepat. Ia kemudian bergabung dengan organisasi teroris pecahan Ku Klux Klan dan terlibat beragam aksi kejahatan terhadap imigran dan kalangan minoritas (Tema tentang radikalisme kanan di AS ini masih bisa ditemui hari ini seperti dalam BlacKkKlansman (2018)).
Confessions of a Nazi Spy(1939) menjadi film pertama Warner Bros yang secara blak-blakan menyorot ancaman Nazi terhadap demokrasi Paman Sam. Film ini dirilis empat bulan sebelum invasi Jerman ke Polandia—yang menandai awal mula Perang Dunia II. Seperti judulnya, film yang berdasarkan kisah nyata dari temuan FBI ini mengungkap jaringan mata-mata Nazi di New York yang ingin menghancurkan nilai-nilai kebebasan AS dengan cara menebarkan kebencian ras dan agama hingga memicu konflik antarkelompok sosio-ekonomi.
Selain perlawanan terhadap Nazi lewat budaya, langkah Warner Bros ini juga dianggap bentuk aktivisme politik paling awal dari Hollywood untuk mengkritik sikap pemerintah dan publik AS. Kala itu mereka cenderung isolasionis, cuek, dan tidak mau ikut campur perang-perang yang berpotensi meletus di Eropa meskipun pengaruhnya sampai ke negeri sendiri.
Motivasi tersebut ternyata banyak menghadirkan penolakan. Dilansir dari artikel karya profesor sejarah Steven J. Ross dari University of Southern Carolina, organisasi pro-Nazi di AS, German-American Bund, menuntut perdata Warner Bros setelah film itu tayang sebesar lima juta dolar. Mereka dianggap mencemarkan nama baik. Seratus orang di Kansas City bahkan menandatangani petisi untuk melarang pemutaran film, sementara warga di kota-kota lain mengancam bioskop yang mau memutarnya. Warga juga menulis surat protes langsung ke Warner Bros.
Protes juga disampaikan oleh pemerintah Jerman kepada Menteri Luar Negeri AS. Negara-negara yang dekat dengan pemerintah Nazi Jerman seperti Italia, Jepang, Belanda, Norwegia, dan Swedia turut melarang pemutarannya. Daftar tersebut menggelembung jadi 18 negara setahun kemudian.
Namun toh Warner Bros tetap melangkah. Masih dilansir dari artikel Ross, mereka kembali memproduksi film yang terang-terangan memusuhi orang Jerman dan rezim Nazi seperti Espionage Agent (1939), British Intelligence (1940), dan Underground (1941). Sementara The Sea Hawk (1940) dinilai sebagai propaganda untuk mendukung pemerintah Inggris, yang sejak 1939 sudah memerangi Nazi Jerman (AS baru menyusul setelah Jepang mengebom Pearl Harbour pada pengujung 1941).
Film Anti-Nazi Lain
Rumah produksi lain ikut melancarkan aktivisme serupa. Salah satunya rumah produksi kecil yang biasa merilis film-film kelas B, Producers Releasing Corporation. Mereka memperkenalkan Beast from Berlin(1939) sebulan setelah Perang Dunia II.
Dari produser besar Walter Wanger, lahir thriller spionase Foreign Correspondent (1940) yang isinya menyiratkan intervensi AS dalam Perang Dunia II. Film yang disutradarai Alfred Hitchcock ini menceritakan petualangan jurnalis New York yang dikirim ke Eropa untuk melakukan liputan sebelum perang meletus. Berawal dari kasus pembunuhan diplomat Belanda, si jurnalis semakin terlibat dalam upaya mengungkap konspirasi Nazi Jerman untuk menguasai Eropa. Ia kelak jadi “suara” Paman Sam di Eropa yang belum mengambil sikap.
Studio besar lain, MGM Studios Inc (salah satu pendirinya adalah pengungsi Yahudi kelahiran Rusia), merilis The Mortal Storm(1940). Drama yang diangkat dari novel Inggris ini menyoroti penderitaan kaum Yahudi—meskipun istilah “Yahudi” itu sendiri tidak muncul karena diganti dengan “Non-Arya”. Dikisahkan keluarga dari seorang profesor non-Arya di sebuah kampus Jerman tercerai-berai setelah Hitler berkuasa. Si profesor dikirim ke kamp konsentrasi karena menolak mengajarkan materi tentang keunggulan ras. Anak tirinya, yang bukan non-Arya, direkrut jadi tentara Nazi. Anak perempuannya tewas ketika hendak melarikan diri ke luar negeri.
Film ini dipuji karena sukses menggambarkan tragedi sekaligus mengundang amarah dari kalangan pro-Nazi di AS sampai-sampai beberapa bioskop yang menayangkannya diancam bom dan vandalisme.
Seniman serba bisa asal Inggris Charles Chaplin tak ketinggalan. Ia mempersembahkan komedi satir The Great Dictator (1940) yang blak-blakan menyoroti orang Yahudi sebagai target kebencian ras. Di situ Chaplin memerankan tokoh diktator fasis sekaligus tukang cukur Yahudi yang dipersekusi. Chaplin sempat mendapat peringatan bahwa filmnya mungkin akan dilarang di Eropa maupun AS karena terlalu berani (film ini baru diputar di Jerman pada 1958). Great Dictator kelakjadi box office dan dipuji sebagai mahakarya Chaplin.
Jauh sebelum merilis film tersebut, Chaplin sudah dianggap musuh oleh kalangan ultranasionalis Jerman. Dilansir dari Deutsche Welle, koran propaganda Der Stürmer pada 1926 menuding Chaplin sebagai orang Yahudi yang “sebagaimana maling kecil-kecilan, terus-menerus bermasalah dengan hukum.” Pernyataan rasialis itu sebenarnya hoaks belaka. Chaplin bukanlah orang Yahudi.
Dukungan Pemerintah Sejak 1942
Pemerintah AS akhirnya mendeklarasikan perlawanan terhadap Blok Poros (Jerman, Italia, Jepang) pada Desember 1941 sekaligus menjadi penanda keterlibatan mereka dalam Perang Dunia II. Sejak saat itu pula mereka mulai mendukung perkembangan film-film anti-Nazi.
Dilansir dari artikel Megan Feeney, setidaknya pada pertengahan 1942 agen yang dinakhodai Office of War Information sudah buka cabang di Hollywood. Mereka berdiskusi dengan sineas untuk menghasilkan hiburan—dari tema petualangan, komedi, musikal, drama cinta—yang juga mampu membangkitkan semangat dan dukungan publik terhadap upaya perang pemerintah.
Agen pemerintah ini dikabarkan tidak “mendikte”, tapi sekadar memberi saran, mengawasi naskah skenario, atau sekadar memberikan panduan. Nilai-nilai demokrasi dan kebebasan Amerika dikontraskan dengan ideologi fasis yang dibingkai sebagai “doktrin beracun”.
Salah satu film-film anti-Jerman yang kian marak bermunculan sepanjang 1942 adalah komedi satir berjudul To Be or Not To Be persembahan sutradara keturunan Yahudi asal Jerman, Ernst Lubitsch. Proses syutingnya dilakukan sebelum AS memutuskan ikut perang. Film dengan latar pendudukan Nazi di Polandia ini menceritakan tentang sekumpulan pemain teater yang menjadi bagian dari gerakan Resistance. Demi menyelamatkan gerakan mereka, para aktor memanfaatkan keahlian berakting dengan berpura-pura jadi tentara Nazi. To Be or Not To Be disebut-sebut sebagai komedi anti-Nazi terbaik bersama Great Dictator-nya Chaplin.
Tahun itu, Hitchcock menyutradarai film spionase menegangkan Saboteur yang salah satu adegan ikoniknya dilakukan di atas simbol demokrasi AS, Patung Liberty. Film ini, tentang mata-mata Jerman yang menyusup ke AS untuk bikin kacau industri penerbangan, menjadi penggambaran sederhana tentang bagaimana paranoia terhadap orang Jerman bisa ditemui dalam keseharian masyarakat AS.
Masih pada 1942, Mrs. Miniver diproduksi oleh MGM Studios. Kelak menang sebagai film terbaik dalam perhelatan Oscar, drama ini mengisahkan kehidupan rumah tangga keluarga Inggris dengan latar karut marut Perang Dunia II. Perdana Menteri Winston Churchill memujinya sebagai bentuk dukungan AS terhadap perang, sampai-sampai dikabarkan menganggapnya “sebanding dengan lima kapal perang atau 50 kapal perusak.”
Tahun itu juga drama romantis Casablancadirilis oleh Warner Bros. Meskipun isinya tidak terang-terangan anti-Nazi, kisahnya berpusar pada kebaikan protagonis ekspatriat Amerika dalam membantu pasangan suami-istri melarikan diri dari Maroko demi melanjutkan perjuangan melawan Jerman. Selama Perang Dunia II, negeri di Afrika Utara itu masih dikuasai oleh pemerintah kolonial Vichy Prancis yang berkolaborasi dengan Nazi.
Rumah produksi yang menyasar pemirsa anak-anak, Walt Disney Productions, tak ketinggalan ambil peran. Pada tahun baru 1943, mereka merilis petualangan Donal Bebek yang menjalani hidup tersiksa sebagai buruh pabrik di bawah rezim fasis Hitler dalam Der Fuehrer's Face. Rutinitasnya digambarkan konyol, misalnya harus memberikan hormat pada foto Hitler, Kaisar Jepang Hirohito, dan pemimpin fasis Italia Benito Mussolini persis setelah bangun tidur.
Editor: Rio Apinino