tirto.id - Laksamana Madya Chuichi Nagumo adalah perwira senior Kaigun (Angkatan Laut Kekaisaran Jepang) di front Pasifik. Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, dia adalah Panglima Armada Udara Pertama Kaigun.
Jika di Pearl Harbour amat gemilang, maka dalam Pertempuran Midway pada pertengahan 1942 dia jeblok. Nagumo kemudian dipulangkan ke Jepang untuk beberapa waktu. Dua tahun kemudian, dia mulai terlibat lagi dalam pelatihan Kaigun. Ketika Jepang kian terdesak di Pasifik, pada 4 Maret 1944 dia diberangkatkan ke Kepulauan Mariana untuk bertugas di Saipan.
Bagi pasukan Amerika Serikat, pulau seluas 115 km persegi ini amat strategis untuk melakukan penyerangan ke Tokyo. Jarak Saipan dengan Tokyo kira-kira dua ribu kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dengan pesawat pembom jarak jauh seperti B-29. Maka tak heran jika Amerika Serikat berusaha merebutnya, dan Jepang tentu saja mati-matian mempertahankan.
Sejak subuh 15 Juni 1944, tepat hari ini 76 tahun lalu, pasukan marinir Amerika Serikat telah bersiap. Pendaratan awal, yakni sebelum jam penyerbuan pada pukul 08.30, seperti dicatat Mayor Carl Hoffman dalam Saipan: The Beginning of the End (1950:45), “secara umum tidak ada laporan yang terlalu mengecewakan.”
Kapten John Chapin dalam Breaching the Marianas: The Battle for Saipan (1994:1) menyebut tanggal 15 Juni 1944 akan menjadi hari yang brutal. Sebelum pasukan marinir Amerika Serikat mendarat, pulau tersebut terlebih dahulu dihujani tembakan dari berbagai meriam.
Ketika waktu menunjukkan pukul 05.42, Laksamana Madya Richmond Kelly Turner memerintahkan agar pasukan marinir segera mendarat di bibir pantai beserta kendaran tempurnya. Gelombang serangan pertama adalah kendaraan amfibi lapis baja dengan meriam kaliber 75 mm.
Di Saipan, militer Jepang mempunyai 32 ribu tentara yang dipimpin Letnan Jenderal Yoshitsugu Saito. Dia bekerja di bawah komando Nagumo. PK Ojong dalam Perang Pasifik (2009:250) menyebutkan bahwa pertahanan Jepang tidak begitu baik. Musababnya dua: Pertama, kapal angkut Jepang yang biasa membawa pasukan dan pasokan logistik telah ditenggelamkan armada laut Amerika Serikat. Kedua, komando tertinggi Jepang mengira Saipan tidak akan diserang musuh.
Ketika Saipan diserang, Saito memerintahkan kepada 32 ribu tentaranya untuk menghancurkan musuh ketika tiba di pantai. Kompi G dari Batalion Marinir Pertama yang dipimpin Letnan John Chapin, jadi sasaran pertama pasukan Jepang ketika singgah di desa kecil bernama Charan-Kanoa untuk mengambil air. Pasukan ini baru tiba setelah perjalanan yang tidak menentukan dari pantai.
“Kami sedang mencuci dan beristirahat ketika tiba-tiba mortir mulai jatuh menimpa kami. Kami tidak mengetahuinya pada saat itu, tetapi di cerobong asap yang tinggi, di dekatnya ada seorang pengamat Jepang. Dia menatap kami. Tidak terpikir oleh kami bahwa seseorang dapat berada di cerobong asap setelah semua persiapan tembakan angkatan laut dan segala sesuatu yang telah ditembakkan ke daerah itu, tetapi ia berada di sana dengan baik-baik saja,” tutur John Chapin (1994:2).
Tentara Jepang banyak yang bersembunyi di dalam gua ketika meriam-meriam kapal angkatan laut Amerika Serikat menghujaninya dengan tembakan. Mereka harus bekerja keras menembus pertahanan tersebut. Penggunaan mortir oleh serdadu Jepang cukup memakan banyak korban dari pasukan pendarat Amerika Serikat.
Suasana pertempuran di Saipan sedikit banyak tergambar dalam film Windtalker (2002) yang disutradarai John Woo. Serdadu Jepang pelurunya terbatas, tetai punya nyali dan kesabaran yang mengagumkan. Dalam pertempuran di Saipan, seperti digambarkan dalam film tersebut, penggunaan kode Navajo oleh marinir Indian Navajo memang ada. Hal tersebut digunakan agar Jepang tidak bisa menangkap pesan antarpasukan Amerika Serikat.
Pertempuran berlangsung berminggu-minggu. Pada awal Juli 1944, Saipan makin terkepung. “Pada tanggal 4 Juli saya mendapati kenyataan bahwa kami telah dikurung sama sekali. Segala harapan telah hilang,” ungkap salah satu perwira staf Saito dalam buku hariannya, seperti kutip PK Ojong.
Kesehatan Letnan Jenderal Yoshitsugu Saito makin memburuk. Dalam sebuah rapat rahasia tentara Jepang, pilihan mereka adalah mati di gua atau mengadakan serangan dan bertempur sampai tumpas. Pilihan kedua diambil mereka yang masih sanggup berperang.
Saito yang sudah cukup tua sadar bahwa dirinya akan sulit dan menyulitkan anak buahnya jika terus ikut bertempur. Dia akhirnya memilih harakiri di dalam gua. Sebuah pesta perpisahan diadakan sebelum bunuh diri ala Jepang dilakukan pada 7 Juli 1944 pukul 10 pagi.
Dua jam sebelum harakiri, Saito membuat perintah harian kepada seluruh bawahannya di Saipan. Baginya, setelah lebih dari 20 hari melakukan perlawanan dengan baik bersama pasukan Jepang yang tersisa, dia mengatakan bahwa Tuhan sedang tidak memberinya kesempatan dan hanya kematian yang menanti mereka.
Setalah perutnya robek dan berburai oleh pedang pendek, Saito ditembak keningnya oleh bawahannya. Laksamana Madya Chuichi Nagumo melakukan hal yang sama. Setelah harakiri, bagian belakang kepalanya ditembak ajudannya. Bagi mereka, harakiri lebih terhormat daripada kalah.
Pada akhir pertempuran, Amerika Serikat menawan musuh yang hanya tersisa sebanyak 921 tentara Jepang, termasuk 17 perwira. Amerika Serikat kehilangan 3.426 serdadu dari total 67.451 orang. Terebutnya Saipan pada Juli 1944 adalah mimpi buruk bagi Jepang. Neraka seolah sudah di depan mata mereka.
Editor: Irfan Teguh