Menuju konten utama

Sisi Lain Revolusi: Angkat Diri Jadi 'Jenderal Nagabonar' & Menteri

"Ha, ini pemberontaknya?" kata Hatta. "Ya, saya pemberontak terhadap penjajah," balas Moestopo, yang mengangkat diri menteri pertahanan ad interim.

Sisi Lain Revolusi: Angkat Diri Jadi 'Jenderal Nagabonar' & Menteri
Ilustrasi: Pemimpin laskar mudah angkat diri sebagai jenderal di masa zaman revolusi pasca-kemerdekaan. Tirto/Lugas

tirto.id - Dunia perfilman Indonesia pernah memberikan gambaran soal kacaunya revolusi kemerdekaan Indonesia dengan cara yang kocak. Lewat Nagabonar (1987), Deddy Mizwar, kini politisi dan pejabat daerah, berperan sebagai mantan pencopet yang terlibat perjuangan revolusi dan mengangkat diri menjadi jenderal. Meski fiksi, gambaran yang diberikan film itu ada benarnya.

Kondisi tentara Indonesia yang belum mapan membuat beberapa orang, yang mematut diri pejuang, menentukan pangkatnya sendiri. Salah satu yang terkenal adalah Timur Pane di front Sumatera Timur. Pangkatnya kerap ditentukan berdasarkan jumlah pasukan yang dipimpinnya. Jika ratusan, harusnya cukup kapten atau mayor. Tapi ada yang melebihkannya hingga berpangkat jenderal.

“Timur Pane dapat mengumpulkan beberapa barisan, dan kesatuan yang besar yang diberinya nama Tentara Marsuse. Timur Pane menyatakan diri jenderal mayor dan mengangkat beberapa kolonel dan opsir-opsir menengah lain. Tentera Marsuse yang dipimpin oleh jenderal mayor Timur Pane ini menyatakan diri telah masuk dan menjadi TNI; pemimpin sampai anak buahnya memakai tanda pangkat militer,” catat buku Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara (1957).

Pejuang yang ditakuti seperti Timur Pane tentu bisa dicap sebagai warlord. Gaya hidup warlord sering kali berlebihan. “Kami dapat bertemu dengan Timur Pane di rumahnya, sebuah bungalo di tepi danau. Badannya pendek-kecil, mukanya separuh bagian bawah kebiru-biruan, matanya awas dan liar,” tulis Muhamad Radjab dalam Tjatatan di Sumatera (1958).

Timur Pane tampak berkuasa. Orang-orang tanpa senjata takut pada dia, sementara yang bersenjata bakal berpikir dua kali untuk berurusan dengannya.

“Jumlah tentara Republik Indonesia yang berperang sekitar Medan tidak besar jumlahnya. Yang banyak di sana ialah laskar-laskar yang tunduk pada tiga atau empat partai politik. Timur Pane yang tunduk kepada PNI sedang bertentangan dengan suatu laskar lain,” tulis Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979: 517).

Pernah ada kegilaan muncul dalam diri Timur Pane sampai-sampai Wakil Presiden Hatta—yang dianggap orang Partai Nasional Indonesia—harus turun tangan. Muasalnya: Timur Pane hendak membunuh sang pemimpin laskar lain bernama Sarwono.

“Sarwono telah ditangkap dan hendak dibunuhnya. Kupanggil Timur Pane ke tempat aku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh. Dia sendiri kusuruh pergi,” ujar Hatta. Perkara laskar alias paramiliter yang partisan jelas bikin pusing.

Infografik HL Revolusi 3

Kisah dari Surabaya

Jika Timur Pane adalah sosok pejuang yang mengangkat diri jadi jenderal ala Nagabonar, lain kisah mengenai dokter gigi Moestopo.

Sosok pejuang dari Surabaya itu mengangkat diri menjadi menteri pertahanan ad interim, tanpa persetujuan pemerintah. Menteri Pertahanan ad interim versi pemerintah sendiri dijabat oleh Imam Mohamad Suljoadikusumo. Kondisi Surabaya yang kacau barangkali menjadi alasan Moestopo melakukan hal itu.

“Sejak pecahnya pergolakan perebutan senjata Jepang dan disusul pendaratan tentara Sekutu, Moestopo adalah orang yang paling menonjol dan memikul tanggung jawab di Surabaya. Dialah orang pertama yang berhadapan dengan pemimpin tentara Jepang sewaktu terjadi pergolakan itu,” tulis Mukhardi dalam R Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya (1993: 89).

Banyak yang percaya Moestopo adalah menteri pertahanan ad interim. Sukarno dan Hatta dibuatnya kesal. Bagi orang macam Hatta—yang berusaha menghindari pertumpahan darah dan korban berlebihan, Moestopo bak pengacau. Hatta tahu militer sekutu sangatlah kuat dan militer Indonesia tidaklah siap kala itu.

"Pada pagi hari tanggal 30 Oktober 1945, drg. Moestopo dibawa ke Surabaya untuk menghadap Bung Karno dan Bung Hatta,” tulis buku Pertempuran Surabaya (1998: 91).

Dalam pertemuan itu, Hatta berkata: "Ha, ini pemberontaknya?"

“Ya, pemberontak terhadap penjajah,” ujar Drg. Moestopo.

Sukarno berusaha bersikap waras. “Sekarang saudara Moestopo saya pensiunkan dan saya angkat menjadi Penasihat Agung Presiden Republik Indonesia di Jakarta,” ujar sang presiden.

“Lalu siapa yang menggantikan saya sebagai Menteri Pertahanan ad interim, penanggung jawab Revolusi Jawa Timur? Siapa?” tanya Moestopo.

“Saya sendiri,” kata Sukarno.

Setelahnya, Moestopo memberi hormat militer dan balik pulang menuju rumahnya di Gresik. Setelah 1945, Moestopo dikenal sebagai sosok kolonel yang menggerakkan barisan tukang copet, perampok, dan pelacur ke garis pertahanan untuk menciptakan kerugian di pihak lawan. Pasukan yang dipimpin Moestopo itu dinamai Pasukan Teratai.

“Awal mulanya dibentuk di Yogyakarta atas kesepakatan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dengan dr. Moestopo yang bertujuan membersihkan Ibu Kota RI dari maling dan wanita tuna susila. Kemudian, kedua barisan tersebut dibawa oleh Mayjen dr. Moestopo ke front Bandung,” ujar Soehardiman dalam Kupersembahkan kepada Pengadilan Sejarah (1993: 33).

Namun, ide jenius itu tak tepat sasaran. Ada cerita yang menyebutkan bahwa Moestopo kecurian oleh pasukan copet yang dikerahkannya. Selain itu ada pelacur yang menyebarkan penyakit kelamin ke anggota pasukan Indonesia sendiri.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam