tirto.id - Kebanyakan pahlawan nasional Indonesia dari masa pra-kemerdekaan adalah orang-orang yang melawan Belanda. Sebut saja Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, sampai Bung Tomo. Menghadapi Belanda menjadi semacam syarat tak tertulis, meski motifnya bisa juga ekonomis dan politis.
Dari segenap pahlawan yang dikenal publik itu, tak banyak dari kita yang tahu ada Tionghoa yang melawan Belanda. Padahal, pada 1740, sewaktu Nusantara dikuasai maskapai Belanda bernama Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC) alias Kongsi Dagang Hindia Timur, pernah terjadi perlawanan orang-orang Tionghoa terhadap VOC.
Pada masa-masa itu, jumlah bangsa Tionghoa di mata VOC makin tak terkendali dan jadi masalah serius, karena kebanyakan adalah pengangguran. Ujung dari rasa frustasi orang-orang Belanda itu, pada 25 Juli 1740, Baron van Imhoff, anggota Raad van Indie (Dewan Hindia) memerintahkan orang-orang Cina pengangguran di sekitar Batavia dikurung, tanpa peduli mereka memiliki surat jalan atau tidak.
Gubernur Jenderal Adrian Valkenier akhirnya mengeluarkan perintah resmi untuk membunuhi orang-orang Cina pada 10 Oktober 1740. Semua orang Tionghoa yang telah ditahan atau sedang terluka juga dibantai, sedangkan harta-harta mereka dirampas. RP Suyono dalam bukunya yang berjudul Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial (2005), pembantaian itu berlangsung selama 3 hari. Sekitar 10.000 tewas, dan sekitar 600 hingga 700 rumah terbakar.
Orang-orang Tionghoa yang tersisa tak tinggal diam. Mereka memberontak. Daerah Tangerang jadi sasaran, tetapi mereka bisa dihalau. Tionghoa pemberontak itu bergerak ke arah timur. Pemberontakan meluas ke Semarang, Demak, Jepara, Rembang, dan Surabaya. Pos-pos VOC jadi sasarannya. Pemberontakan itu dikenal sebagai “Geger Pecinan”.
Pemberontakan itu bisa dibilang cukup besar. Jauh lebih masif dibanding pemberontakan PETA di Blitar pada 1945. Itulah kenapa sekarang di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) berdiri Monumen Heroik Laskar Tionghoa Lasem. Pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia pada perlawanan kaum Tionghoa ini adalah wajar, meski ada juga pihak-pihak yang tak senang.
Mereka yang memprotes umumnya mengaitkan monumen itu dengan Poh An Tui, milisi kaum Tionghoa pasca-kemerdekaan yang tak hanya berperang dengan Belanda, tapi juga dengan warga Indonesia lain. Gara-gara soal ini, budayawan sohor Betawi, Ridwan Saidi, bahkan menuntut pembongkaran monumen Poh An Tui.
Padahal jika mau dibuat daftar, tak hanya dalam “Geger Pecinan” saja orang-orang Tionghoa melawan Belanda. Setelah VOC bangkrut dan Hindia dikuasai Kerajaan Belanda, terjadi juga pemberontakan lain. Di Kalimantan Barat, 15 November 1912, orang Tionghoa menolak membayar pajak pada pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Setelah itu, pemberontakan orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat juga terjadi di tahun 1914.
Untuk menghadapinya, lagi-lagi pemerintah kolonial memakai politik devide et impera, politik pecah belah yang masyhur itu. Saat itu, nasionalis Dayak macam Cilik Riwut belum lahir. Kebanyakan orang Dayak belum mengalami kesadaran nasional, dan saat itu mereka memang sedang bermasalah dengan orang-orang Tionghoa. Belanda lantas menggunakan sentimen itu sehingga para pemberontak Tionghoa dikeroyok orang Dayak yang ahli gerilya. Ditambah serdadu kolonial bersenjata api bernama KNIL.
Perlawanan orang-orang Tionghoa yang dicap non-pribumi itu kerap luput dari sejarah Indonesia. Yang lebih sering diingat adalah posisi orang Tionghoa sebagai warga negara kelas dua, di atas kaum pribumi yang diperingkat sebagai kelas tiga. Mereka dicap musuh karena pemerintah kolonial mengkotak-kotakkan orang agar tinggal dalam kampung berdasarkan ras mereka. Itulah sebabnya muncul Kampung Cina, Kampung India, dan Kampung Arab.
Setelah menyerahnya Jepang yang diikuti proklamasi kemerdekaan Indonesia, beberapa kelompok kaum pribumi mengganas. Orang-orang Belanda, juga orang-orang yang dianggap bekerja pada Belanda menjadi sasaran amuk massa secara sadis. Peristiwa “Gedoran Depok” adalah salah satunya. Dalam kejadian itu, orang-orang Depok yang Kristen dan “Kebelanda-belandaan” jadi sasaran. Di Jakarta dan Bandung, orang-orang Belanda, juga Manado dan Ambon, jadi sasaran amuk. Mereka yang jadi sasaran menyebut masa itu sebagai “Masa Bersiap”.
Orang-orang Tionghoa juga terancam jadi sasaran amuk massa. Hingga suatu ketika, sebagian orang Tionghoa menerima bantuan senjata dari tentara Belanda. Dari situ, pasukan penjaga kampung Tionghoa yang dianggap eksklusif terbentuk. Pasukan milisi kecil yang kemudian berdiri di kota-kota besar ini bernama Poh An Tui. Mereka kerapkali bertindak kejam pada pejuang dan rakyat Indonesia, bahkan dianggap lebih kejam dibanding tentara Belanda.
Orang-orang yang anti-Tionghoa kemudian lebih mengingat Poh An Tui ini ketimbang peristiwa “Geger Pecinan”. Pejuang Tionghoa yang memang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dilupakan. Mereka yang anti-Tionghoa itu seakan tak mau tahu bahwa ada orang Tionghoa pejuang seperti John Lie dan Oey Ho Tjay (Gono Tirtowidjojo).
Padahal, pernah ada film Mustika Ibu (1976), yang mengisahkan perjuangan Oey Ho Tjay, tokoh pemuda Tionghoa yang belakangan jadi pengusaha kapal dermawan. Soal sepak terjang John Lie yang mati-matian mencari bantuan dan dukungan di luar negeri untuk Indonesia pun terlupakan. Kisah John Lie dan beberapa tokoh Tionghoa lain yang berjuang untuk Indonesia juga disinggung dalam buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran (2014) karya Iwan Ong Santoso.
Kisah-kisah itu memperlihatkan contoh orang-orang Tionghoa yang membela Indonesia, selain orang-orang yang dianggap asing lain seperti Arab, India, juga Yahudi. Namun, di sisi lain membicarakan orang-orang pribumi yang berpihak pada Belanda bisa dibilang tabu.
Pada kelompok itu, ada satuan bernama satuan bersenjata Belanda bernama Hare Majesteits Ongeregelde Troepen (HAMOT) alias Laskar Sri Ratu. Soal HAMOT pernah disinggung dengan baik oleh Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010).
Jangan lupa juga bahwa dalam pelajaran sejarah ada seorang bernama Abdulkadir Widjojoatmodjo. Fisik dan namanya bisa saja dianggap asli, tapi ia menjadi Ketua Delegasi Belanda dalam perundingan Renville. Selain yang diajarkan dalam buku sejarah di sekolah, ada juga Soerio Santoso. Ia adalah turunan ningrat Jawa yang menolak posisi sebagai pejabat militer Indonesia dan memilih menjadi tentara Belanda dengan pangkat letnan kolonel.
Di luar nama-nama itu, masih ada nama lain yang begitu loyal pada Kerajaan Belanda dan tak mau membela republik, setidaknya sampai Belanda kalah dan angkat kaki dari Indonesia. Namun, wacana sejarah yang beredar di Indonesia seringkali tak berimbang, bahkan kadang terkesan rasis dan sektarian.
Pahlawan yang diketahui kerapkali hanya kaum mayoritas saja dan meluputkan mereka yang minoritas. Akhirnya, berseliweranlah isu-isu yang diliputi kebencian. Kabar simpang-siur yang mengelirukan monumen peristiwa “Geger Pecinan” dengan Poh An Tui adalah salah satu bentuknya.