Menuju konten utama

Kegagalan Belanda Menguasai Perairan Nusantara

Belanda berupaya menguasai pula perairan saat menjajah Indonesia. Namun hal tersebut tak pernah terealisasikan.

Kegagalan Belanda Menguasai Perairan Nusantara
Replika kapal dagang VOC di Amsterdam. FOTO/modelships.de

tirto.id - Jika di dunia Barat ada istilah “fatherland” atau “motherland” untuk mendeskripsikan tempat atau wilayah asal, Indonesia memiliki kata “tanah air” atau dapat diterjemahkan sebagai “land-water” maupun “waterland”. Menurut Michele Ford dalam Indonesia beyond the Water's Edge (2009), kata ini muncul sebab di Indonesia air adalah pemersatu dan satu kesatuan dengan tanah, bukan medium pemisah seperti yang dianggap di Barat.

Kita mendapati “air” dan “tanah” sebagai satu kesatuan dalam kerangka “archipelagic state” atau “negara kepulauan”.

Namun Indonesia tidak serta merta lahir–pada 1945 versi kita atau 1949 versi Belanda–sebagai negara kepulauan. Ia diupayakan sedemikian rupa.

Adalah Djuanda Kartawidjaja yang mendeklarasikan bahwa bahwa Indonesia memiliki kedaulatan penuh atas seluruh perairan yang terletak dalam garis pangkal lurus yang ditarik antara pulau-pulau terluarnya. Sebelum itu, hampir semua perairan yang terbentang di antara pulau-pulau terbuka untuk kapal-kapal dari semua bangsa.

Deklarasi yang dikeluarkan pada 13 Desember 1957 itu dikenal dengan nama pencetusnya, Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini kemudian dijadikan undang-undang tiga tahun kemudian.

Deklarasi Djuanda membuat banyak negara marah. Sebabnya sederhana: tidak ada dasar yurisdiksi–yang diakui dunia internasional–apa pun soal kepemilikan laut kala itu. Beruntung, setelah perjuangan panjang, pada 1982 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan via United Nations Convention on the Law of the Sea.

Konvensi ini berdampak signifikan tak hanya bagi Indonesia. Konvensi melahirkan tipe negara baru, yaitu “negara kepulauan”, yang mengakui adanya “archipelagic water” atau “territorial sea”. Dengan ini sebuah negara memiliki tingkat kedaulatan yang sama atas perairan–entah muara sungai, teluk, dan yang lain–sebagaimana daratan.

Konvensi ini juga memberikan hak kepemilikan atas wilayah perairan hingga 12 mil dari garis pantai, memanjang dari “kesepakatan bersama” bangsa-bangsa sebelumnya, yakni hanya 3 mil. Zona Ekonomi Eksklusif, zona yang memberikan “hak berdaulat” atas segala isi kekayaaan hayati dan non-hayati hingga sejauh 200 mil dari garis pantai suatu negara, juga ditetapkan.

Lahir sebagai negara yang wilayahnya terpisah-pisah di antara Semenanjung Melayu di barat hingga Papua di timur, via Deklarasi Djuanda dan pengakuan PBB, Indonesia akhirnya berlabuh sebagai satu negara utuh–dalam arti geografis–melalui medium air. Ini adalah situasi yang, uniknya, tak pernah diperoleh Belanda saat menjajah. Belanda tak pernah bisa membuat Hindia Belanda menjadi negara kepulauan meski telah mengupayakannya sejak akhir abad ke-19.

Australia adalah Koentji

Di akhir abad ke-19, menurut John G. Butcher dalam Sovereignty and the Sea (2017), tidak ada sanksi apa pun yang bakal diperoleh kapal-kapal seandainya melintasi perairan mana pun, termasuk yang dikuasai kekuatan besar kala itu.

Larangan atau pembatasan sebenarnya telah ada jauh sebelumnya. Misalnya Portugis mensyaratkan kapal berbendera asing untuk meminta izin andai ingin berlayar ke Samudra Hindia. Lalu Raja Charles I mengklaim kedaulatan penuh atas Sea of England. Kemudian Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melarang kapal selain milik mereka melintasi Spice Islands Seas.

Apa sebab tidak ada hukuman? Sebagaimana digaungkan ahli hukum dan filsuf Hugo Grotius melalui buku Mare Liberum pada 1609, laut atau wilayah perairan kala itu diyakini sebagai milik bersama semua bangsa. Grotius berujar bahwa laut “tidak dapat menjadi milik siapa pun” sebab “sangat tidak terbatas–tidak ada patokan yang jelas di mana dimulai dan di mana berakhir.”

Meskipun laut sebagai common property diamini seluruh bangsa kala itu, upaya melindungi wilayah perairan–dalam kerangka terbatas–tetap dilakukan.

Dasarnya adalah pengembangan dari pemikiran ahli hukum Cornelius van Bynkershoek. Pada 1702, dia menyatakan bahwa “kekuatan atas tanah berakhir di mana kekuatan senjata berakhir.” Banyak negara, misalnya Prancis dan Spanyol, memperlakukan wilayah perairan dengan cara yang sama.

Mereka menganggap memiliki kuasa atas air hingga tiga mil dari garis pantai. Penetapan tiga mil sebab itulah jarak terjauh peluru meriam mampu melesat kala itu–hasil penelitian bangsawan Italia bernama Galliani. Oleh karena itulah dua negara tersebut mewajibkan kapal-kapal yang hendak lepas jangkar atau menepi meminta izin terlebih dahulu.

Maka, meskipun kapal berbendera Belanda dapat melintas perairan antara Bora-Bora dan Taha’a (koloni Prancis) dengan nyaman, misalnya, mereka tak dapat sesuka hati menepi untuk menikmati indahnya French Polynesia.

Namun, lagi-lagi, dalam praktiknya, kembali merujuk Butcher, aturan tersebut jarang ditegakkan. Musababnya, meskipun Spanyol dan Prancis sebagai negara yang menjunjung tinggi aturan tersebut pun berstatus penguasa dunia, kekuatan mereka tak sebesar Inggris.

Inggris muncul dengan aturan yang bertolak belakang. Mereka merilis Navigation Act pada 1800-an guna memaksa segala kekuatan di dunia membuka pelabuhan bagi siapa pun, khususnya kapal-kapal perdagangan (terlebih, tentu, yang berbendera Inggris). Peraturan ini, kata Butcher, tidak lain karena Inggris “berupaya melindungi kepentingan ekonominya yang dihasilkan dengan mengekstrak kekayaan di pelbagai tempat di dunia yang juga dijadikan tempat pemasaran.”

Paksaan tersebut dilanjutkan dengan Territorial Waters Jurisdiction Act pada 1878. Isinya menghukum negara mana pun yang menggunakan kekuatan militer untuk melindungi wilayah perairannya, wabilkhusus yang berjarak lebih dari tiga mil dari garis pantai.

Belanda, yang harus diakui sebagai kekuatan dunia pula saat itu, pun harus mengikuti aturan main ini, termasuk untuk koloninya, Hindia Belanda. Apalagi mereka telah bertekuk lutut via Anglo-Dutch Treaty yang ditandatangani pada 1784 (dan dimutakhirkan pada 1824).

Penaklukan ini ironis sebab, sebagaimana yang dinyatakan H. G. de Jong dalam “Extension of the Territorial Sea of the Kingdom of the Netherlands” (Netherlands International Law Review, Vol. 30 1983), Belanda adalah negara yang memproklamirkan kedaulatan wilayah perairan sejauh tiga mil dari garis pantai. Bahkan Belanda sebetulnya ingin melebarkan aturan tersebut–menjadi 12.

Meskipun konsep negara kepulauan belum lahir kala itu, Belanda melihat perairan bukan sebagai pemisah pulau-pulau di Nusantara, melainkan “zee communicatielijnen” atau 'jalur komunikasi'. Inilah juga mengapa Belanda mendirikan perusahaan pelayaran Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.

Di bawah bayang-bayang Inggris, Belanda tak berkutik melihat kapal-kapal dari berbagai bangsa–termasuk kapal-kapal dari tempat yang memiliki kedaulatan terbatas di Nusantara, disebut wilayah zelfbesturende landschappen–melintas dan menepi di segala titik kekuasaan.

Belanda tentu khawatir dengan tren ini. Dengan terpaksa mengizinkan kapal mana pun berlayar dan bersandar di Hindia Belanda, Belanda khawatir jalur komunikasinya dalam mempertahankan kekuasaan di Nusantara, yang berpusat di Batavia, terganggu.

Tak kurang satu dekade sejak diundangkan Kerajaan Inggris, Belanda manut-manut saja. Namun, kelakuan pelaut-pelaut Australia pada akhir 1800-an mengubah segalanya.

Kala itu sekelompok petualangan cum pedagangan asal Australia tiba di Nusantara menggunakan kapal bernama The Coral Sea. Mereka tergiur dengan perdagangan cangkang mutiara di Dobo di kepulauan Aru sebagaimana deskripsi Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago.

Di Nusantara, tepatnya di perairan Maluku/Ambon hingga Papua Barat, mereka mulai mencari cangkang mutiara, terutama Pinctada maxima. Apa yang mereka lakukan dianggap merampok kekayaan alam, khususnya oleh penguasa Belanda yang mengurusi Ambon kala itu, D. Heijting.

Heijting kemudian melapor pada atasannya di Batavia, namun tak digubris. Alasannya sederhana, yaitu menurut Batavia apa yang dicari bukan di tiga mil dari lepas pantai.

Karena skala pencarian kian masif, Heijting kembali melaporkan kegelisahannya dan meminta pusat segera bertindak.

Yang menarik, dalam laporan kedua ini, Heijting menyebut bahwa wilayah yang dieksploitasi Australia, tepatnya sisi timur Kepulauan Aru atau Arcterwal, dianggap milik masyarakat setempat. “Terdapat konsep kepemilikan atas wilayah perairan dalam khazanah Nusantara,” katanya coba meyakinkan atasannya. Konsep ini tak pernah ada dalam alam pikiran Barat.

Seketika, Belanda memiliki amunisi untuk membebaskan “zee communicatielijnen” dari pengaruh yuridis Inggris. Mereka pun menyelenggarakan riset untuk mengetahui konsep kepemilikan perairan.

Infografik Mozaik Kapal VOC

Infografik Mozaik Kapal VOC. tirto.id/Ecun

Dari riset ini diketahui bahwa: Sultan Ternate dan Tidore punya hak penuh atas mutiara di laut Maluku Utara; para penguasa di sepanjang pantai timur Kalimantan memiliki hak atas sumber daya yang ditemukan di terumbu karang di lepas pantai; Sultan Gunung Tabur memberlakukan pungutan atas semua hasil laut yang dikumpulkan di terumbu karang tertentu di Laut Sulawesi; dan penguasa adat di sepanjang pantai timur dan pantai barat Sumatra menganggap lepas pantai sebagai milik mereka dan oleh karena itu memungut pajak atas hasil lautnya.

Belanda akhirnya membuat keputusan bulat. Bukan menerbitkan aturan untuk melarang kapal-kapal dari segala bangsa melintas dan bersandar di Hindia Belanda, tetapi tidak membolehkan eksploitasi kekayaan hayati dan non-hayati dari perairan yang dikuasainya.

Memasuki abad ke-20, Belanda kian gencar berupaya mempecundangi Inggris dengan merilis undang-undang tentang perikanan. Mereka mewajibkan kapal berbendera non-Belanda izin andai hendak berlayar atau bersandar dalam radius kurang dari tiga mil dari lepas pantai.

Tentu saja Inggris (dan Australia) berang dengan aturan ini. Pemilik kapal Australia Raymond O’Kelly bahkan menyebut bahwa aturan main ciptaan Belanda ini sebagai “aturan anjing”.

Namun, tak ingin bertikai, Inggris akhirnya manut dengan manuver Belanda. Inggris juga memaksa O’Kelly meminta maaf karena berkata kasar.

Di titik ini Belanda melihat ada jalan keluar untuk benar-benar menguasai tanah dan air Nusantara. Aturan ini hendak mereka jadikan batu lompatan untuk melegalkan penguasaan terhadap wilayah air yang lebih luas, yaitu 30 mil dari garis pantai. Mereka juga menelurkan konsep “negara kepulauan”.

Nahas, memasuki abad ke-20, Belanda dihimpit dua perang dunia. Mereka juga terkoyak oleh semangat kemerdekaan dari kolonialisme Barat yang memercik di pelbagai tempat di dunia. Akhirnya, keinginan ini tak pernah terwujud karena Hindia Belanda keburu merdeka dan menjadi negara modern bernama Indonesia.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Rio Apinino