Menuju konten utama

Nasib Pribumi Depok

Para keturunan budak Chastelein itu kini termasuk orang paling malang. Mereka seperti dijauhkan dari sejarah hanya karena dianggap Belanda. Padahal mereka punya darah Indonesia juga. Nenek moyang mereka berjasa membuka lahan yang kini menjadi kota Depok.

Nasib Pribumi Depok
Suasana kota Depok dengan latar belakang kota Jakarta. [Antara foto/Prasetyo Utomo]

tirto.id - Orang Depok Asli dilarang membangun tugu untuk mengenang Chastelein, pelaku sejarah yang telah memberikan nenek moyang orang Depok Asli kebebasan dan tanah ratusan tahun silam.

Rencana itu ditentang oleh ormas, yang diamini oleh pemerintah Depok. Tugu itu dianggap berbau Belanda penjajah.

Orang-orang Depok asli, dalam hal ini jelas terpinggirkan. Depok makin dipenuhi para pendatang, tanpa ada tentangan dan gangguan dari keturunan budak dari 12 Marga Depok yang dulu diberi hak untuk menempati tanah yang dibeli oleh Chastelein tersebut.

Mereka lebih dicap sebagai Belanda Depok yang tidak diberi hak berekspresi sebagai keturunan budak yang dibebaskan Chastelein tiga abad tiga tahun silam. Padahal tugu itu barangkali semacam ucapan terima kasih mereka pada Chastelein.

Mantan Budak-budak Chastelein

Di Depok tak ada yang peduli lagi dengan Chastelein. Dikenang pun tak boleh. Meski dia Belanda Kristen, dialah yang pertama kali membuka lahan di Depok, tentunya dengan bantuan budak-budaknya. Chastelein adalah pegawai tinggi di Vereniging Oost-Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang Hindia Timur yang diberi kuasa atas Indonesia.

Menurut salah satu keturunan budak pendiri Depok, Yano Jonathan, dalam bukunya Depok Tempo Doeloe (2011), pada 18 Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli wilayah Depok dari VOC, tempat dia bekerja. Chastelein sudah bekerja di VOC sejak, 1674, ketika umurnya 17 tahun, sebagai pegawai pembukuan. Sebelum membeli wilayah Depok, di tahun 1693, Chastelein juga membeli beberapa tanah di sekitar Lapangan Banteng dan Pasar Senen Jakarta, untuk dijadikan perkebunan. Wilayah itu dulu pernah dinamai Waltevreden atau Jakarta Kota.

Chastelein juga membeli tanah di sekitar Lenteng Agung sebelum membeli tanah-tanah di selatan, yakni wilayah Depok. Wilayah itu dijadikan ladang penghasil tebu, lada, pala dan kopi. Chastelein memiliki sekitar 150 budak.

Bagi bekas budak-budaknya dan juga keturunannya, Chastelein adalah sosok yang baik hati. Di zaman Chastelein hidup, perbudakan adalah hal biasa. Orang-orang kalah atau berutang seringkali dijual dari pedagang budak ke tuan tanah kaya. Seringkali, budak-budak itu berasal dari daerah yang belum tersentuh agama Islam maupun Kristen. Para pedagang budak biasanya dari Kesultanan atau kerajaan Islam dan orang-orang Belanda Kristen yang tinggal di kota-kota pelabuhan sering membelinya. Pahlawan Untung Suropati pun menjalani masa kecil sebagai budak.

Budak-budak Chastelein sendiri ada yang berasal dari berbagai macam suku di Indonesia. Budak dari Bali diperkirakan sebagai orang-orang yang ditangkap Raja Lombok. Budak-budak Makassarnya adalah orang-orang yang dulu ditangkap oleh pasukan Arung Palaka dari Bugis Bone yang berseteru dengan Gowa Makassar. Budak-budak itu dijual ke pihak lain sebelum dibeli oleh Chastelein. Budak punya nilai yang ekonomis, karena mereka dipekerjakan di ladang atau di rumah gedongan yang besar. Kebaikan Chastelein tentu seperti mukjizat bagi para budaknya.

Dalam wasiat tertanggal 13 Maret 1714, yang dibacakan setelah kematiannya pada 28 juni 1714, Chastelein membagikan lahan-lahan itu kepada bekas budak yang dia merdekakan. Budak-budak itu berasal dari aneka daerah mulai dari Betawi, Bali, Makassar, Benggala dan lainnya. Sebagian budak yang dibebaskan mendapatkan nama Belanda seperti Leonora, Florin, Jan, Lukas, Clara, Catharina, Cicilia dan lainnya.

“Dan sudah semua budak-budak itu dan turun-temurunnya tiada mendapat kesukaran dan kesusahan akan mencari rizekynya, maka aku beri pada sekalian budak-budakku yang tersebut di atas dan pada anak-anak dan cucu-cucunya dan turun-temurunnya yang dimerdekakan sehabisnya aku meninggal dunia, tiga potong tanah yang bersisi satu sama lain di sebelah barat sungai besar, yaitu: Mampang, Depok dan Karanganyar,” wasiat Chastelein yang diterjemahkan Kho Tjeng Bie.

Setelah Chastelein dan keturunannya Anthony Chastelein meninggal, tanah-tanah yang tidak diwariskan pada budak diambil alih oleh VOC lagi. Tanah-tanah yang diwariskan Chastelein itu antara lain diberikan pada budak-budak bermarga: Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Leon, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh. Duo vokal The Blue Diamond, Ruud dan Riem de Wolff, yang sohor blantika musik Negeri Belanda adalah keturunan dari marga Leon. Mereka bermigrasi pada 1949 dari Indonesia ke Belanda.

Menurut Yano Jonathan, dari dua belas marga itu, saat ini tersisa sebelas marga saja. Karena marga Zadokh telah habis karena keturunannya kebanyakan adalah wanita. Menurut Antropolog Belanda Dr van Fraassen dari Universitas Leiden, nama-nama marga itu adalah nama baptis mereka setelah menganut agama Kristen.

Setelah Chastelein meninggal dan Depok berkembang menjadi kota, ada marga-marga lain yang tinggal di Depok. Seperti Missijer, Madjan, Ninkeula, Gorter, Atje, Samallo, Abast, Empi, Law Teng Seng, Pa Tung, Po Liem. Marga-marga itu nampaknya bukan dari keturunan Belanda juga. Beberapa nama marga terakhir adalah Tionghoa dan lainnya kemungkinan besar dari suku-suku di Indonesia juga.

Sisa-sisa Republik Depok

Setelah Chastelein meninggal, seorang bernama Jarong van Bali, mantan budak yang paling tua, menjadi pemimpin komunitas yang didirikan Chastelein itu. Setelah Jarong meninggal, pemimpin komunitas Depok dipilih berdasar musyawarah, tidak lagi berdasar keturunan dan persetujuan VOC atau pemerintah kolonial.

Depok kemudian diberi wewenang untuk memiliki pemerintahan sendiri. Depok memiliki pemimpin komunitas yang disebut sebagai Presiden dan dipilih sendiri seperti halnya sebuah negara Republik. Depok akhirnya tampak mirip seperti sebuah negara tersendiri. Menurut Yano, jika dilihat dari tugasnya, Presiden Depok lebih mirip sebagai walikota ketimbang kepala negara atau kepala pemerintah.

Presiden hanya mengurus masalah administratif wilayah dan warga Depok. Meski punya wewenang sendiri, Depok tetaplah bagian dari Hindia Belanda juga. Toch Depok tidak punya tentara seperti lazimnya sebuah negara. Jadi Depok adalah sebuah Gemeente (kotapraja) saja. Tidak lebih, hanya istimewa saja.

Presiden Depok pernah dijabat oleh Martinus Laurens, Leonardus Leander, Gerrits Jonathans dan Johannes Matijs Jonathans. Di zaman kolonial Hindia Belanda, warga Depok yang Kristen itu hidup seperti orang-orang Belanda. Di Depok, selain terdapat gereja Kristen, ada juga sekolah Zending. Setidaknya Depok punya Europe School yang elit di mata kaum pribumi bagi anak-anak yang status orang-tua mereka disamakan dengan orang Belanda. Lalu ada juga Depoksche School untuk anak pribumi.

Depok kemudian juga menjadi jalur kereta api. Berdasar keputusan pemerintah nomor 1 tanggal 27 Maret 1864, De Nederlandsche Indie Staatspoorwes Maatschappij (NISM) diperintahkan untuk membangun jalur rel dari Jakarta ke Bogor. Proyek sepanjang 58 KM yang dikepalai oleh Ir J.P. Bordes, yang dimulai 1869 itu, rampung dan beroperasi untuk umum pada 31 Januari 1873. Stasiun Depok Lama adalah stasiun tertua di Depok.

Warga Depok yang dekat dengan Belanda sempat mengalami petaka di masa lalu. Mereka pernah jadi korban masa bersiap, yakni ketika orang-orang pribumi yang gelap mata menjadikan orang yang dianggap Belanda, Belanda Item atau Belanda totok betulan, jadi sasaran penganiyaan, perampokan dan pembunuhan. Konon, Republik Depok ini dituduh tak mau menerima kehadiran Negara Republik Indonesia yang baru berdiri.

Dalam buku Gedoran Depok (2011) yang ditulis Wenri Wanhar, menyebut Depok diserang laskar rakyat dari segala penjuru. Setelah diserbu pada 11 Oktober 1945, orang-orang Depok itu ditawan dan harta benda mereka dirampas. Tentu saja dengan mengatas nama revolusi kemerdekaan.

Suka tidak suka, orang-orang Depok ini punya sejarahnya sendiri. Darah-darah mereka jelas Indonesia. Nenek moyang mereka, dengan bantuan Chastelein, telah membuka lahan-lahan yang sekarang menjadi kota Depok. Para pendatang bebas berdatangan tanpa rasa iri juga gangguan dari para keturunan budak Chastelein ini.

Baca juga artikel terkait KOTA DEPOK atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti