tirto.id - Jakob Oetama gelisah sore itu. Ia berhadapan dengan dilema raksasa yang harus secepat mungkin diputuskan. Sebagai pemimpin redaksi KOMPAS, koran pagi yang ketika itu baru berumur tiga bulan, Jakob harus memilih satu dari dua pilihan: menurunkan pengumuman 'Dewan Revolusi' serta pernyataan setia kepada pemimpin Gerakan 30 September atau menolak memuat berita dan pernyataan sama sekali tetapi harus rela korannya diberedel.
Ia terus berpikir sepanjang perjalanan ke percetakan Massa Merdeka di Petojo Selatan 11 dari kantor di Pintu Besar Selatan, Jakarta. Akhirnya keputusan diambil: KOMPAS tidak akan menyatakan kesetiaan kepada pemimpin Gerakan 30 September. Apa pun yang akan terjadi, ia telah siap menanggungnya.
Rekan seperjuangan yang mengemudi di sebelahnya, Auwjong Peng Koen atau P. K. Ojong, menguatkan pertimbangan itu. “Jakob,” kata Auwjong, “Kita tidak akan melakukannya. Sama saja ditutup sekarang dan mungkin menderita sekarang atau beberapa hari lagi!” Jakob lega sebab ternyata Auwjong sepemikiran. “Baiklah, saya usul juga sikap ini disampaikan ke Pak Kasimo,” jawab Jakob.
Pak Kasimo yang disebutkan Jakob tak lain adalah Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Ketua Umum Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) dan Ketua Yayasan Bentara Rakyat yang saat itu tercatat sebagai perusahaan yang menerbitkan KOMPAS.
Jakob dan Auwjong mencoba bertemu Kasimo sepulang dari percetakan, tapi tak membuahkan hasil. Kasimo tidak ditemukan sore itu. Mereka khawatir sebab Kasimo termasuk tokoh politik yang berani berseberangan dengan Demokrasi Terpimpin, rezim yang memparalelkan oposisi dengan 'musuh revolusi'. Jakob baru lega saat mengetahui Kasimo ternyata disembunyikan mahasiswa yang bergabung dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Pengamanan terhadap Kasimo tentu logis karena keadaan politik hari-hari itu sangat gawat dan mencekam.
Politik yang Merangkul Semua
Kasimo sudah terlibat dalam dunia politik jauh sebelum Indonesia merdeka. Pada dekade 1930-an, suara Kasimo ikut bergema di rapat-rapat Volksraad sebagai perwakilan golongan Katolik, sembari bekerja sebagai landbouwconsulent atau mantri perkebunan tebu. Sesudah Indonesia merdeka, Kasimo membangun Partai Katolik sembari juga menjabat Direktur Perkebunan Rakyat dan Direktur Yayasan Kopra. Ketika peraturan pemerintah tahun 1954 melarang pegawai negeri rangkap jabatan, Kasimo memilih fokus di dunia politik.
Pendekatan politik yang inklusif dan terbuka menjadi kunci kampanye Partai Katolik menjelang pemilihan umum pertama 1955. Kasimo yang berasal dari Jawa tidak ragu berinteraksi dengan umat Katolik Flores. Penduduk Pulau Bunga dengan cepat memahami asas-asas perjuangan PKRI, terutama karena di sana Katolik telah mengakar kuat berkat pengajaran pastor dan guru-guru sekolah. Kantong-kantong pendukung pun terbentuk menjelang hari pemilihan.
Meski mendapatkan dukungan besar, Kasimo dan Partai Katolik bukan berarti mengistimewakan umat Katolik Flores. “Kasimo juga merangkul masyarakat Katolik Batak sama dekatnya dengan masyarakat Katolik Dayak dan juga tidak melupakan masyarakat Katolik keturunan Tionghoa sama halnya seperti masyarakat Katolik di Ambon dan Manado,” tulis Chris Siner Key Timu dalam artikel “Kasimo dalam Kenangan” yang dimuat di KOMPAS edisi 9 Agustus 1986.
Hasil tidak mengkhianati usaha keras Kasimo. Dalam pembacaan hasil pemilu pada 16 Juli 1956 di Jakarta, ditetapkan Partai Katolik meraih 770.740 suara atau setara enam dari 257 kursi di DPR dan 748.591 suara atau 10 dari 514 kursi di Konstituante. Pencapaian ini tentu di luar dugaan. Perolehan suara Partai Katolik termasuk lumayan, peringkat 7 dari 20 partai yang turut berpartisipasi, padahal jumlah umat Katolik sendiri kurang dari 1.5% penduduk di masa itu.
Jalan Pedang Dua Partai
Kegigihan Kasimo diuji ketika perdebatan mengenai dasar negara meruncing di Konstituante. Partai-partai Islam seperti Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menuntut Islam ditetapkan sebagai dasar negara, sementara partai-partai non-Islam dan ideologis termasuk Partai Katolik kukuh mempertahankan Pancasila.
“Bagi Kasimo dan kawan-kawan Partai Katolik, mereka meyakini bahwa negara bukanlah religious institution, melainkan sebuah human institution biasa yang ruang kerjanya terletak pada bidang politis-ekonomis yang menjadi roeping (panggilan hidup)-nya untuk mengorganisasikan sesuai keadilan (gerechtigheid),” catat J.B. Soedarmanta dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (2011, hlm. 176-177).
Kendati berseberangan dalam perdebatan tentang dasar negara, Partai Katolik dan Masyumi satu suara dalam menyikapi konsepsi yang digagas dan diutarakan sendiri oleh Presiden Sukarno dalam pertemuan dengan pemimpin partai-partai dan tokoh organisasi masyarakat pada 21 Februari 1957. Gagasan ini kelak dikenal sebagai 'Konsepsi Presiden'. 'Konsepsi Presiden' menjabarkan prototipe koalisi empat partai, yang bertujuan menghindari pertikaian dan jatuh-bangun kabinet seperti yang telah terjadi berkali-kali. Empat partai yang dimaksud ialah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sukarno yakin jika kabinet diisi empat partai terbesar Pemilu 1955 tersebut, kesulitan sistem pemerintahan dapat teratasi. “Demokrasi parlementer harus diganti. Dalam hubungan ini disarankan pembentukan Dewan Nasional yang anggota-anggotanya diangkat Presiden dan berfungsi sebagai badan penasihat kabinet,” juga dicatat Soedarmanta (2011, hlm. 183).
Dari puluhan partai yang diundang Sukarno ketika mengumumkan ide 'Kabinet Kaki Kuda' itu, hanya Partai Katolik dan Masyumi di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir yang tegas menolak. Kasimo mengaku gagal diyakinkan bahwa konsepsi itu benar-benar akan mengarah pada persatuan yang ideal. Sebaliknya, intuisinya meyakinkan bahwa konsepsi itu membahayakan.
Ketika ditanya wartawan mengapa begitu keras menentang konsepsi tersebut, Kasimo menjawab sambil terbahak-bahak, “Kami tidak ingin mengulangi pengalaman Cekoslowakia yang kemudian jatuh ke dalam cengkeraman komunisme.”
Penolakan Kasimo terhadap komunis di dalam kabinet ini dipertegas Jakob Oetama dalam tajuk rencana “Menjunjung Tinggi Almarhum Bapak Ignatius Josef Kasimo” yang dimuat ulang di buku Membuka Cakrawala: 25 Tahun Indonesia dan Dunia dalam Tajuk KOMPAS. “Reserve-nya terhadap partai-partai yang lebih membuka diri terhadap gerakan komunis dan sikap kritis konstruktif terhadap konsepsi politik Bung Karno bersumber dari keyakinannya pada program dan bukan pada ideologi. Ia tidak percaya akan kejujuran politik gerakan komunis Indonesia apabila bersama-sama duduk dalam kabinet” (1990, hlm. 269).
Sesudah Berdoa di Bintaran
Kasimo dihadapkan pada kebimbangan ketika konsepsi itu mewujud jadi Dekret Presiden yang dibacakan pada 5 Juli 1959. Dekret yang isinya antara lain mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 itu dapat diterima Kasimo karena berarti mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, sesuai dengan apa yang ia perjuangkan selama di Konstituante. Akan tetapi, dekret itu juga mengecewakan karena dengan pembubaran DPR dan Konstituante hasil Pemilu 1955, Presiden dianggap telah membunuh demokrasi.
Ia akhirnya mengalah. Dengan berpegang pada prinsip minus malum, Kasimo dan Partai Katolik memutuskan menerima Dekret Presiden 1959 serta demokrasi terpimpin sebagai kelanjutannya karena itu berarti menyelamatkan Pancasila sebagai dasar negara.
Namun Kasimo tetaplah Kasimo. Karena prinsip yang dijunjung, Kasimo gelisah ketika pemerintah tidak ada yang mengendalikan. Dengan bekal gagasan bahwa inti demokrasi harus dibela meski harus melawan arus politik pasca-Dekret, Kasimo mendirikan Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960 bersama sejumlah tokoh partai lain seperti A. M. Tambunan dan J. R. Koot dari Partai Kristen Indonesia, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadrie dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Anwar Harjono dan Mohammad Roem dari Masyumi, dan sejumlah anggota Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) seperti Cornelis Princen, Dachlan Ibrahim, dan Sugirman.
Dalam anggaran dasar, Liga Demokrasi menyatakan didirikan sebagai suatu badan kontak antarpartai dengan semangat “membela negara, bangsa, agama, dan demokrasi” melalui sejumlah jalan seperti menerbitkan siaran dan pidato serta usaha lain yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pemerintah yang awalnya tak menghiraukan akhirnya rongseng juga, terlebih ketika Liga Demokrasi mendirikan banyak cabang antara April-Mei 1960. Presiden Sukarno mengirim perintah untuk menangkap anggota-anggota Liga Demokrasi, yang entah mengapa tidak terlaksana. Puncaknya, dalam pelantikan anggota DPR Gotong-Royong (DPR-GR) pada 24 Juni 1960, Liga Demokrasi dinyatakan terlarang persis ketika menginjak usia tiga bulan.
Kasimo insaf jika manuver membela demokrasi tidak hanya membahayakan diri sendiri, tapi juga keselamatan partainya yang kecil itu. Dan ia mengambil risiko tersebut dengan pertimbangan memang sudah waktunya menyerahkan kepemimpinan Partai Katolik kepada kader-kader muda yang, selain kompromis terhadap kebijakan pemerintah, juga tidak sefrontal dirinya dalam menentang konsepsi maupun wujud 'Kabinet Kaki Kuda' Presiden.
Menjelang Kongres Partai Katolik di Gereja Bintaran, Yogyakarta pada 1960, Kasimo menulis surat terbuka kepada Dewan Pimpinan Partai Katolik yang menyatakan mengundurkan diri dari jabatan ketua umum sekaligus permohonan agar tidak dicalonkan kembali.
Permintaan ini jelas mengejutkan. Frans Seda, salah satu anggota partai yang dekat dengan Kasimo, turut heran. “Di dalam perjalanan menuju Yogyakarta, Frans Seda menerima pesan dari Sukarno lewat utusannya agar Kasimo jangan dipilih lagi sebagai ketua umum,” ungkap Soedarmanta (2011, hlm. 254). Keheranan Seda bukan pada kecocokan antara pesan Sukarno itu dengan pengunduran diri Kasimo, melainkan pada ketentuan bahwa hanya Kongres yang memiliki wewenang mencalonkan ketua umum, bukan orang luar maupun Kasimo sendiri.
Niat Kasimo untuk mengundurkan diri tidak tergoyahkan. Soedarmanta (2011, hlm. 246) mencatat, “Harry Tjan Silalahi masih ingat, beberapa kali Kasimo berdoa sambil berjalan-jalan mondar-mandir di pelataran Gereja Bintaran. Setelah berdoa, Kasimo pun yakin dengan keputusannya menyerahkan kepemimpinan partai kepada Frans Seda.”
Sehati Bersama Irian Barat
Kontradiksi dengan garis politik Demokrasi Terpimpin tak serta-merta membuat Kasimo total kontrapemerintah. Kesetiaannya kepada prinsip demokrasi, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan nasional mendorong Kasimo dan Partai Katolik untuk turut andil di dalam perjuangan mengembalikan Irian Barat kepada Indonesia sesuai ketentuan Konferensi Meja Bundar 1949.
Tapi Kasimo enggan menimpali seruan perang. Perang, di mana pun itu, menurutnya sama saja: mendatangkan kerugian dan kesengsaraan rakyat. Kasimo kemudian mendapat akal alternatif dengan mempertimbangkan keadaan di Negeri Belanda. Ketika itu sepertiga kursi parlemen Belanda, Tweede Kamer, diduduki Katholieke Volkspartij (Partai Rakyat Katolik) atau KVP dengan kader-kader yang juga memegang peran sentral di pemerintahan seperti Joseph Luns yang sejak 1952 menjabat Menteri Luar Negeri Belanda. Kasimo menulis surat terbuka kepada KVP dengan harapan agar mereka dapat memengaruhi politik dalam negeri terhadap persoalan ini.
“Tidakkah kita, umat Katolik, akan merasa malu jika di antara kita tidak ada lagi tempat untuk bertukar pendapat? Pertimbangan-pertimbangan itulah yang memaksa kami (Partai Katolik) berbicara, betapa pun sulitnya keadaan,” tulis Kasimo dalam surat terbuka yang diterima pengurus KVP pada medio Juni 1960.
Surat ini cepat menimbulkan beragam pendapat di kalangan Katolik Belanda. Ketua Fraksi KVP di Tweede Kamer Prof. Mr. Carl Romme bereaksi keras. Romme menuduh Partai Katolik telah melaksanakan politik pemerasan dan menyebar fitnah. Romme tidak membalas surat itu langsung, melainkan lewat tulisan di surat kabar de Volkskrant. Urusan jadi semakin melebar dan memancing pendapat lebih luas. Prof. Willem Duynstee, guru besar ilmu hukum Universitas Nijmegen, misalya, menganjurkan agar urusan ini tidak hanya dibicarakan dari aspek politik, namun juga nurani umat Katolik Belanda.
Tak puas hanya berbalas surat, Kasimo ikut mengurus keberangkatan seorang imam Katolik ordo Fransiskan, Pater Ireneon Oudejans, ke Belanda untuk bertemu Fransiskan Belanda yang sangat progresif--termasuk mendukung pengembalian Irian Barat kepada Indonesia. Keberangkatan ini cukup merepotkan karena sejak 1957 Indonesia dan Belanda sudah putus hubungan diplomatik.
Untungnya, dengan kontak Joseph Luns, Kedutaan Belanda di Jerman memberi izin masuk delegasi Partai Katolik--diwakili Pater Oudejans dan Frans Seda--lewat Nijmegen untuk terus ke Den Haag.
Ketika itu rencana Ellsworth Bunker yang diteken dalam Persetujuan New York sudah disepakati dan Seda diutus mendesak pengurus KVP agar menerima 'Bunker’s Plan'.
Diplomasi Seda berhasil, ia mempercepat kembalinya Irian Barat kepada Indonesia terhitung sejak 1 Mei 1963.
Editor: Rio Apinino