tirto.id - Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono sudah bersentuhan dengan gula sejak muda. Awal 1920-an, seperti tercatat dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo (2011: 198-199) yang disusun J.B. Sudarmanto, Kasimo mulai bersentuhan dengan tanaman tebu karena dia kepala sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Lahan 2 hektare di sekolahnya digunakan untuk menanam tebu. Kala itu, pabrik gula dan perkebunan tebu banyak terdapat di sekitar Klaten.
Pada 1930-an, Kasimo menjadi Adjunct Landbouw Consulentalias petugas penyuluh pertanian di Surakarta dan terus memperhatikan pertanian tebu.
Di masa itu, pabrik gula biasanya menyewa tanah dari petani. Butuh sekitar 18 bulan dari masa menanam hingga panen. Para petani hanya mendapat uang sewa saja, dan tanah yang disewa itu jadi milik pabrik gula selama 18 bulan Sistem ini amat merugikan para petani.
Namun di sisi lain, pabrik juga mengalami masalah. Dalam buku I.J. Kasimo, Hidup dan Perjuangannya (1980: 78) dikisahkan suatu kali administrator perkebunan tebu di Cirebon bernama Barentz mengunjungi kantor Kasimo. Waktu itu, Barentz mengeluh soal lebih dari dua pertiga tanaman tebunya dibabat dan dirusak rakyat pribumi.
Atas keluhan itu, Kasimo punya jawaban. Menurutnya, itu bentuk kekesalan rakyat terhadap para pemilik pabrik gula. Mereka sebagai pemilik tanah hanya bekerja sebagai buruh kasar dengan upah yang amat rendah. Padahal tebu-tebu itu akan menghasilkan ribuan ton gula yang menghasilkan keuntungan sangat besar.
Kasimo merasa itu tak adil, dan ada yang harus diubah. Namun di masa kolonial itu, gerakannya amat terbatas, pun tak bisa menimbulkan dampak yang instan. Bahkan ketika Kasimo sudah jadi anggota Volksraad (1931-1942), sebagai wakil orang Katolik, suaranya untuk perbaikan nasib rakyat petani nyaris tak didengar pemerintah kolonial.
Setelah Indonesia merdeka, Kasimo diangkat menjadi Menteri Persediaan Makanan Rakyat dan Menteri Pertanian di masa Revolusi. Lagi-lagi, dia belum bisa memperbaiki nasib petani gula, karena masa itu adalah masa-masa perang. Usahanya justru mulai bisa dilakukan setelah revolusi selesai dan dia tidak jadi menteri lagi. Ketika dia menjadi Kepala Jawatan Perkebunan, dia bisa lebih serius dengan usahanya.
Kasimo berusaha mengubah sistem sewa tanah menjadi sistem tebu rakyat. Dengan sistem itu, rakyat bisa menanam sendiri tebunya untuk kemudian dijual kepada pabrik gula lewat koperasi, berdasarkan kontrak tahunan yang disetujui kedua belah pihak. Kasimo berusaha memperlancar sistem itu dengan mendirikan Jajasan Tebu Rakjat (Jatra).
Istilah Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) kemudian muncul, dan Kasimo adalah orang yang pertama kali menggagas perubahan sistem sewa tanah ke sistem tebu rakyat. Tak hanya di masa Orde Lama, di masa Orde Baru dan usianya makin sepuh pun, Kasimo terus berjuang membuat petani tak merugi.
“Kasimo menyerahkan tulisannya tentang tebu rakyat kepada Presiden Suharto. Tulisannya mendapat tanggapan positif. la menerima surat balasan dari sekretariat negara. Dalam surat tersebut diberitahukan bahwa tulisannya diserahkan kepada Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perindustrian,” tulis Umasih dalam Sejarah Pemikiran Indonesia Sampai dengan Tahun 1945 (2006:181).
Tulisan yang dimaksud dibuat Kasimo ketika berhenti menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1973. Kemudian keluarlah Intruksi Presiden No.9 tahun 1975.
Dengan konsep TRI, seperti tercatat dalam Sejarah Nasional Indonesia: Lahir dan Berkembangnya Orde Baru (1993:244-245), pemerintah berusaha menyalurkan kredit pada Repelita III. Pada 1983, seperti dicatat Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988 (2003: 153-154), pemerintah juga berusaha meningkatkan produksi gula lewat TRI ini. Sayang, konsep ini jauh dari gagasan Kasimo.
Seperti dicatat Loekman Soetrisno dalam Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis (2002: 18), pemerintah mengharuskan para petani mengikuti program TRI dengan harga tebu yang tidak menguntungkan petani.
Selain itu, TRI juga membuat petani dipaksa menanam tebu. Padahal tanaman ini butuh banyak air dan waktu yang lama untuk panen. Maka, muncul tulisan di Kompas (11/2/1985), dengan judul "Program TRI Jadi Bentuk Terselubung Tanam Paksa".
Selain itu, ada beberapa studi tentang petani yang sengsara karena proyek TRI ala Orde Baru ini. Salah satunya digarap oleh Hotman Siahaan dalam disertasinya, Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program Tebu Rakyat Intensifikasi sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi (1996).
Maka, apa yang dicita-citakan Kasimo hingga ia meninggal pada 1 Agustus 1986, tepat hari ini 33 tahun lalu, masih belum jua terwujud. Kasimo berhasil mengubah sistem era kolonial yang merugikan petani, namun masih banyak petani tebu yang tidak merasakan untung.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 12 Juni 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nuran Wibisono & Ivan Aulia Ahsan