Menuju konten utama

Mayjen Rukman: Konco daripada Soeharto yang Dipenjara setelah G30S

Mayjen Rukman adalah rekan kerja dekat daripada Soeharto dalam Operasi Trikora di Irian Barat.

Mayjen Rukman: Konco daripada Soeharto yang Dipenjara setelah G30S
Ilustrasi Mayor Jenderal Rukman. tirto.id/Fuad

tirto.id - Setelah didepak sebagai panglima di Jawa Tengah karena terlibat kasus penyelundupan beras, Soeharto mengikuti kursus di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Sejumlah kawannya di sekolah itu antara lain bekas atase militer seperti Kolonel Askari dan Kolonel Achmad Tahir. Juga bekas panglima seperti Brigadir Jenderal Sarbini dan Kolonel Uuk Rukman.

Kursus itu dimulai sejak 1 November 1959 dan berakhir pada 17 Desember 1960. Saat mengikuti pendidikan, pangkat Soeharto telah Brigadir Jenderal. Setelah menjadi Deputi Operasi dari Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Nasution, Soeharto mendapat tugas lagi untuk memimpin Komando Angkatan Darat Pertama/Tjadangan Umum Angkatan Darat (KORR I/TJADUAD) pada Maret 1961. Dalam pasukan cadangan itu, Amirmachmud--kawannya di Seskoad--dijadikan Deputi dan Rukman sebagai Panglima Divisi II.

Rukman terlibat dalam Operasi Mandala Perebutan Irian Barat yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Menurut Robert Elson dalam Soeharto: Sebuah Biografi (2005:167), Rukman adalah rekan kerja dekat Soeharto dalam operasi itu. Operasi Trikora berakhir dengan persetujuan New York 15 Agustus 1962 dengan penyerahan Irian Barat dari Belanda ke PBB. Setelah itu, Soeharto terus memimpin Tjaduad di Jakarta yang kemudian namanya berubah menjadi Kostrad. Sementara Rukman dipertahankan di Irian Barat (kini Papua) di Kodam XVI Cenderawasih yang membawahi seluruh Papua.

“Panglima pertamanya sudah kita temukan dalam pribadi Brigadir Jenderal Rukman,” tulis P. J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010:645).

Rukman juga merangkap jabatan sebagai Komandan Kontingen Indonesia (Kotindo) di Irian Barat. Asisten pertama dari Kotindo dipegang oleh perwira intelijen bernama Ali Moertopo. Jabatan panglima divisi yang ditinggalkan Rukman di pasukan cadangan, kemudian diisi oleh Brigadir Jenderal Kemal Idris.

“Rukman adalah teman saya ketika kami sama-sama di Seinen Dojo Tengerang tahun 1943. Dia orang Cirebon,” kata Kemal Idris dalam Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1997:163).

Kemal dan Rukman sama-sama pernah tinggal di Jalan Cik Di Tiro, Menteng. Selesai bertugas sebagai Pangdam Cenderawasih, Rukman sempat menjadi Deputi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) dan Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur. Jelang G30S, Rukman yang berpangkat Mayor Jenderal menjadi Inspektur Jenderal Angkatan Darat. Setelah G30S, Rukman bersama Pranoto Reksosamodra pernah dicalonkan menjadi pucuk pimpinan Angkatan Darat.

Rukman, Pranoto, dan Mayor Jenderal Basuki Rachmat, adalah nama-nama yang diusulkan Brigadir Jenderal Mustofa Syarif Supardjo—salah satu perwira yang terlibat dalam G30S.

“Mereka (kelompok G30S) tidak mengusulkan nama Soeharto. Sambil memikirkan segala kemungkinan Sukarno menolak Soeharto karena ia terlalu koppig (keras kepala), dan Supardjo tampaknya tidak memohon atas nama Soeharto,” tulis John Rossa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2007:113).

Di antara tiga nama yang diajukan Supardjo, Rukman adalah yang paling junior. Rukman dianggap sebagai jenderal kiri dari Kodam Siliwangi. Selain dia, Pranoto juga dianggap kiri. Keduanya cenderung lebih bisa dipercaya Presiden Sukarno ketimbang Soeharto. Namun, dukungan kebanyakan jenderal di Angkatan Darat jatuh kepada Soeharto, dan hal ini tak bisa dibendung oleh Sukarno. Soeharto kemudian menjadi Menpangad yang memimpin seluruh prajurit Angkatan Darat.

Infografik Mayor Jenderal Rukman

Infografik Mayor Jenderal Rukman. tirto.id/Fuad

Setelah Soeharto menguat, banyak jenderal yang dekat dengan Sukarno jadi mati langkah. Apalagi jenderal yang dicap kiri seperti Pranoto dan Rukman. Keduanya ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya. Menurut Pranoto dalam Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra (2014:232), Rukman pernah tinggal di Rawasari Barat E92, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ia menambahkan bahwa Rukman lahir di Majalengka pada 2 Juli 1923. Artinya, Rukman seumuran dengan Pranoto dan Kemal Idris.

Kemal Idris menyebut Rukman mengalami perubahan menjadi kiri setelah bergaul dengan orang-orang PKI dari Laskar Bambu Runcing di Jakarta. Sebelum Peristiwa Madiun 1948 meletus, Rukman dikirim ke Cirebon. Kata Kemal, “Siliwangi mengirim dia kembali ke Cirebon karena khawatir dia akan melawan kita.”

Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (1988:262), Rukman kembali ke Jawa Barat dari Solo pada Agustus 1948. Di masa revolusi, Rukman pernah menjadi Komandan Batalion I di Brigade XIII Kru Z Divisi Siliwangi. Rukman pernah pula menjadi Komandan Garnisun di Bandung.

Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967 (1986:298) menyebut Rukman sangat condong ke Partai Murba yang didirikan oleh Tan Malaka. Ia menambahkan bahwa perwira yang condong ke kiri kerap diberi jabatan yang tidak begitu penting, seperti dalam kasus Rukman menjadi Panglima Antar Daerah.

Selain itu, Rukman juga adalah Sukarnois. Saat beberapa jenderal seperti Suwarto bicara soal Angkatan Darat yang berhadapan PKI serta pemerintah, Rukman dan Kolonel Abdul Sjukur mencegahnya.

Rukman ditahan pada 9 Agustus 1968 berdasarkan perintah Kepala Staf Angkatan Darat. Dan baru dibebaskan sepuluh tahun kemudian bersama Pranoto dan Hario Kecik alias Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio. Menurut Pranoto, ketiganya tidak paham kenapa mereka ditahan begitu lama.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh Pribadi