tirto.id - Setelah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani diculik pada Peristiwa 30 September 1965, pimpinan tertinggi Angkatan Darat pun kosong. Selain Yani, sejumlah perwira tinggi lainnya ikut dibabat para penculik pimpinan Letnan Kolonel Untung.
“Tanggal 1 Oktober 1965 kurang lebih jam 06.00 pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brigadir Jenderal Dr. Amino, Kepala Departemen Psychiatri Rumah Sakit Gatot Subroto Jakarta, yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Letnan Jenderal Ahmad Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang belum diketahuinya,” tulis Pranoto dalam Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra (2002:247).
Usai mandi, Pranoto segera berangkat ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) di Jalan Medan Merdeka Utara. Sadar kondisi tengah genting, Pranoto pergi mengenakan pakaian dinas lapangan. Sesampainya di MBAD, ia ternyata orang dengan pangkat tertinggi yang hadir saat itu. Maka itu, Pranoto pun segera memprakarsai rapat darurat.
Mereka membicarakan nasib Ahmad Yani dan jenderal lainnya yang diculik. Rapat juga memutuskan menunjuk Mayor Jenderal Soeharto--Panglima Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad)--agar bersedia mengisi pimpinan Angkatan Darat yang kosong. Melalui kurir khusus, keputusan rapat disampaikan kepada Mayor Jenderal Soeharto di markas Kostrad, seberang Stasiun Gambir.
Kurang lebih pukul 09.00, Pranoto mendapat laporan bahwa “menurut siaran RRI saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima Tertinggi (Sukarno) untuk menjabat sebagai carataker Menpangad,” ujarnya. Tapi Pranoto tidak buru-buru percaya berita itu. Dia tetap tinggal di MBAD, menunggu perintah selanjutnya.
Tak lama berselang, berturut-turut datang sejumlah tentara menemuinya. Pertama, Kepala Seksi I Staf Resimen Cakrabirawa, Letnan Kolonel (Infanteri) Ali Ebram, sekitar pukul 09.30. Kedua, Jaksa Agung Brigadir Jenderal TNI Soetardio bersama Kepala Reserse Pusat Kejaksaan Agung Brigadir Jenderal Soenarjo, sekitar pukul 10.00. Dan ketiga, Ajudan Presiden/Pangti Kolonel Bambang Wijarnako sekitar pukul12.00. Mereka semua adalah utusan Presiden Sukarno.
“Oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis di bawah Mayor Jenderal Soeharto, maka saya tidak dapat secara langsung menghadap [Presiden] tanpa seizin Mayor Jenderal Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu,” kata Pranoto kepada para utusan.
Ia kemudian berusaha mendapatkan izin dari Soeharto, tetapi dilarang. “Dia (Soeharto) tidak berani mereskir (menjamin) [...] apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap presiden,” ujarnya.
Sekitar pukul 19.00, Pranoto dipanggil oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) di markas Kostrad untuk menghadiri rapat. Selain Nasution, hadir pula Mayor Jenderal Soeharto, Mayor Jenderal Moersyid, Mayor Jenderal Satari, dan Brigadir Jenderal Oemar Wirahadikusumah. Dalam rapat tersebut Nasution menjelaskan bahwa Pranoto ditunjuk presiden menjadi caretaker Menpangad. Dan Pranoto ditanya pendapat pribadinya.
“Jenderal Soeharto mengumumkan keberatan-keberatannya terhadap struktur baru dari pimpinan Angkatan Darat, tetapi tidak langsung menentangnya. Ia memecahkan masalah itu secara Indonesia—dengan tidak mengindahkan sama sekali JenderalPranoto,” tulis OG Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1984:47).
Roeder menyebut Pranoto sebagai “perwira yang lemah dan berhaluan progresif." Sementara Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016:119) menyebutnya "perwira yang punya kecenderungan ke kiri."
Menghadap Presiden dan Ditahan
Esoknya, ketika hendak konferensi pers, Pranoto dan Soeharto dipanggil untuk menghadap Presiden Sukarno. Mereka ke istana Bogor bersama Komandan Polisi Militer Brigadir Jenderal Soedirgo. Sukarno memberi penjelasan soal siapa pemimpin Angkatan Darat.
“Har, agar tahu, saya telah mengambil alih langsung pimpinan Angkatan Darat dan mengangkat Pranoto sebagai pelaksana harian,” kata Sukarno seperti dikutip dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989:130).
Soeharto menimpali, “Pada kesempatan ini saya juga ingin melaporkan bahwa atas inisiatif saya sendiri, saya telah mengambil alih sementara pimpinan Angkatan Darat.”
Soeharto menambahkan bahwa dia akan menyerahkan tanggung jawab keamanan kepada Pranoto. Sukarno lalu bilang, “Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto harus tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban.”
“Lantas, dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal Pranoto dan harus ditaati,” ujar Soeharto.
Menurut Pranoto dalam memoarnya, “Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan Mayor Jenderal Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Menpangad dalam urusan sehari-hari (daily duty).”
Pranoto yang hanya staf jenderal tidak bisa berbuat banyak. Berbeda dengan Soeharto yang memegang banyak pasukan. Pada 14 Oktober 1965, Soeharto pun diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), dan Pranoto diperbantukan di bawahnya. Tapi itu juga tidak lama. Pada 16 Februari 1966, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966, atas perintah KSAD, Pranoto ditahan di Blok P, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan tuduhan terlibat G30S. Karier Mayor Jenderal asal Bagelen ini habis.
Kemudian berdasarkan Surat Perintah Ketua Team Pemeriksa Pusat No.Print. 018/TP/3/1966, status Pranoto untuk sementara menjadi tahanan rumah sejak 7 Maret 1966. Namun, berdasarkan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, Pranoto ditahan lagi sejak tanggal 4 Maret 1969 di Inrehab Nirbaya Jakarta. Tuduhannya masih sama: terlibat G30S.
Setelah itu, pada tanggal 20 November 1970, berdasarkan Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970 yang dikeluarkan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Jenderal Maraden Panggabean, Pranoto diskors dari Angkatan Darat dan tak lagi menerima gaji. Tapi menurut Pranoto, dia tak pernah menerima surat pemecatan. Selama ditahan, dia tak pernah diperiksa. Pranoto dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Sesama Rumpun Diponegoro
Soeharto dan Pranoto sebetulnya sudah lama saling kenal, bertahun-tahun sebelum 1965. Ketika Soeharto dicopot sebagai Panglima Tentara dan Teritorial Diponegoro di Jawa Tengah, Pranoto menggantikannya. Sempat beredar kabar pencopotan Soeharto disebabkan bisnis terlarangnya dilaporkan oleh Pranoto.
Soeharto yang lebih senior dari Pranoto punya pengalaman sebagai sersan KNIL. Sementara Pranoto mulanya hendak menjadi guru sebelum datang kesempatan padanya untuk memulai karier sebagai perwira Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Jawa Tengah.
Daerah asal keduanya hanya berjarak puluhan kilometer. Soeharto lahir di Bantul 8 Juni 1921, sementara Pranoto dari Purworejo atau Bagelen pada 16 April 1923. Orang tua Pranoto adalah Raden Soempeno Reksosamodra dan Raden Nganten Wasiah.
Pranoto sekolah di Holland Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah, lalu meneruskan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), juga di Muhammadiyah. Sedangkan Soeharto, meski sama di Muhammadiyah, tapi hanya sampai level Schakelschool (sekolah lanjutan rendah, tapi bukan SMP).
Pranoto tutup usia sebelum Orde Baru runtuh, yakni pada 9 Juni 1992, tepat hari ini 29 tahun lalu. Atau sehari setelah ulang tahun Presiden daripada Soeharto, kawannya sesama rumpun Diponegoro.
Editor: Irfan Teguh