tirto.id - Setelah goro-goro G30S berlalu, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berhasil mengurangi jumlah personelnya. Sebetulnya tidak ada niatan untuk mengurangi personel. Tapi keadaan "mendesak" bikin Panglima Tertinggi daripada ABRI merangkap Presiden RI, Jenderal Soeharto, beserta jajarannya melakukan hal itu. Hasilnya, banyak perwira terpental dari kemiliteran dengan dalih terlibat G30S—yang kata Orde Baru disebut "G30S/PKI".
“Kita tidak perlu malu atau berkecil hati, apabila diantara anggota-anggota kita memang terlibat G30S/PKI. Karena hal ini (terjadi) dari peninggalan orde lama, yang sengaja menyelundupkan oknum-oknumnya,” kata Soeharto seperti dikutip Julius Pour dalam biografi Sudomo, Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan (1997: 176).
Tentu saja, orang-orang yang dianggap terlibat itu ingin dienyahkan Soeharto dan Orde Barunya. Di Angkatan Laut, Laksamana Sudomo selaku Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) menjadi sosok penting dalam pembersihan orang–orang yang dicurigai anasir G30S di tubuh Angkatan Laut. Pembersihan itu dikenal sebagai Operasi Ikan Paus.
Dicurigai Sebarkan Komunisme
Jika Angkatan Laut ada Operasi Ikan Paus, angkatan lain juga punya. Hersri Setiawan dalam Kamus Gestok (2003: 122) menyebut di Angkatan Udara ada operasi Tetuka dan Angkatan Darat ada Operasi Kalong. Berkat Operasi Kalong, Brigadir Jenderal Soepardjo, perwira Angkatan Darat tertinggi dalam G30S, berhasil ditangkap dan belakangan diakhiri hidupnya.
Dalam autobiografinya, Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu (2014), Brigadir Jenderal Slamet Singgih mengaku ada mantan Pemuda Rakyat (PR), organ pemuda yang disebut-sebut sebagai onderbouw PKI, yang berhasil menjadi anggota Angkatan Darat. Tentu saja itu temuan luar biasa. Sudah pasti mantan Pemuda Rakyat tidak bisa melanjutkan karier di ABRI, tapi melanjutkan hidup di penjara atau tempat apapun asal bisa bikin yang bersangkutan sengsara.
Bekas Pemuda Rakyat lain disinggung dalam Menyisir Badai (2001), autobiografi mantan perwira lulusan Akademi Angkatan Laut 1968 Gita Arjakusuma. “Ada dua teman seangkatan saya yang kemudian ditahan. Yang satu, hanya karena semasa remaja pernah menjadi anggota Ikatan Pemuda dan Pelajar Indonesia (IPPI) dan seorang lagi karena pernah menjadi anggota organisasi Pemuda Rakyat,” aku Gita yang nakhoda terkenal itu (hlm. 96).
IPPI juga terkait dengan PKI, karena itu mantan anggotanya diharamkan berkarir di ABRI. Alasannya, tentu saja diramalkan bahwa personel ABRI yang berasal dari onderbouw PKI akan menyebarkan ideologi marxisme atau komunisme. Kisah kawan Gita yang mantan Pemuda Rakyat sangatlah tragis, tapi bikin lega orang Orde Baru. Si kawan itu “ditemukan tewas bunuh diri didalam penjara karena tak kuasa menanggung penderitaan fisik dan tekanan mental yang berat selama berada di dalam tahanan.”
Gita sendiri termasuk orang yang sangat terganggu oleh Operasi Ikan Paus dan semacamnya. Ayah Gita, Letnan Kolonel (Udara) Ahmad Sueb Ardjakusuma, juga turut terjaring dalam pembersihan G30S di Angkatan Udara. Ada Operasi Tutuka di sana.
Gita dan keluarga meyakini bahwa ayahnya tidak ada sangkut paut dengan G30S. Ahmad Sueb tidak tahu menahu soal kudeta, apalagi terlibat dalam pembunuhan jenderal Angkatan Darat. Gita merasa ayahnya ditahan karena dulu pernah berhubungan dengan orang dari negara komunis yang datang sebagai teknisi alat perang yang dibeli Indonesia dari negara-negara Blok Timur waktu zaman Sukarno.
Ayah Gita, yang masuk TNI dari zaman Revolusi, menjadi salah satu dari ribuan anggota ABRI yang dipenjara tanpa pengadilan. Selain ayah Gita, banyak perwira AU berpangkat lebih tinggi yang jadi tawanan juga. Bahkan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya Omar Dani dan Marsekal Ignatius Dewanto dikait-kaitkan juga dengan G30S. AU jadi terpojok salah satunya karena ada seorang mayor AU yang terlibat dan para jenderal yang terbunuh ditemukan di Lubang Buaya, tidak jauh dari Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah.
Di Angkatan Darat, kena operasi kalong atau tidak, setidaknya ada perwira malang bernama Pranoto Reksosamudro yang kena penjara tanpa pengadilan. Mayor Jenderal Pranoto nyaris menjadi KSAD setelah Yani terbunuh, tapi dia bukan orang kuat di tahun 1965. Tiada yang lebih kuat dari Soeharto kala itu.
Waktu ayahnya ditahan, Gita masih berpangkat letnan satu. Gita bercerita suatu kali dia pernah diperintahkan untuk ikut upacara dalam rangka penganugerahan dirinya menjadi Perwira Teladan pada 1974. Namun tak ada penganugerahan untuknya pada hari yang ditentukan itu. Gita makin tidak kerasan dan merasa kariernya di Angkatan Laut suram, meski dirinya dinyatakan tidak terlibat G30S sama sekali.
Gita akhirnya keluar dari Angkatan Laut. Dia bekerja di Andhika Lines, perusahaan milik yayasan Angkatan Laut, sebagai perwira kapal. Gita belakangan dikenal sebagai nakhoda Phinisi Nusantara yang berlayar dari Jakarta ke Vancouver pada 1986.
Sasaran Operasi Ikan Puas, menurut Gita, adalah perwira-perwira yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Daerah itu dianggap Orde Baru punya pengaruh Nasakom tinggalan Sukarno yang sangat kuat. Jawa Tengah kadang dianggap daerah "merah", karena itu tidak disukai Soeharto, meski dia sendiri pernah dibesarkan dan berkarier di Jawa Tengah.
Setelah 1965 dan operasi Ikan Paus dijalankan, jumlah personel di Angkatan Laut berkurang. Bahkan pernah ada kejadian seorang perwira tinggi AL yang sempat menjadi dubes di Korea Utara, Hartono, ditembak orang misterius di rumahnya pada awal 1971. Hartono memang dikenal loyalis Sukarno. Pembunuhan itu ditengarai karena dia terlibat G30S, apalagi namanya juga tercantum dalam Dewan Revolusi.
Selain kehilangan banyak personel, AL juga tidak punya lagi kapal perang segarang KRI Irian. Menurut Gita yang pernah ditugaskan di kapal tersebut, pada masa itu KRI Irian adalah kapal penjelajah terbesar di Asia Tenggara.
Kegarangan Angkatan Laut pun tinggal cerita.
Editor: Ivan Aulia Ahsan