Menuju konten utama

Arsip Rahasia AS: Ide Membunuh Marsekal Kesayangan Sukarno

Dalam arsip Jakarta Embassy Files tanggal 18 Oktober 1965, disebutkan adanya usul menghabisi Marsekal AURI andalan Sukarno.

Omar Dani. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Masa muda Raden Mas Sutarto akrab dengan kamera. Dia bukan hanya dikenal sebagai juru foto yang sekadar memotret, tetapi juga mahir memegang kamera untuk produksi film. Laki-laki berdarah priyayi Kesunanan Surakarta ini masih mengabdi di Departemen Penerangan Perjuangan Republik Indonesia pada 1965 yang berdarah itu.

Menurut Rosihan Anwar, dalam In Memoriam: Mengenang Yang Wafat (2002), dia juga meliput Rapat Raksasa IKADA 19 September 1945. Ia juga yang mengusulkan agar tanggal 19 September dijadikan sebagai Hari Film Nasional.

Pada 1963, menurut Mimbar Penerangan (1963), salah satu jabatan yang diemban Sutarto adalah Pembantu Menteri Penerangan Urusan Audio-Visuil. Kala itu Menteri Penerangan sedang dijabat oleh Roeslan Abdulgani.

Sebagai pembantu atau asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, nama Sutarto disebut dalam telegram diplomatik Duta Besar Amerika untuk Indonesia Marshall Green kepada Sekretaris Negara Amerika di Washington tanggal 18 Oktober 1965. (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 3). Dokumen ini terangkum dalam arsip yang disebut: Jakarta Embassy Files yang baru saja dibuka.

Baca Juga: Arsip Rahasia AS Soeharto Tahu Pembantaian 1965

“Dokumen ini mencatat percakapan antara staf kedutaan dengan Surtarto, asisten khusus Roeslan Abdulgani,” simpul Sejarawan Brad Simpson, direktur Proyek Dokumentasi Indonesia dan Timor-Timur di Universitas Connecticut yang menjadi penyelia deklasifikasi arsip-arsip tersebut.

Arsip-arsip itu mencatat berbagai aksi-aksi anti-PKI di berbagai daerah, dari Jawa, Medan, Sumatera Selatan, Makassar dan tentu saja Jawa Tengah. Sutarto dengan leluasa berbincang soal pemeriksaan Letnan Kolonel Untung (salah satu pemimpin G30S).

“Sutarto meyakinkan bahwa target penting tentara, juga Kelompok Islam anti-PKI, adalah Subandrio,” tulis Marshall Green dalam dokumen itu. Sutarto juga meyakinkan bahwa PKI dan simpatisannya harus dijatuhkan.

“Kita mungkin harus mengumpulkan Aidit, Njoto dan Lukman di Lapangan Banteng untuk menunjukkan mereka kepada semua orang,” kata Sutarto seperti dikutip Green.

Baca juga: Arsip Rahasia AS: Pembantaian di Bone pada 1965

Menurut Brad Simpson, Staf Kedutaan Amerika mencatat Angkatan Darat berencana mengadakan aksi di Kedutaan Republik Rakyat Tiongkok. Tidak lama kemudian, di bawah komando Soeharto, Indonesia memutuskan hubungan diplomatisnya.

Bagi Sutarto, yang lahir pada 27 April 1914 di Solo ini, di tengah suasana kacau pada 1965 itu Soeharto adalah orang yang dapat diandalkan. Soeharto adalah orang kuat kala itu, setidaknya dia adalah Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Dalam kekacauan pasca G30S itu, selain Soeharto, orang lain yang dianggap kuat adalah Marsekal Madya Omar Dhani, Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau).

src="//mmc.tirto.id/image/2017/10/23/Omar-Dani--Mild--Nadia.jpg" width="860" alt="Infografik Omar dani" /

Orang nomor satu di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) ini, menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, AIDit, Soekarno dan Soeharto (2015), “Hanya ikut petunjuk Soekarno tanpa reserve […] contoh sempurna Sukarnois.”

Waktu kemudian bergerak sangat cepat. Soekarno kemudian dianggap melindungi PKI. Sementara AURI di bawah Omar Dhani pendukung Sukarno. Omar Dhani dengan sendirinya lantas dianggap berbahaya dan musuh yang dianggap berpotensi menghalangi penumpasan PKI.

Baca Juga: Arsip Rahasia AS Laporan Intel AU Soal Situasi di Solo 1965

“Omar Dhani harus berhenti atau kita bunuh dia,” kata Sutarto. Empat perwira tinggi AURI lainnya — Sri Muljono, Surjadarma, Abdoerachamat dan satu orang lagi yang diketahui namanya — harus cabut juga. Kemungkinan nama yang tidak diketahui adalah Ignatius Dewanto, yang menjabat Direktur Intelijen AURI.

Omar Dhani nyatanya tidak dibunuh. Sri Muljono Herlambang menggantikannnya.

“Kira-kira bulan Agustus 1966, Omar Dhani mulai diperiksa Tim Pemeriksa Pusat (Taperpu),” catat buku Tuhan, pergunakanlah hati, pikiran dan tanganku: pledoi Omar Dani (2001).

Ia dituduh telah mengadakan penerbangan rahasia untuk mengambil senjata dari RRT — yang dijanjikan Perdana Menteri Zhou En Lai. Meski dijanjikan 100.000 pucuk, di pengadilan Omar Dani didakwa hanya mengambil 25.000 senapan jenis Tjung.

Baca Juga: Tentang Pasokan Ribuan Senjata Dari Cina pada 1965

Penahanan di Rumah Tahanan Militer pun harus dialami Omar Dhani. Pada 4 November 1965, ia telah diberhentikan dengan hormat oleh Presiden. Tak hanya jabatan Menpangau — yang dijabatnya ketika usianya masih sangat muda (38 tahun) -- tapi juga kebebasannya.

Pilot lulusan Taloa itu menjadi tahanan politik selama tiga dekade. Orang yang menjemputnya untuk masuk tahanan adalah kawan sekolahnya, Letnan Kolonel CPM Nicklany.

Dia baru bebas pada 15 Agustus 1995. Omar Dhani sendiri tutup usia pada 2009. Sementara Sutarto, yang di kepalanya sempat terpikir untuk menghabisi Omar Dhani, menghabiskan hidupnya sebagai pensiunan Departemen Penerangan. Nama terakhir ini meninggal lebih dulu pada 2001.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS