tirto.id - Pada 1935, Silas Papare lulus dari sekolah juru rawat. Ia langsung menerapkan ilmunya untuk mengobati para korban malaria yang kala itu merajalela di kampung halamannya, Serui. Penguasaan wilayah yang baik menjadi berkah tersendiri untuk Silas karena memudahkannya berkeliling ke seluruh penjuru Serui.
Tak lama setelah menjalani profesi juru rawat, Belanda tiba-tiba menawari pekerjaan sebagai intel, sebuah pekerjaan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Meskipun tidak terlatih secara teknis dari segi militer, ia menguasai medan sehingga berguna bagi Belanda ke depannya. Sepakat atas tawaran itu, Silas yang lahir pada 1918 akhirnya menjalani profesi ganda: juru rawat dan intel Belanda.
Pekerjaan sebagai intel membuat Silas dikenal berprestasi karena dianggap berhasil ketika membantu Sekutu melawan Jepang. Onnie Lumintang, dkk, dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (1997: 64-65) menyebutkan Silas diganjar penghargaan oleh pemerintah Belanda dan militer AS.
Kedatangan Jepang yang bertindak semena-mena di Papua membuat warga setempat geram. Berulang kali mereka melawan Jepang, seperti dalam pemberontakan di Biak dan Yapen Waropen sekitar 1942. Akan tetapi, perlawanan-perlawanan itu gagal.
Melihat kenyataan ini, Silas menggunakan keahliannya sebagai intel. Ia menyusup ke hutan-hutan untuk menghimpun kekuatan dan berhasil mengumpulkan masyarakat dari berbagai daerah, seperti Biak, Yapen Waropen, Nabire, dan Wandamen.
Namun, sadar tidak bisa mengandalkan kekuataan masyarakat semata, akhirnya ia menggaet Sekutu. Kerja sama itu untuk pertama kalinya terjalin pada April 1944 ketika pasukan Sekutu di bawah komando Jenderal Douglas MacArthur berhasil menyerang basis kekuatan Jepang, Hollandia—kini disebut Jayapura. Di sana, Silas melakukan kontak dengan Sekutu dan membantunya sebagai pemberi arahan kepada pesawat tempur yang ingin menyerbu. Pasukan Sekutu akhirnya berhasil mempersempit wilayah kekuasaan Jepang hingga semakin melemah pada 5 Juli 1944.
Kedatangan Sekutu dan timbulnya perlawanan yang kelak dikenal dengan nama Pertempuran Namfor ini membangkitkan semangat rakyat melawan Jepang. Puncaknya, pada 10 Agustus-22 September 1944, mereka menyerang basis pertahanan Jepang di Warenai dan Manokrawi. Jepang keok dan pendudukannya di Teluk Cendrawasih berakhir.
Setelah Jepang hengkang, datanglah Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) yang mengambil alih Papua. Di bawah pimpinan Van Eechod, NICA berupaya membenahi tata pemerintahan di Papua. Salah satu kebijakannya ialah membangun kursus pamong praja di kota Nica—sekarang Kampung Harapan, Hollandia, dan menunjuk Soegoro Atmoprasodjo sebagai pimpinan kursus pada akhir 1945. Sebelumnya, Soegoro adalah nasionalis yang berkecimpung di Taman Siswa Yogyakarta sekaligus eks-Digulis yang kabur ke Australia ketika Jepang datang.
Sekolah pamong praja yang semula bertujuan mencetak administrator berubah menjadi tempat persemaian ideologi nasionalisme Indonesia. Kelak, para pesertanya seperti Silas Papare, Frans Kaisepo, Marthen lndey, dan lain sebagainya terpengaruh oleh nasionalisme Indonesia.
“Dalam kenyataannya penyelenggaraan pendidikan Bestuur ini selain sebagai sarana menghasilkan manusia terdidik juga dimanfaatkan oleh Soegoro Atmoprasodjo untuk menanamkan tentang kemerdekaan dan patriotisme kepada murid-muridnya dalam rangka Indonesia merdeka. Selain itu juga sebagai pusat diskusi para pejuang kemerdekaan”, tulis Onnie Lumintang, dkk (hlm. 79)
Lambat laun Soegoro dan para muridnya melakukan pertemuan rahasia untuk menyusun pemberontakan yang disepakati akan diluncurkan pada 25 Desember 1945. Sayangnya, pemberontakan ini gagal karena diketahui oleh aparat. Konsekuensinya, Soegoro dan murid-muridnya termasuk Silas ditahan. Namun penahanan tersebut tidak membuat mereka diam. Pemberontakan kedua digelar pada 17 Juli 1946 dan kembali gagal.
Melihat dua kegagalan itu, Soegoro dkk mengambil jalan politik dengan mendirikan Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada 16 November 1946. Organisasi ini diprakarsai J. Gerungan, perempuan asal Manado yang menjadi kepala rumah sakit di Hollandia. Sejarawan Bernarda Meteray dalam disertasinya berjudul Penyamaian Dua Nasionalisme: Papua dan Indonesia di Nedelands Nieuw Guinea Pada Masa Pemerintahan Belanda, 1925-1962 (2011: 105) menggambarkan KIM sebagai organisasi politik pertama di Papua yang bertujuan menyebarluaskan gagasan kemerdekaan Indonesia di Papua. Lewat KIM pula gerakan anti-Belanda Silas Papare bersama sejumlah elite Papua lainnya makin sulit dibendung.
Menghadapi NICA
Hampir satu tahun sejak proklamasi kemerdekaan, gerakan perlawanan Silas masif khususnya setelah pertemuan dirinya dengan Ratulangi, gubernur Sulawesi yang diasingkan ke Serui oleh NICA karena dianggap menghambat pemulihan keamanan. Di Serui, Ratulangi kerap bertukar pikiran secara sembunyi-sembunyi dengan masyarakat setempat, termasuk Silas Papare. Seturut penelusuran Bernarda Meteray, Ratulangi kerap menceritakan situasi di Jakarta dan daerah lain di Indonesia sembari menyakinkan kaum elite Serui bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia (hlm. 117).
Pada 29 November 1946 Silas mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) dan langsung didapuk menjadi ketua umum. Di bawah asuhan Ratulangi, PKII bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Serui dan menyebarluaskan gagasan Indonesia merdeka di Serui dan seluruh wilayah Papua. Melalui PKII, Silas semakin memperbesar pengaruhnya.
“Dengan menerima fakta bahwa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok suku dan agama, Silas Papare dan kelompoknya rela bekerja sama dengan masyarakat di luar NNG (Nederlands New Guinea atau Papua) untuk menentang Belanda. Nasionalisme Indonesia yang dikenalkan Ratulangi mampu mengubah cara berpikir Silas dan pendukungnya. […] Silas Papare dan kelompoknya akhirnya melihat bahwa perbedaan suku antara orang Papua dan Indonesia lainnya tidaklah merupakan isu penting,” tulis Bernarda Meteray (hlm. 122)
Berkat propaganda yang terus disebarkan Silas Papare, catat Meteray, PKII akhirnya berdiri di hampir seluruh Papua. Melihat masifnya pergerakan Silas, pemerintah kolonial Belanda akhirnya menahan dirinya pada 1948 dan mengirimnya ke penjara di Hollandia. Namun penahanan Silas tidak berlangsung lama. Ia dibebaskan mengingat perannya selama pendudukan Sekutu (sumber lain menyebut ia dibebaskan karena desakan para elite setempat). Meskipun demikian, masih menurut Onnie Lumintang, dkk, pemerintah kolonial memindahkan Silas ke Biak dengan alasan kesehatan.
Pada pertengahan 1949, digelarlah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Sesaat sebelum KMB dilaksanakan, para elite politik di Papua sedang giat berdiskusi menentukan masa depan tanah kelahiran mereka. Melalui surat kabar dan radio mereka terus menerus menghimpun informasi terkait dinamika politik di luar Papua.
Pada 27 Juli 1949, Silas pertama kalinya pergi ke Jawa untuk memenuhi undangan kaum nasionalis Indonesia di Yogyakarta. Sesampainya di sana, Silas Papare mendirikan Badan Perjuangan Irian (BPI) dan menerbitkan surat kabar Suara Irian. Akhirnya ia ditunjuk oleh pemerintah sebagai salah satu delegasi dalam KMB. Selama berbulan-bulan berdiskusi, pembicaraan mengenai Papua selalu alot. Sampai akhirnya, United Nations Commissions for Indonesia (UNCI) memberi jalan tengah: Indonesia dan Belanda akan membahas masalah Papua satu tahun ke depan.
KMB pun akhirnya disepakati. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (1999: 350) mencatat, hasil kesepakatan KMB memunculkan dua problem pelik, yakni Belanda yang ingin bertahan di Papua dan masalah pembayaran hutang Hindia Belanda yang ditanggung Republik Indonesia Serikat (RIS).
Silas kecewa. Ia menilai hasil KMB hanya membuat nasib Papua terkatung-katung. Rupanya kegeraman tersebut sampai juga di telinga kader PKII yang kemudian menggiatkan propaganda integrasi Papua dan Indonesia.
Sepulangnya dari Belanda, Silas masih melanjutkan aktivitasnya. Ia menjadi anggota Komisi Indonesia (1950) yang bertujuan menyelidiki aspirasi politik penduduk Papua tentang masa depan wilayah mereka. Pada 1953, ia menjabat komisaris pada Biro Irian yang didirikan untuk membawa Papua ke Indonesia. Empat tahun berselang, ia mendirikan Provinsi lrian Barat di Jakarta (1957) untuk mengimbangi pemerintahan Belanda di Papua.
Setahun setelah berlangsung Operasi, Indonesia dan Belanda meneken New York Agreement pada 1962. Perjanjian ini memungkinkan Indonesia masuk ke Papua dan mendirikan pemerintahan--yang kelak dikukuhkan lagi oleh Pepera pada 1969, sebuah referendum yang hingga kini dipandang bermasalah dan terus diperdebatkan.
Silas Papare meninggal dunia pada 7 Maret 1973, tepat hari ini 48 tahun lalu. Pada
16 September 1993, pemerintah Republik Indonesia menobatkannya sebagai pahlawan nasional.
Editor: Windu Jusuf