Menuju konten utama

Pasukan Hantu Maut dalam Masa Perang Gerilya di Yogyakarta

Pasukan Hantu Maut dibentuk dari gabungan beberapa laskar. Mereka turut serta melawan Belanda selama Agresi Militer, termasuk saat Serangan Umum 1 Maret.

Pasukan Hantu Maut dalam Masa Perang Gerilya di Yogyakarta
Header Mozaik Pasukan Hantu Maut. tirto.id/Ecun

tirto.id - Belanda melancarkan dua agresi militer ke Indonesia dalam rentang tahun 1945-1949. Pertama, bertajuk “Operatie Product”, pada 21 Juli 1947. Serangan ini mendorong PBB mengeluarkan resolusi nomor 27 yang mendesak dua belah pihak melakukan gencatan senjata. Agresi diakhiri dengan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Kedua, bertajuk “Operasi Gagak” atau “Operatie Kraai”, pada 19 Desember 1948. Agresi Militer II diawali dengan serangan terhadap Lapangan Terbang Maguwo, Yogyakarta. Tidak lama setelah itu daerah di sekitarnya tidak luput dari serangan.

Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia yang berkantor di Yogyakarta segera berunding di Gedung Negara dan menghasilkan beberapa keputusan.

Pertama, perintah untuk mendirikan pemerintahan darurat di Sumatra kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara jika Presiden, Wakil Presiden, dan aparatur pemerintah lain di Yogyakarta ditangkap. Kedua, pemerintahan tetap berjalan meskipun pemimpinnya ditangkap. Ketiga, perintah membentuk pemerintahan dalam pengasingan kepada L. N. Palar, A. A. Maramis, dan Sudarsono yang sedang berada di India jika Mr. Sjafruddin ditangkap.

Keempat, perintah untuk perang gerilya. Keputusan terakhir ini dipercayakan kepada Jenderal Soedirman.

Pembentukan Laskar

Mengutip Emy Wuryani dalam Perlawanan Akar Rumput: Partisipasi Masyarakat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 (2022), dalam pengungsian akibat Agresi Militer Belanda II, sejumlah pemuda berinisiatif kembali ke kampung di Kecamatan Mergangsan untuk membentuk satuan laskar.

Di Desa Ngoto, 30 pemuda yang berasal dari Kampung Pujokusuman bergabung dengan pemuda Keparakan Lor yang sudah aktif sejak 1945 untuk membentuk laskar baru bernama Samber Gelap. Awalnya Laskar Samber Gelap hanya memiliki tujuh senapan hasil rampasan. Para anggota yang diperintahkan menyebar ke dalam Kota Yogyakarta berhasil menambah 11 pucuk senjata.

Selain Laskar Samber Gelap, terdapat laskar pemuda lain di Kecamatan Mergangsan. Misalnya Pasukan Banteng Mataram yang berasal dari Kampung Brontokusuman di bawah pimpinan Soeparno Leong; dan Pasukan Pemuda Kampung Prawirotaman di bawah pimpinan Ganong. Ganong tercatat pernah mengambil senjata di kepatihan untuk kelompoknya. Dia mendapat informasi bahwa senjata di kepatihan cukup melimpah dari Prawiro Suparto.

Atas inisiatif GBPH Pujokusumo yang tidak lain putra Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, pada 9 Januari 1949, Laskar Samber Gelap bersama laskar pemuda dari Brontokusuman dan Prawirotaman melebur menjadi laskar baru yang bernama Pasukan Hantu Maut. Menurut portal Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi D. I. Yogyakarta, nama Hantu Maut dipilih untuk memberi kesan menakutkan dan menyebarkan teror untuk pasukan Belanda.

Saat awal berdiri, laskar ini tidak dalam koordinasi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Mengutip kembali Wuryani (2020), komandan staf Pasukan Hantu Maut bernama Basuki Widodo; kemudian Toeloes Moeljohartono bertindak sebagai komandan; sedangkan Gatot Suharno, Suparno leong, dan Sugito berperan sebagai komandan regu.

Pasukan Hantu Maut memakai atribut khas berupa kaus oblong berwarna hijau dan celana putih. Mereka bermarkas di Ndalem Pujokusuman yang merupakan kediaman GBPH Pujokusumo.

Syarat utama untuk bergabung dalam Pasukan Hantu Maut adalah memiliki keberanian dan mental yang tinggi. Setiap orang yang ingin bergabung dengan pasukan ini juga harus memiliki senjata sendiri. Kemudian, jika ada anggota yang ingin mengundurkan diri, maka dia wajib menyerahkan senjatanya untuk organisasi.

Sejumlah Penyerangan

Sebagaimana tujuan pendirian, Pasukan Hantu Maut tercatat kerap menyerang pasukan Belanda selama mereka menguasai Yogyakarta. Pasukan Hantu Maut beroperasi di sepanjang jalan Pojok Beteng Kulon hingga Jembatan Tungkak, sepanjang Jalan Parangtritis, serta jalan menuju Imogiri.

Menurut artikel dari Komunitas Penggiat Sejarah Djokjakarta 1945, selain menyerang Belanda, Pasukan Hantu Maut juga pernah menangkap satu mata-mata Tionghoa. Aksi ini dibanggakan Pasukan Hantu Maut karena rumah mata-mata tersebut berdekatan dengan markas Belanda di Susteran Gondomanan.

Selanjutnya, Pasukan Hantu Maut menjadi regu yang dilibatkan di pasukan Polisi Pelajar Pertempuran (P3). P3 beroperasi di Sub Wehrkreise 102 (SWK 102) di bawah pimpinan Mayor Sardjono. Mengutip Djumarwan dan Danara Widiyanta dalam Peranan Pasukan Polisi Pelajar Pertempuran dan Gereja Pugeran dalam Revolusi Indonesia Tahun 1948-1949 di Yogyakarta, Pasukan Hantu Maut beroperasi di wilayah Banyakan, Plered, dan Kotagede.

Nur Rahmawati dalam jurnal skripsi berjudul Peranan Polisi Pelajar Pertempuran (P3) dalam Perang Kemerdekaan II di Yogyakarta (1948-1949) mencatat, Pasukan Hantu Maut pernah melakukan serangan kucing-kucingan terhadap Belanda pada 4 Februari 1949 di Kotagede hingga Plered.

Serangan kucing-kucingan, menurut Wuryani (2020), merupakan ciri khas dan memang strategi Pasukan Hantu Maut yang ditetapkan sejak pertama kali berdiri. Dalam siasat yang sebenarnya gerilya ini, pasukan bakal mundur bila musuh terlihat kuat dan menyerang jika lawan dalam keadaan lelah atau lengah.

Pada 1 Maret 1949, sekitar pukul 06.00 pagi, sirene di seantero Yogyakarta berbunyi. Ini menandakan dua hal: jam malam berakhir sekaligus dimulainya serangan serentak untuk merebut kembali Yogyakarta.

Serangan yang digagas Sri Sultan Hamengkubuwono IX ini melibatkan seluruh kekuatan di Werhkreise III. Tercatat di Naskah Akademik Serangan Umum 1 Maret 1949 Sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara (2022), dalam rangka menggempur dan mengusir Belanda dari Yogyakarta, sebanyak 2.000 orang menyerang dari berbagai arah.

Dalam serangan tersebut, Pasukan Hantu Maut tidak lagi tergabung di SWK 102 melainkan di wilayah Sub Wehrkreis 101 (SWK 101) di bawah pimpinan Lettu Marsoedi. Mereka bertugas mencegah pasukan Belanda memasuki kota dari pos Plered dan Kotagede. Kemudian, dari markas di Pujokusuman, Pasukan Hantu Maut di bawah pimpinan Ganong berhasil mengadang konvoi pasukan Belanda di Pakel. Namun mereka terpaksa mundur ke arah kuburan Nitikan karena kalah jumlah persenjataan.

Infografik Mozaik Pasukan Hantu Maut

Infografik Mozaik Pasukan Hantu Maut. tirto.id/Ecun

Dilebur ke TNI

Sebelum seluruh pasukan Belanda ditarik mundur dari Yogyakarta, setiap laskar dan pejuang yang belum melebur ke TNI ditertibkan. Hal ini berkaitan dengan larangan masuk ke dalam kota selain TNI. Maka, pada 25 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut dilebur ke Komando Batalyon A (Kombat A) Brigade 10/Wehrkreis III.

Peleburan Pasukan Hantu Maut ke tentara nasional persisnya terjadi setelah Letkol Soeharto (yang beberapa belas tahun kemudian bakal menjadi presiden) memanggil Basuki Widodo dan Toeloes Moeljohartono untuk datang ke Bibis. Pasukan Hantu Maut juga dengan mulus masuk TNI karena faktor persahabatan Soeharto dengan Ganong.

Setelah itu Pasukan Hantu Maut diperbantukan di dalam kota, tepatnya di Sektor 3 (Kantor Pos Besar ke utara sampai rel kereta api), Sektor 5 (rel kereta api ke utara bagian barat jalan raya), dan sektor 6 (rel kereta api ke utara bagian timur jalan raya). Tugas ini adalah permintaan Mayor Sardjono kepada Soeharto.

Setelah semua pasukan Belanda ditarik pada 30 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut berubah menjadi Pasukan Keamanan Kota (PKK). Setelah Yogyakarta kembali aman, sebagian besar anggotanya memilih untuk kembali ke masyarakat.

Baca juga artikel terkait AGRESI MILITER atau tulisan lainnya dari Andika Yudhistira Pratama

tirto.id - Politik
Kontributor: Andika Yudhistira Pratama
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Rio Apinino