tirto.id - Dalam kurun 1945-1949, ada dua jenderal penting yang mewakili dua pihak yang berseteru di Indonesia: Jenderal Sudirman dari pihak Republik Indonesia dan Letnan Jenderal Simon Hendrik Spoor dari pihak Belanda. Dua jenderal itu tidak panjang usianya. Letjen Spoor mangkat lebih dulu pada Mei 1949 di usia 47, sementara Jenderal Sudirman wafat pada Januari 1950 di usia 34 tahun.
Secara militer, Belanda tentu lebih superior dan sangat potensial jadi pemenang. Belanda membuktikan superioritas itu melalui dua agresi militer yang disebutnya “aksi polisionil”. Letjen Spoor adalah orang penting di balik dua aksi militer itu.
Dalam hidup Letjen Spoor, tak ada momen seburuk 7 Mei 1949. Pada tanggal itulah, panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia itu menderita kekalahan. Dia tidak dikalahkan di medan tempur, tapi di meja perundingan kala Belanda dan Indonesia menandatangani Kesepakatan Roem-Roijen.
Bagi Spoor, kesepakatan itu adalah mimpi buruk. Usaha militer Belanda jadi tampak sia-sia gara-gara kerja politisi dan diplomat sipil Belanda.
Kesepakatan Roem-Roijen mensyaratkan agar militer Indonesia dan Belanda melakukan gencatan senjata. Lain itu, Mohammad Roem dan Herman van Roijen juga menyepakati bahwa Yogyakarta dikembalikan kepada pemerintah RI. Padahal, enam bulan sebelumnya, Spoor sudah susah payah merebut ibu kota RI tersebut serta menawan para pejabat tingginya, termasuk Presiden Sukarno dan Mohammad Hatta.
Kesepakatan Roem-Roijen kemudian berlanjut pada Konferensi Meja Bundar yangberakhir dengan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Dua setengah minggu setelah Kesepakatan Roem-Roijen, berita besar penuh duka melingkupi jajaran militer Belanda. Letnan Jenderal Spoor yang sedang dalam puncak kariernya itu meninggal pada 25 Mei 1949.
Sebelum kematiannya, Spoor sempat mengunjungi tentaranya di Jawa Timur pada 17-19 Mei 1949. Spoor dan bawahannya sempat makan di sebuah kelab di daerah Tanjung Priok pada 20 Mei 1949. Namun, kondisi kesehatannya dikabarkan menurun pada hari-hari berikutnya.
Kematian Spoor jadi tambah tragis karena menurut Jaap de Moor dalam bukunya Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia (2015, hlm. 5), dia baru saja menerima kenaikan pangkat sebagai jenderal penuh pada 24 Mei 1949.
Beberapa spekulasi atas kematiannya pun muncul kemudian. Ada yang menyebut Spoor mati karena dibunuh. Bahkan, ada orang Indonesia yang berpikiran Spoor dibunuh oleh orang-orang Indonesia. Tapi, kabar-kabar itu sumir belaka. Terlepas bagaimana Spoor tutup usia, setelah 1949 adalah babak baru dalam hubungan Indonesia dengan Belanda.
Kolonel Tahi Bonar Simatupang—kala itu menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang—sedang berada di daerah gerilya saat kabar kematian Jenderal Spoor tersiar. Sepengakuan Simatupang dalam Laporan dari Banaran (1980, hlm. 166), orang yang mengabarinya adalah staf dari Kolonel Bambang Sugeng. Kematian Spoor jelas berita penting bagi Republik. Kerja-kerja Spoor dengan segera dialihkan kepada Jenderal Mayor Dirk Cornelis Buurman van Vreden. Termasuk mengurusi pembubaran tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Legeri (KNIL) pada pertengahan 1950.
Perjalanan Hidup dan Karier
Spoor memulai kariernya sebagai letnan kelas dua infanteri KNIL segera setelah lulus dari Akademi Militer Kerajaan Belanda (Koninklijk Militaire Academie) Breda pada 1923. Di awal kariernya, Spoor berdinas di Kalimantan. Spoor pernah pula menjadi salah satu pengajar di akademi militer Breda.
Spoor, seperti dicatat de Moor (hlm. 65), adalah instruktur yang disukai oleh para kadet. Dia dianggap intelek dan kerap menyuruh para kadetnya untuk banyak membaca karya-karya para penulis modern. Spoor juga berjasa dalam memperkenalkan de Gaulle kepada para kadetnya.
Salah satu murid Spoor di akademi militer adalah Soejarso Soerjosoeraso. Belakangan, dia menjadi komandan kavaleri dalam militer Republik Indonesia. Soejarso pernah ikut bersama Spoor dalam sebuah acara bersepeda mengelilingi Belgia.
Meski dicap sebagai jenderal hebat dan maco, Spoor adalah perwira yang lebih suka musik daripada olahraga. Julius Tahija, salah satu bekas stafnya yang orang Indonesia, dalam Melintas Cakrawala (1997, hlm. 37) menyebut Spoor adalah orang yang suka memutar musik untuk membantunya berpikir ketika bekerja. Julius Tahija bekerja untuk Spoor kala pangkatnya kapten.
Kegemaran Spoor pada musik bukanlah suatu kebetulan belaka. Spoor berasal dari keluarga penggesek biola professional. Meski suka musik dan tumbuh dalam keluarga musisi, Spoor yang kelahiran Amsterdam, 12 Januari 1902, ini pada akhirnya memilih jalan berbeda dari ayahnya.
Spoor berpangkat mayor kala bala tentara Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada 1942. Saat KNIL masih terpuruk, Spoor lalu bergabung dengan Lembaga intelijen terkenal Belanda, Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS), di Australia.
Setelah 1945, karier Spoor melesat cepat. Spoor ikut membangun kembali KNIL dan pangkatnya naik jadi letnan kolonel pada 1945. Sejak 19 Januari 1946, ketika usianya baru 44 tahun, Spoor ditunjuk menjadi panglima tertinggi tentara Belanda di Indonesia.
Ketika ditunjuk sebagai panglima KNIL dan tentara Belanda di Indonesia, Spoor langsung melakukan pembersihan di institusinya. Dia mendepak para “orang tua” yang ketinggalan zaman dan merestrukturisasi KNIL menjadi angkatan perang yang lebih modern dengan pengaruh Inggris dan Amerika.
Para jenderal senior, seperti Ludolph Hendrik van Oyen (yang pernah memimpin armada udara KNIL) tentu saja harus pensiun. Meski terdepak, van Oyen, seperti disebut de Moor (hlm. 214), tetap mengakui bahwa Spoor adalah orang yang cocok untuk menduduki jabatan kepala staf tentara Belanda di Indonesia.
Spoor juga paham proses. Kala menghidupkan lagi KNIL, dia tidak memaksa untuk langsung berperang. Dia memilih untuk melakukan perekrutan ulang serdadu-serdadu KNIL yang terpencar di Australia, Thailand, dan di beberapa daerah di Indonesia yang potensial.
Di era kepemimpinan Spoor pula perwira garang macam Westerling punya tempat. Spoor sangat mengandalkan Westerling untuk membersihkan masalah yang dibikin gerilyawan Republik. Westerling kemudian terkenal sebagai penjagal di mana-mana.
Dala memoar Challenge to Terror (1952, hlm. 139), Westerling menyebut Spoor pernah menyuruhnya memimpin operasi penyerbuan ke ibu kota RI Yogyakarta. Namun, Westerling mengaku menolaknya. Menurut Westerling, operasi itu memang bisa saja dimenangkan Belanda, tapi dampak politiknya justru lebih merusak.
Westerling lantas memilih mundur. Posisi Westerling lalu digantikan oleh Letnan Kolonel Wim van Beek—yang juga lulusan akademi militer Breda. Van Beek-lah yang kemudian mempersiapkan pasukan khusus yang dulu dipimpin Westerling untuk menduduki Yogyakarta.
Dan benar dugaan Westerling, operasi militer itu memang berakhir gemilang. Tapi, justru karena itulah reputasi Belanda jadi tercoreng secara internasional dan bahkan kemudian harus mengakui kedaulatan RI.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi